Transmisi Memori pada Gerakan Rakyat anti Militerisme dalam Kajian Postmemory

Tulisan ini tentu saja sangat relevan untuk dikaji oleh para aktivis mahasiswa, khususnya pada kader/calon kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Benar saja, selain daripada mensosialisasikan visi dan orientasi garakan mahasiswa, terdapat perihal yang sifatnya doktrinatif yang coba dirangkai secara imajiner. Konteks imajiner yang saya maksud adalah ide/gagasan yang diperoleh dari hasil pencarian informasi yang telah dikaji dan didalami oleh para aktivis mahasiswa. Ide inilah yang dijadikan sebagai platform untuk menentukan bangunan pondasi, arah atau orientasi gerakan mahasiswa.

Dalam konteks gerakan rakyat, ide merupakan bagian fundamental untuk menentukan visi dari sebuah gerakan. Hal yang perlu perlu diketahui, ketika ide gerakan sudah dinyatakan final, maka tahap selanjutnya adalah meneruskan atau melestarikan ide tersebut agar tetap aktual. Inilah yang melatarbelakangi adanya idealisme dari sebuah gerakan.

Jikalau kita mencoba untuk memposisikan diri sebagai yang mengamati, tentu saja ada berbagai macam ide dari setiap gerakan rakyat yang muncul. Hal inilah yang mendasari terdapat berbagai macam gerakan rakyat yang secara orientasi sama, tetapi berbeda secara prisnip dan cara bergeraknya Untuk menelusuri latar belakang sebuah ide yang menjadi inti dasar sebuah gerakan, kita bisa mencari sebab ide tersebut dalam kajian teoritisnya. Akan tetapi, pengembangan atas ide tentu tidak lepas dari konteks sejarah maupun peristiwa-peristiwa yang sifatnya dialektis.

Sesuatu hal yang didalami atas peristiwa atau fenomena masa lalu inilah yang disebut memori, karena dikembangkan dari generasi ke generasi selanjutnya maka disebutlah transmisi memori. Transmisi memori dapat terjadi dalam proses interaksi seperti kajian atau diskusi yang sifatnya membicarakan memori masa lalu yang dalam hal ini adalah sejarah. Proses interaksi tersebut menjadikan memori memiliki kemungkinan untuk dipindahkan ke inter-generasi dan intra-generasi. Tentu tidak ada yang salah dengan transmisi memori, akan tetapi bilamana transmisi memori dikembangkan dengan imajinasi atas kepentingan tertentu, maka yang terjadi adalah postmemory.

Marianne Hirsch dalam jurnalnya yang berjudul The Generation of Postmemory: Writing and Visual Culture After Holocaust, menjelaskan bagaimana cara postmemory itu bekerja. Peristiwa atau fenomena masa lalu merupakan dasar cerita dengan menggabungkan memori orang lain dan imajinasinya (katakanlah framing). Subjek yang menerima memori tersebut (post-generation), seakan-akan membangun struktur baru untuk memori masa lalu yang berada di gudang pikirannya. Padahal, memori masa lalu yang diadopsi oleh post-generation bukanlah sebuah pengalaman yang dirasakannya langsung, melainkan pengalaman milik orang lain dan kejadiannya pun sudah terjadi sebelum mereka dilahirkan. Dengan kata lain mereka mengambil risiko agar memorinya diisi oleh orang lain.

Post-generation inilah yang akan digunakan sebagai subjek untuk mensosialisasikan kembali transmisi memori masa lalu yang tentu saja memiliki keberpihakan oleh suatu kelompok tertentu. Transmisi memori masa lalu yang disosialisasikan oleh para post-generation biasanya digunakan sebagai upaya klarifikasi atas fenomena masa lalu yang menurutnya berbeda dan perlu diungkap kembali.

Kita bisa mengambil contoh PKI, bagaimana PKI masih saja hangat untuk diperbincangkan oleh sebagian aktivis HAM. Yang menjadi topik pembicaraannya adalah tidak sedikit orang-orang PKI yang juga menjadi korban atas kejahatan HAM masa lalu. Upaya untuk mengungkap kembali peristiwa kelam tersebut secara masif dicoba untuk didengungkan sebagai bagian dari penyelesaian konflik traumatik dan mencabut legitimasi buruk terhadap PKI.

 

Konteks Gerakan Rakyat anti Militerisme

17 tahun sudah pasca jatuhnya rezim Soeharto. Rezim yang berkuasa dengan sokongan penuh dari tentara. Rejim yang membuka “karpet merah” modal internasional. Berkuasa selama 32 tahun dengan terus mengembangkan ideologi dan politik Militerisme. Menempatkan Tentara dalam fungsi pertahanan dan keamanan. Bahkan dalam fungsi kebudayaan, sosial dan ekonomi.  …. Sementara itu banyak generasi muda tak menghayati perjuangan demokrasi 1998. Di sisi lain, tak sedikit pula kelompok pergerakan sebagai komponen masyarakat yang berkesadaran, yang tak menganggap bahwa isu militerisme sebagai isu yang mendesak untuk disuarakan. (TOR Musyawarah Gerakan Rakyat Melawan Militerisme tahun 2012 oleh Bumi Rakyat)

Pernyataan TOR di atas merupakan salah satu upaya transmisi memori masa lalu yang dinarasikan dalam agenda musyawarah. Narasi tersebut secara sederhana ingin menjelaskan tentang peran militer sebagai biang permasalahan dalam kehidupan sosial dan politik demokrasi. Mereka mencoba mengambil sejarah traumatis dan konteks tertentu yang menjadi banguan memori masa lalu yang ditransmisikan kepada post-generation untuk selanjutnya dan seterusnya digulirkan kembali tentang peran buruk para militer pada peristiwa masa lalu, karena

Memori masa lalu inilah yang melatarbelakangi adanya gerakan rakyat yang berbasis pada paham anti militeristik. Postmemory terkoneksi ke masa lalu tidak hanya dengan recall tetapi dengan investasi imajinasi, proyeksi, dan kreasi. Tranmisi memori tersebut diangkat karena mungkin terdapat peristiwa sekarang yang menunujukan adanya dominasinya militeristik di dalam kehidupan sosial dan politik demokrasi.

Seperti contoh, gerakan rakyat akan selalu ada ketika ada konflik struktural yang meliputi penguasa dengan rakyat. Sering kali kita melihat ketika rakyat bergerak dan menutut adanya perubahan kebijakan penguasa yang tidak pro rakyat, terjadi persingungan di lapangan antara pihak aparat dengan rakyat hingga terjadi chaos. Peristiwa chaos akan menjadi data utama untuk memframing tentang bagaimana peran aparat yang bahasanya tidak manusiawi dan semena-mena terhadap rakyat. Sehingga logis manakala peristiwa tersebut terkoneksi oleh masa lalu yang coba diangkat sebagai platform gerakan rakyat yang sentimentil terhadap aparat.

Tentu bagi saya pribadi tidak masalah akan dinamika dialektis yang terjadi saat ini. Namun hal perlu diketahui bahwa postmemory adalah upaya untuk membangun kembali memori masa lalu yang sifatnya traumatik dan memiliki tendensi akan kepentingan sifatnya ideologis dan politis. Oleh sebab itu bagi saya disinilah skeptisisme diperlukan sebagai kebebasan untuk menggali dan mencari tentang apa yang sebenarnya terjadi.

 

 

Oleh:

IMMawan Albi Arangga

Ketum IMM FKIP UMS Periode 2016/2017

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *