Cyberbullying, mungkin kata itu tidak asing di telinga kita. Cyberbullying bisa diartikan penindasan seseorang di dunia maya (cyber world). Sebuah tindakan yang biasanya dilakukan oleh orangorang yang selalu melihat kekurangan orang lain sebagai kekuatan mereka untuk mendapatkan hal yang mereka inginkan. Sudah banyak kasus yang terjadi akibat dari kegiatan bullying ini. Para pelaku yang bisa datang dari berbagai usia serta latar belakang atau alasan, bisa melakukan hal tersebut. Dan korban-korban yang tidak bisa dihitung jumlahnya. Apalagi saat ini tidak hanya orang dewasa, bahkan anak-anak yang masih terhitung di bawah umur atau sepantaran sekolah dasar sudah aktif berselancar di media sosial. Mereka bisa saja meniru perilaku negatif yang terdapat di media sosial. Jadi, apa yang mengawali terjadinya cyberbullying ini? Siapakah yang seharusnya bertanggung jawab atas insiden yang sedang merambat di dalam pesatnya kemajuan teknologi?.
Jika kita lihat dari korban serta pelaku yang rata-rata berusia 13-17 tahun bisa kita ketahui bahwa semua tindakan kekerasan itu datang dari mereka sendiri, yaitu para remaja yang sedang memasuki masa mencari jati diri. www.stopbullying.gov mengatakan bahwa, Cyberbullying is bullying that takes place using electronic technology. Electronic technology includes devices and equipment such as cell phones, computers, and tablets as well as communication tools including sosial media sites, text messages, chat, and websites.
Media yang sering digunakan untuk melancarkan aksi cyberbullying ialah medsos/media sosial. Sekarang ini banyak sekali fitur-fitur baru yang bermunculan menandakan dunia telah mengalami kemajuan yang pesat. Bisa kita lihat bahwa cyberbullying sangatlah terikat dengan media sosial yang sering digunakan oleh para remaja bahkan anak-anak usia di bawah umur. Di Indonesia sendiri pengguna media sosial sangatlah banyak.
Mari kita lihat data 4 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2016 pengguna sosmed masyarakat Indonesia mencapai 79 juta dan jumlah tersebut sebesar 30% dari total populasi di Indonesia. Mentri Sosial,Khofifah Indar Parawansa (dikutip dari detik.com, 2017) mengatakan bahwa, Ada salah satu survei yang menyebut bahwa anak-anak di Indonesia umur 12-17 tahun itu bisa sampai 84 persen mengalamibullying. Pada posisi seperti ini, ternyata paling banyakcyberbullying,”. Pada tahun 2013, kasus cyberbullying di Indonesia menempati posisi pertama sebagai penyumbang kasus cyberbullying sebanyak 38 persen.
Penggunaan sosial media Indonesia meningkat pesat. Selain itu, terdapat data mengenai obralan yang sering dibicaran oleh kelompok perempuan dan kelompok laki-laki. Pada kelompok perempuan sering sekali membahas mengenai isu pribadi. Mereka sering sekali menulis sesuatu mengenai diri mereka serta meminta pendapat orang lain mengenai postingan mereka di sosial media. Hal inilah yang selalu digunakan oleh para pelaku cyberbullying demi mencari reputasi atau sekedar lelucon yang sering kali membawa maut. Remaja-remaja Indonesia yang bertindak sebagai pelaku menganggap cyberbullying adalah hal yang wajar terjadi atau hanya sekedar bahan candaan mereka di media sosial.
KPAI bidang pendidikan mengungkapkan, pada 30 Mei 2018 terdapat 161 kasus kekerasan. Dari jumlah tersebut terungkap anak korban kasus kekerasan dan bullying mencapai 22,4% dan anak pelaku kekerasan dan bullying mencapai 25,5%. Kita ambil contoh Instagram, jelas sekali bahwa remaja Indonesia semuanya memakai aplikasi ini. Biasanya mereka memakainya sebagai panggung mencari kepopuleran di dunia maya. Mereka memakai like dan komentar pujian sebagai penilainya mereka di dunia maya. Tapi tidak bisa dipungkiri juga jika ada orang yang mengomentari dengan sebuah kritikan hinaan, ejekan, dan sindiran. Hingga puncaknya terjadi peperangan di kolom komentar.
