Perjalanan panjang demokrasi di Indonesia telah mengalami fluktuasi sejak pasca kemerdekaan hingga saat ini. Demokrasi dipilih bangsa Indonesia sebagai tatanan kehidupan bernegara seperti dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial budaya. Sebagai tatanan kehidupan, inti dari kehidupan demokrasi secara empiris berkitan dengan persoalan hubungan antar negara atau pemerintah dengan rakyat, ataupun sebaliknya dalam posisi yang seimbang dan saling melakukan pengawasan (check and balance).
Indonesia mengalami berbagai model demokrasi, tercatat Indonesia pernah menjalankan demokrasi parlementer (1945-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965) yang memperlihatkan dominasi seorang presiden atau yang kerap dinamai Orde Lama (Orla), tahun 1965-1998 dengan Demokrasi Pancasila. Dari namanya jelas, landasan formil periode ini adalah Pancasila, UUD 1945, dan Tap MPRS. Periode ini ingin mengembalikan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Akan tetapi, pada era orde baru “Demokrasi Pancasila” hanya sebatas retorika dan belum sampai pada tahap penerapan, hingga Pancasila dijadikan tafsir tunggal oleh rezim tanpa memberi ruang masyarakat sipil dalam kehidupan demokrasi.
Lengsernya Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa memberikan angin segar bagi iklim demokrasi Indonesia dengan diberikannya kebebasan pers bagi ruang publik untuk berpartisipasi secara sosial maupun politik kebangsaan dan berlakunya kembali sistem multipartai. Masa ini menghasilkan kesempatan bagi rakyat untuk berserikat dan berkumpul sesuai ideologi dan aspirasi politiknya, hal ini ditandai dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahunn 1999 yang lebih demokratis dan berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Paradoks Demokrasi dan Problem Pers
Penegakan demokrasi dimasa reformasi seiring berjalannya waktu bukan tanpa hambatan. Pergolakan-pergolakan politik, sosial maupun ekonomi terus terjadi sesuai dan tergantung dari rezim yang berkuasa. Namun pada era reformasi ini terjadi sebuah ironi atau paradoks dalam demokrasi yang mana demokrasi bukan lagi sebuah idealisme dan agenda yang harus diperjuangkan untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, melainkan dijadikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan semata. Seiring meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum pada masa reformasi hingga sekarang ini tidak diimbangi dengan nilai-nilai yang dijunjung dalam demokrasi yaitu kebebasan sipil.
Hampir dapat dipastikan dalam setiap periode menjelang pemilu situasi dan kondisi politik acapkali diwarnai dengan persaingan dan konflik antar kekuatan politik. Puncaknya, konflik politik terjadi di tahun 2019 dalam agenda pemilihan presiden dan wakil presiden. Konflik yang menurut penulis adalah konflik yang paling berdampak bagi tatanan kebangsaan sampai detik ini. Terjadi polarisasi akibat sentimen agama masuk dalam ruang-ruang politik. Perpecahan antara kelompok pro pemerintah dengan kelompok anti pemerintah semakin parah dengan massifnya pemberitaan di media yang cenderung memprovokasi dan tak jarang berujung hoax.
Problem profesionalisme pers di tahun-tahun politik selalu menjadi sorotan terutama menjelang pilpres tahun 2019 lalu. Aura dukung mendukung secara tersirat maupun tersurat sangat terasa di media mainstream dan media sosial oleh mereka yang berpofesi sebagai jurnalis. Hal ini mencuat karena terdapat fakta yang tak terhindarkan, bahwa sejumlah media memang dimiliki oleh politisi yang partainya ikut dalam kontestasi pemilu presiden dan legislatif tahun 2019.
Kilas Balik Tahun 2020
Imbas dari konflik politik tahun 2019 ternyata berlanjut sampai di tahun 2020. Pembelahan kelompok masyarakat semakin tak terkendali dan praktis hanya tersisa satu partai politik yang beroposisi pada pemerintah, sehingga kontrol terhadap kebijakan menjadi lemah. Terbukti dengan lolosnya Undang-Undang konrtoversial seperti RU KUHP, Revisi UU KPK, dan yang paling diingat publik pada tahun 2020 yaitu Omnibus Law Cipta Kerja yang sekarang menjadi UU No 11 Tahun 2020.
