YANG KITA BUTUHKAN SEKARANG: JEJAK PEMIKIRAN

Resensi buku Jejak Literer; Bunga Rampai Tulisan Media Massa

.

Editor : Suci Noor Afifah

Penerbit : Sunhouse Digital Publishing

Cetakan : Cetakan Pertama (Januari 2019)

Dimensi : xxvi + 310; 14 20,5 cm

ISBN : 978-602-61235-4-1

Mengenai Tradisi Literasi

Perkembangan ilmu pengetahuan selalu beriringan dengan perkembangan teknologi. Keduanya menjalin hubungan kausalitas alias hubungan sebab akibat. Apa hubungannya? Begini saya jelaskan. Pengetahuan selalu menelurkan perkembangan teknologi, demikian pula perkembangan teknologi selalu memengaruhi dan melahirkan ilmu pengetahuan baru. Kombinasi keduanya, sepanjang sejarah perkembangan dunia, tak pernah sekali pun absen menjadi pilar penopang kemajuan peradaban di setiap tempat. Bagi bangsa kafir, maupun bagi umat Islam.

Perkembangan ilmu pengetahuan berkelindan dengan tradisi dan teknologi tulis menulis, hingga muncul berbagai perpustakaan besar sebagai episentrum pengembangan keilmuan. Baitul Hikmah, perpustakaan paling familiar di kalangan umat Islam hidup dan besar karena berbagai aktivitas diskusi-diskusi dari bermacam disiplin keilmuan, mencakup keilmuan Islam klasik maupun keilmuan non Islam macam filsfat. Untuk perkembangan jenis kelimuan yang kedua ini, mengalami perkembangan pesat dengan dilakukannya penerjemahan berbagai literatur dari bahasa aslinya menjadi bahasa Arab yang merupakan bahasa ibu kaum muslimin.

Tradisi ini ini bertahan agak lama hingga Gutenberg menemukan mesin cetak yang mampu memperbanyak dan menyebarluaskan literatur-literatur keilmuan ke seantero dunia. Teknologi mengubah tradisi keilmuan masyarakat yang tadinya menghafal ilmu dan menyebarkannya dari mulut ke mulut, berkembang menjadi harus berkunjung dan membaca buku di perpustakaan. Perkembangan selanjutkan memungkinkan masyarakat memiliki akses untuk punya buku sendiri dan bisa membaca di berbagai tempat, tak melulu harus di perpustakaan. Perpustakaan tak lagi jadi satu-satunya episentrum keilmuan masyarakat.

Tradisi ini pun bertahan amat lama, bahkan hingga saat ini. Di saat perkembangan teknologi juga sudah mulai merasuk (dan barangkali juga merusak) dalam wilayah literatur keilmuan. Banyak bacaan kini dapat diperoleh secara elektronik, kita menyebutnya dengan tambahan e di depan katanya, e-newspaper, e-journal, e-book, dll. Dengan amat mudah kita mengakses literatur digital ini di mesin pencari (search engine), bisa dibaca secara daring (online), bisa pula diunduh. Meski sebagiannya diperoleh secara ilegal.

Perkembangan semacam di atas, agaknya juga dialami oleh Muhammadiyah, pun dengan salah satu anaknya yang terkenal nakal, IMM. Perkembangan tradisi dan pola keilmuan, menjadi kepentingan tersendiri bagi organisasi otonom yang mendaku intelektualitas sebagai salah satu dari tiga kompetensi dasarnya. Pikirkan, intelektualitas, IMMawan dan IMMawati!

Jejak Pemikiran Solo

Beberapa waktu belakangan ini, saya melihat adanya trend positif produksi karya-karya di kalangan kader-kader IMM, baik itu milik satu orang atau kumpulan tulisan dari beberapa kader. Baik yang dicetak menjadi buku maupun yang dimuat di media massa cetak dan media daring. Yang paling familiar adalah judul Tak Sekedar Merah yang merupakan testimoni dari kader-kader PC IMM AR Fachruddin Kota Yogyakarta, terbitan MIM Idigenous School. Geliat literasi ini merupakan angin segar bagi kelangsungan pengembangan keilmuan kader-kader secara langsung maupun bagi IMM itu sendiri secara tidak langsung.

Khusus edisi tulisan ini, saya akan sedikit mengulas perkembangan tradisi keilmuan IMM Cabang Kota Surakarta. Tempat penulis membesarkan diri. IMM Cabang Kota Surakarta (lebih tenar dengan nama IMM Solo), dikenal sebagai salah satu lokus IMM tertua di Indonesia. Sebagai satu di antara saudara tua, nyatanya IMM Solo justru baru mulai merintis gerakan literasi kolektif yang berbasis produk. Sebenarnya ini bukan sepenuhnya mulai dari nol, karena banyak dari kader-kader IMM Solo yang sudah berliterasi secara pribadi lewat berbagai media massa di lingkup kampus maupun media cetak lokal, yang paling familiar adalah rubrik Mimbar Mahasiswa Solopos.