Dalam berbagai kasus lain, cyberbullying bisa datang dari pelaku yang pernah jadi korban bullying di dunia nyata. Mereka yang statusnya masih remaja dengan emosi yang sangat rentan akan ucapan atau perlakuan bisa jadi sangat agresif ketika emosi mereka tidak bisa dikendalikan. Hasilnya mereka akan melakukan apa pun untuk membalas para pem-bully mereka. Mulai menyebarkan hoax, mengancam dengan menyebarkan foto pribadi, mengakses akun sosial mereka lalu melakukan tindakan ancaman.
Seperti yang saya katakan di paragraf satu bahwa pelaku bisa siapa pun. Orang tua, guru, pekerja kantoran bahkan diri kita sendiri tanpa kita sadari. Semua kata-kata kita yang kita tulis di layar ponsel mampu dibaca sama semua orang, meliputi orang-orang yang mungkin punya felling, orang yang kita tidak tahu apakah dia sehat secara mental atau mungkin orang yang kita singgung sedang depresi.
Jadi apakah kita harus diam saja jika kita terkena atau mungkin melihat teman-teman kita mengalami kasus cyberbullying? Tentu kita harus melawan balik, jangan biarkan cyberbullying mendarah daging dalam diri kita maupun orang lain. Banyak hal yang bisa kita lakukan, seperti:
- Jangan langsung merespon
- Usahakan tidak membalas dengan hinaan juga
- Carilah orang yang bisa membantu kita
- Segera melapor kepada pihak yang berwajib
Walaupun hal-hal tersebut sangatlah sepele, tapi setidaknya bisa membantu kita dalam melindungi diri. Korban cyberbullying haruslah memiliki keberaian untuk melapor kasus tersebut, agar pelaku tidak melakukan hal yang serupa ke orang lain.
Seperti yang dilakukan oleh seorang dosen FISIP Universitas Brawijaya, Maulina Pia Wulandari. Dirinya menjadi korban cyberbullying setelah fotonya yang diambil tanpa izin, kemudian diedit dan disebarluaskan (JawaPos.com). Namun beliau menanggapi masalah itu dengan sabar serta berpikir positif. Dia juga berpendapat biasanya pem-bully ini akan merasa senang jika dia tidak dipenjara atau dihukum.
Oleh karena itu, perlu efek jera agar para pelaku bullying tidak semakin menjadi. Selain itu, bagi orang tua juga agar memberi pemahaman kepada anak-anaknya bahwa media sosial adalah ruang publik dengan aturan pribadi dan sepenuhnya harus ditaati (Health-Liputan6.com).
Oleh karena itu, kita sebagai warga Indonesia yang memegang teguh nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika seharusanya sadar bahwa sikap itu sama sekali tidak mencerminan karakter bangsa dan negara. Jika kita melihat dari sudut pandang Pancasila, tidak terlihat sikap menghormati dan menghargai antar umat beragama. Tidak ada juga sikap saling menyayangi dan mencintai antar sesama umat manusia. Perilaku bullying disebut sebagai tindakan yang tidak manusiawi dan tidak beradab, karena pelaku telah merendahkan dan memberi label yang buruk kepada korban.
Selain itu, kita sebagai generasi muda Indonesia harusnya dapat menjiwai semboyan Bhinneka tunggal Ika yang berarti berbeda tetapi tetap satu. Dalam tindakan bullying sudah pasti tidak ada namanya keadlian, yang ada hanyalah diskriminasi. Mari kita jaga persatuan, hargai perbedaan dan jadikan bangsa ini menjadi bangsa yang berkemajuan.
Daftar Pustaka
https://wearesocial.com/blog/2018/01/global-digital-report-2018
https://www.youtube.com/watch?v=rmnfv1Ed6fw
https://www.academia.edu/20314003/TRADISI_BULLYING_DI_MATA_PANCASILA
http://jamespatrick26.blogspot.com/2017/07/4-alasan-kenapa-netizen-indonesia-bisa.html
https://news.detik.com/berita/d-3568407/mensos-84-anak-usia-12-17-tahun-mengalami-bullying
https://wehelpdonthurt.wordpress.com/2015/10/02/mengapa-cyberbullying-dapat-terjadi/
https://epicproductionhouse.wordpress.com/2016/08/08/cyber-bullying-perkembangan-di-indonesia/
http://m.mediaindonesia.com/read/detail/161599-medsos-pacu-radikalisasi
https://www.liputan6.com/tekno/read/3339413/semakin-banyak-orang-indonesia-kepincut-medsos
https://www.liputan6.com/health/read/3304433/psikolog-cyberbullying-bisa-membuat-korban-jadi-depresi
Oleh: Muhammad Bagus Ariyahya*)
*) Kader IMM Komisariat Moh. Hatta FEB UMS