Siapa sih yang gak tau Muhammadiyah? Salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, terkenal dengan amal usahanya yang tersebar ke seluruh penjuru negeri kita. Dengan semangat dakwah amar makruf nahi munkar, kiprah Muhammadiyah tidak diragukan lagi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lalu, apakah ada ormas selain Muhammadiyah yang punya pengaruh besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara? Tentu ada. Tandingannya, apalagi kalau bukan NU atau Nahdlatul Ulama.
Bagaikan dua sisi mata uang, jika salah satu sisi hilang, maka tidak lengkap dan bukan uang namanya (hehe). Begitu pula jika dikaitkan dengan muslim Indonesia, ya dua ormas Islam inilah yang banyak memberi warna. Eits… dengan tidak mengurangi rasa hormat, masih ada kok ormas-ormas Islam lain yang punya peran besar bagi bangsa ini. Tapi, di sini saya cuma mau ngomongin tentang dua ormas Islam ini, karena keduanya punya jejak historis dalam kehidupan pribadi saya.
Kultur Desa dan Kota
Terdapat perbedaan antara sebelum dan setelah saya mengenal Muhammadiyah. Seperti yang sama-sama kita ketahui bahwa NU lahir dari masyarakat tradisional dan Muhammadiyah lahir dari wilayah perkotaan yang lebih modern. K.H. Hasyim Asy ‘ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang terkenal dengan preman atau begal-begalnya, sementara Kiyai Dahlan fokus agar dakwah Islam sepeninggalannya nanti tetap terus ada dengan mendirikan organisasi, sekolah dan amal usaha lainnya.
Maksud saya, mungkin dari latar belakang ini bisa saya jadikan dasar untuk berasumsi bahwa perbedaan yang dialami oleh diri saya sebelum dan sesudah mengenal Muhammadiyah adalah pada persoalan perbedaan sudut pandang dalam suatu realitas kehidupan akibat dari kultur masyarakat yang membentuk itu.
Suatu ketika, saya pernah beranggapan bahwa Muhammadiyah itu aneh, selalu saja berbeda dan cenederung saya gak suka pada saat itu. Maklum lah di tempat kelahiran saya yaitu Majalengka yang mayoritas adalah warga NU, jadi otomatis saya gak ngerti Muhammadiyah itu bagaimana. Dan yang sering saya dengar kalau orang Muhammadiyah itu gak tahlilan, sholat shubuh gak pake qunut dan lebarannya duluan. Tanpa tahu Muhammadiyah dari segi yang lain.
Sudah dapat ditebak bukan bahwa saya gak lahir dari keluarga yang berideologi Muhammadiyah atau bisa disebut bukan kader biologis jika dalam istilah berIMM (koreksi ya jika salah penyebutan hehe). Tapi, kok bisa ya saya jadi tau Muhammadiya dan sekarang cenderung berafiliasi dengan Muhamadiyah? Lalu kapan pertemuan itu terjadi? Hhmmm… saya ingat-ingat lagi deh.
***
Perjalanan Panjang
Setelah saya mengingat-ingat mengapa saya lebih setuju dengan Muhammadiyah, faktor yang saya temukan dan saya alami adalah perubahan struktur sosial. Karena sejak SMP sampai dengan sekarang menempuh kuliah, saya banyak bertemu orang-orang baru yang tentu berlatar belakang berbeda pula dan jarak tempuh yang jauh dari rumah ke tempat pendidikan membuat saya terbiasa dan lam-lama jadi betah dengan lingkungan yang baru. Gak cukup sampai di situ, herannya setelah saya lulus SMP orang tua saya malah menjerumuskan saya agar lebih mengenal Muhammadiyah dengan cara menyekolahkan saya di SMK Farmasi Muhammadiyah Cirebon, walaupun saya yakin tujuan mereka menyekolahkan saya adalah agar saya belajar ilmu farmasi dan agar saya bisa jadi apoteker atau murni dengan tujuan untuk menuntut ilmu tanpa ada tujuan yang lain.
Awal-awal, sempat terjadi pergolakan dalam diri saya ketika menyaksikan sendiri perbedaan-perbedaan yang dulu hanya saya ketahui dari kata orang-orang. Alhasil, reaksi penolakan pernah saya lakukan atas perbedaan yang saya anggap hal baru pada saat itu. Misalnya, malas ikut pelajaran Kemuhammadiyahan, malas ikut kegiatan Tapak Suci dan Hizbul Wathan yang ketika itu adalah ekstrakulikuler wajib untuk kelas 10 SMK. Dan yang sekarang saya sesali, dulu gak ikut OSISnya sekolah Muhammadiyah yaitu IPM. kader IPM jangan marah ya hehe. Setelah saya tahu, kesemuanya itu adalah ladang perkaderan Muhammadiyah.
Hari demi hari, bulan menjadi tahun, pelan-pelan saya dapat menerima perbedaan itu. Peran guru lah yang kali ini banyak membantu saya dalam proses penerimaan terhadap Muhammadiyah. Seorang guru Al-Islam Kemuhammadiyahan, Bapak Mohammad Umar namanya. Sosok yang sederhana dan jenaka sedikit demi sedikit ternyata telah mampu menyisipkan nilai-nilai ideologi kepada murid-muridnya, terutama pada saya. Mungkin beliau mengadopsi gaya dakwah AR. Fachruddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah 1968-1990). Kalau pake cocokologi mirip sih memang. Guru selanjutnya adalah seorang alumnus UM Malang. Gayanya nyentrik, ingin selalu terlihat muda dan dekat dengan siswa. Tapi dulu gak dekat-dekat sih amat dengan saya, karena saya agak nakal waktu itu. Cara mengajarnya pun punya ciri khas, selalu menggunakan mind map, diskusi, dan metode active learning lainnya. Persis kayak diskusi-diskusi IMM tiap kamis sore hehe. Dan telisik-ditelisik, ternyata beliau memang seorang kader IMM serta sempat menjadi pimpinan DPP IMM, entah tahun berapanya, saya lupa. Nama beliau adalah Ahmad Baits Diponegoro. Kalau gak salah orang, beliau juga menuliskan catatan kecil di bagian akhir halaman buku Genealogi Kaum Merah. Dari kedua sosok inilah sedikit demi sedikit saya mengetahui Muhammadiyah. Terima kasih. Semoga Allah selalu memberikan kesehatan kepada beliau berdua.
Berproses dalam Ikatan
Balas dendam. Ketika SMK saya gak ikut IPM, maka saya berkomitmen untuk ikut salah satu ortom di Muhammadiyah ketika akan kuliah. Dan akhirnya saya pilih IMM untuk dapat mengenal lebih jauh Muhammadiyah. Jika sekarang ditanya sudah sejauh mana saya mengenal Muhammadiyah? Maka masih banyak dimensi lain yang harus saya ketahui dan memahami Muhammadiyah ternyata tidak cukup dengan membaca buku-buku tapi juga harus terjun sekecil apapun hal yang bisa dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan Muhammadiyah. Jadi kader Muhammadiyah itu berat. Ragu dan bimbang, lebih baik pulang. Itu kata Jendral Soedirman. Artinya, kita diajarkan untuk jangan berhenti berproses. Begitupun dalam ikatan ini, saya lihat bukan karena seseorang itu baik, buruk, pintar, kaya, miskin atau apapun yang melekat pada diri manusia lantas menjadi kriteria khusus bagian dari Ikatan, Ikatan ini selalu terbuka untuk siapapun yang ingin berproses menjadi lebih baik. Selalu bukan berorintasi pada hasil tapi mengusahakan hasil yang baik dengan cara-cara yang ideal. Dan jangan salahkan IMM jika seorang kader itu berperilaku buruk, karena tujuan IMM adalah mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Jika isinya orang-orang baik saja maka IMM sudah selesai. Mungkin itulah fungsi IMM sebagai organisasi perkaderan.
Lalu, apakah saya patut dikatakan sebagai kader Muhammadiyah? Entahlah, biarkan saja orang lain yang punya otoritas untuk menilai dan saya gak terlalu mikirin itu. Yang jelas, saya merasa Muhammadiyah mampu mengejawantahkan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Begitupun dengan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, maka Muhammadiyah selalu berupaya hadir membantu. Bak Sang Surya yang memberi cahaya di saat datang gelap gulita. Tapi pada dasarnya setiap muslim adalah pengikut Nabi Muhammad, maka tidak lain tidak bukan kita semua adalah Muhammadiyah. Hanya saja yang membedakan, saya belum punya kartu Anggota Muhammadiyah. Hehehe.
.
Oleh:
Imam Bagus Faisal
Gubernur BEM FIK UMS periode 2020
Bidang Hikmah PK IMM FIK peride 2019/2020