Semakin kita mengenang romantisme tahun ’98 dalam merebut kebebasan sipil ditangan rezim yang otoriter dan mengharapkan agar agenda reformasi terus berlangsung, terasa semakin dijauhkan pula kita dari cita-cita reformasi yang menjunjung kebebasan sipil di era rezim Jokowi ini. Terlihat dari indeks demokrasi Indonesia berdasarkan aspek kebebasan sipil menurut Badan Pusat Statistik (BPS) di era Presiden Jokowi pada tahun 2019 berada di angka 77,2 angka ini menurun dibanding era pemerintahan Presiden SBY dan menurut hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) mencatat ada 36 persen responden yang menyatakan Indonesia saat ini kurang demokratis, sebanyak 21,9 persen responden sangat setuju dengan pernyataan saat ini orang semakin takut untuk menyatakan pendapat dan sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju dengan pernyataan itu. Hasil survei Litbang Kompas mendapatkan temuan yang senada, sebanyak 33,5 persen responden menilai persoalan kebebasan berpendapat adalah persoalan politik dan keamanan yang harus diselesaikan pemerintah.
Kebebasan berpendapat agaknya hanya dirasakan oleh kelompok yang pro pemerintah, hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh-tokoh yang besebrangan dengan rezim di persekusi sampai dipidanakan. Peristiwa demonstrasi yang mendapat intimidasi, kekerasan, doxing terhadap mahasiswa maupun jurnalis. Belum lagi pembubaran organisasi masyarakat tanpa melalui proses peradilan dan peristiwa terbunuhnya enam orang laskar FPI menandakan demokrasi kita mengalami kemunduran.
Pers dalam Merawat Demokrasi
Iklim demokrasi di Indonesia sekarang ini juga dipengaruhi oleh media sosial. Setidaknya media sosial memiliki dua kontribusi dalam pelaksanaan demokrasi; kontribusi positif dan negatif. Dilihat dari segi positifnya media sosial dapat membuat masyarakat semakin terbuka akan kinerja pemerintah dan mendapat ruang untuk menyampaikan pendapatnya melalui media sosial yang mudah diakses. Namun bukan tanpa konsekuensi, keterbukaan dan mudahnya akses media sosial berdampak pada banyakya informasi yang sesat dan menyesatkan. Hal ini diperparah dengan rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia.
Sistem demokrasi pada dasarnya memang memberikan ruang bagi setiap orang untuk menyampaikan pendapat. Oleh karena itu, demokrasi kerap disebut sebagai sistem yang berisik. Jadi, semakin baik demokrasi maka semakin berisik pula perdebatan-perdebatan di ruang publik. Tapi tentunya masih dalam koridor dan sesuai prosedur demokrasi.
Namun ada yang berbeda di Indonesia, gaduhnya publik saat ini cenderung lebih banyak menghasilkan pendapat-pendapat sentimen daripada pendapat yang berargumen. Munculnya para pendengung atau buzzer-buzzer menambah semrawut perdebatan diruang publik dan akhirnya menghasilkan hegemoni informasi yang diproduksi pemerintah terhadap masyarakat sipil. Dan faktanya berdasarkan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), Pemerintah dalam enam tahun terakhir telah menggelontorkan 90,4 miliar untuk membayar influencer dan buzzer dengan tujuan untuk menggiring opini publik soal kebijakan dan program kerja pemerintah.
Maraknya buzzer dan terpengaruhnya masyarakat oleh ucapan maupun tindakan para influencer yang belum tentu kebenarannya berdampak juga pada melemahnya peran pers. Hal ini menghawatirkan bagi keberlangsungan demokrasi Indonesia yang kehilangan kontrol sosial dari pers yang merupakan corong bagi masyarakat sipil. Maka dari itu, penting bagi pers untuk meningkatkan kembali perannya sebagai media informasi publik, edukasi, hiburan, dan kontrol sosial sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Oleh:
IMMawan Imam Bagus Faisal
Pimred LPM Cendekia
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Surakarta