Ada apa dengan Jejak Literer ini? Seperti namanya, karya ini merupakan bentuk nyata ikhtiar untuk meninggalkan jejak pemikiran kader-kader IMM Solo dari masa ke masa yang direkam oleh media massa. Buku ini menjadi rekam jejak pemikiran yang ide-idenya selalu mengalir melintasi zaman. Sejumlah 25 orang penulis lintas zaman, dengan 50 tulisan yang terbagi menjadi 9 bab meliputi: 1) pendidikan, 2) literasi, 3) budaya, 4) ekonomi, 5) sosial kemasyarakatan, 6) filsafat dan pemikiran, 7) Muhammadiyah, 8) sastra, serta yang dulu pernah lama lekat tapi kini mulai luntur 9) profetisme. Kehadiran buku ini menjadi angin segar bagi bangkitnya geliat literasi IMM Solo. Beberapa waktu belakangan ini, geliat literasi IMM Solo yang sempat mengalami mati suri, kini mulai bangkit kembali.

Geliat literasi ini mestilah diorganisir menjadi gerakan literasi kolektif. Mengapa mesti kolektif? Arif Saifudin Yudistira dalam Hilangnya Budaya Literasi punya jawabannya. Ada satu alasan penting, mengapa kita membangun kerja intelektual secara kokektif, agar kelak sejarah yang akan membaca bagaimana organisasi yang sudah berusia tua ini bisa dibaca perkembangannya (hlm. 59). Atau dengan kata lain, meninggalkan jejak pemikiran bagi generasi penerus kita adalah sebuah keharusan sejarah.

Mengikuti perkembangan era digital yang super cepat, menantang kapasitas keilmuan kader-kader IMM, Solo pun tidak luput dari yang ditantang. Permasalahannya hanyalah seputar kesadaran, sadar atau tidak sedang ditantang era digital yang super cepat ini. Sebagai kader yang lahir, tumbuh, dan berkembang di dalamnya, saya menilai IMM Solo amat lamban sekaligus terlambat merespon kecepatan era digital ini, terutama dalam hal literasi. Di saat lokus IMM yang lain sudah mulai melangkah bahkan ada yang sudah sanggup berlari untuk berpacu dalam literasi, IMM Solo baru selesai melakukan persalinan. Untung saja persalinannya lancar, meskipun harus lewat operasi sesar yang cukup melelahkan.

Permasalahan selanjutnya adalah mengenai apresiasi yang masih terbilang minim. Geliat kelahiran dan perkembangan literasi nyatanya belum begitu diapresiasi. Lantas bagaimana cara kita mengapresiasi? Membaca dan mendiskusikan adalah cara mengapresiasi paling sederhana bagi setiap produk literasi. Apresiasi menjadi unsur sangat penting bagi pengembangan keilmuan. Manakala suatu karya diapresiasi, minimal oleh komunitasnya sendiri, niscaya akan berdampak positif terhadap produktivitas literasi itu sendiri, tentunya dengan terus meningkatkan kapasitas keilmuan sekaligus infrastruktur pendukungnya.

Geliat literasi ini juga erat kaitannya dengan arah keilmuan yang hendak digarap oleh pimpinan cabang ke depannya. Misalnya begini. Kalau keilmuan cabang hendak diarahkan pada optimalisasi keilmuan sesuai dengan bidang studi kader-kadernya dan kearifan lokal komisariat di bawah naungannya, maka optimalisasi bank data (data base) kader, mulai dari anggota yang baru saja selesai DAD hingga kader-kader yang masih ada kemungkinan untuk melanjutkan hidup pimpinan cabang, mutlak harus dilakukan.

Ya, bank data alias data base mutlak harus dimiliki, bahkan semenjak akan dimulainya periode baru, yaitu pada saat persiapan permusyawaratan (baca: musykom dan musycab). Jadi, quo vadis (mau dibawa kemana) arah keilmuan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Kota Surakarta periode mendatang dan seterusnya? Mau sampai kapan pula literasi kita terus menerus jadi balita? Saya sendiri tidak punya jawabannya.

Semoga saja, geliat literasi di kalangan kader-kader secara personal maupun institusional di tingkat komisariat dan cabang mampu menggugah sekaligus membangunkan para elite dewan pimpinan di tataran daerah dan pusat, supaya turut menghasilkan produk literasi kolektif ikatan, utamanya karya ilmiah berbasis riset. Supaya tidak melulu buku TKD yang digunakan terus menerus, tanpa ada peningkatan produktivitas baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Penghujung tulisan ini akan saya tutup dengan pesan buya Ahmad Syafii Maarif yang dapat IMMawan dan IMMawati temukan dalam Kerja Intelektual Adalah Kerja Seumur Hidup, Prolog buku Tri Kompetensi Dasar Peneguhan Jatidiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah:

Kerja intelektual adalah kerja seumur hidup, itu pun tidak akan pernah tuntas dan memuaskan. Ada saja yang kurang, ada saja yang tidak genap. Yang pasti kerja intelektual memerlukan kesabaran dosis tinggi untuk terus berfikir dan berfikir terus dengan stamina spiritual yang prima.

Akhir kata, selamat bermusyawarah bagi segenap kader-kader IMM se Cabang Kota Surakarta, di komisariat lewat musykom dan di cabang lewat musycab. Besar harapan saya, hasil permusyawaratan kita tahun ini tetap membuahkan hasil-hasil yang mampu terus mendewasakan kita semua.

 

Oleh:

Muhammad Afriansyah

Anggota Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Kota Surakarta periode 2019/2020

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *