Memahami Terbentuknya Sebuah Pemikiran (Bedah Buku Boeah Fikiran Kijahi H.A. Dachlan )

Buku yang berjudul Boeah Fikiran K.H.A Dachlan, merupakan karya dari Bung Abdul Munir Mulkhan, merupakan seorang filosuf Persyarikatan yang akademisi dan kenyang dengan banyak pengalaman dalam bidang organisasi, kepustakaan, dan keagamaan, yang setahu saya beliau merupakan salah satu diantara palang-pintu persyarikatan tingkat Pusat di Yogyakarta. Apa yang terbesit dari pernyataan ini, bahwa buah karya beliau tentang persoalan yang ada di sekitar Kijahi Dachlan, tentu memiliki tingkat ketepatan dan kesahihan yang tidak usah diragukan lagi dengan tingkat kesaksian yang dapat dikatakan sebagai sesuatu yang mutawatir.

Buku ini sebagai kumpulan dari 10 tulisan-tulisan Bung Mulkhan plus satu naskah dari Het bestuur Taman Poestaka Moehammadijah yang terpontho dalam tiga bagian (Semesta Pemikiran, Nalar Pemikiran Sosial, dan Asas Revolusi Kebudayaan), Seluruhnya dituliskan sejak tahun 2000, yakni situasi Persyarikatan Muhammadiyah di tengah perubahan Indonesia era reformasi, menunjukkan bagaimana penulis mencoba untuk mengangkat gagasan pemikiran yang dikemukakan oleh Kijahi Dachlan pada awal abad 20 dan kemudian dianalisis dalam suatu telaah dalam suatu kaitan tematik terkait yang menonjolkan rangkaian bahasan yang memiliki hubungan sebab-akibat perkembangan pasang-surut dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang maju dan modern.

Sejak awal dibentuknya persyarikatan Muhammadiyah, KH Ahmad Dachlan memang secara konsisten telah menandaskan mengenai persoalan kepemimpinan yang didasarkan ikatan pengetahuan, cara tindakan, dan amal.[1] Apa yang diserukan itu bukanlah merupakan sebuah gagasan yang dibayangkan mengenai bentuk dari sebuah tatanan masyarakat yang ideal sebagaimana yang biasa dikemukakan para ahli hokum dan politik mengenai sebuah kemasyarakatan bangsa. Melainkan suatu dasar yang pertimbangannya cukup sederhana dan mendasar, yaitu: Ilmu yang amaliah dan Amal yang keilmuan, yang sebagaimana disinggungnya sebagai ilmu mantheq, yang akan membawa perkembangan dalam sebuah gambaran tentang dinamika kepribadian melalui jargon muslim-Jawa dadija kijahi sing kemajoean.

Ini menunjukkan bahwa persoalan dari gagasan dasarnya itu besar kemungkinan adalah berasal dari sebuah pengalaman pribadi. Yakni bagian ekspresif dari tahapan proses diri yang merupakan bagian dari ketekunan Kyai dalam memahami ilmu pengetahuan yang didalaminya melalui proses pembelajaran. Catatan biografi menunjukkan bagaimana Kijahi Dachlan mencoba untuk mencari ketepatan-ketepatan baru dalam pemahaman keberagamaan melalui pengalaman keilmuan yang diperolehnya dari Kijahi Saleh Darat di Semarang. Atau pun juga tentang bagaimana yang dinyatakan oleh kesaksian Haji Agus Salim terhadap aktivitas itu, tatkala beliau melakukan perjalanan dari Yogyakarta ke Batavia dengan naik kereta api dan di dalam gerbong yang ditumpanginya bertemu dengan Kyai Dachlan, ternyata selama dalam perjalanan sang kyai secara khusus terus menerusi serius menekuni bacaan kitab Tafsir Al-Manar.

Sehingga menjadi menarik apa yang disimpulkan Kjai Hadji Mas Mansoer pada saat bertemu dengan Kyai Dahlan seusai kepulangan dari studinya di Mesir (1915), yang mengemukakan perlunya memperbaiki keadaan umat dengan menggunakan Al-Quran dan Hadits sebagai alatnya, sehingga orang dapat dikembalikan pada tauhid. Dengan demikian, maka dalam proses keagamaan itu yang perlu dilakukan oleh orang bukanlah sekedar dengan melaksanakan sembahyang dan ibadah. Melainkan dengan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai piranti dalam berinteraksi dengan lingkungan hidup; ilmu pengetahuan sepenuhnya terlibat dalam proses-proses perbaikan keadaan tersebut.[2]

Hingga disini, kita dapat melihat substansi dan perspektif dari pemikiran Kijahi Dachlan mengenai kehidupan umat dalam proses-proses sosialnya. Bahwa kedekatan antara Islam dan ilmu pengetahuan, adalah sebagaimana Rasulullah SAW mengajarkan perihal nilai-nilai pengetahuan, dan Al-Quran menjadi saksi nilai utama dari pengetahuan dan ilmu itu. Yang mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliyah kepada cahaya pengetahuan dan membuat mereka sadar akan rahmat yang tak ternilai harganya, yakni the inestimable blessing of the knowledge of writings (rahmat pengetahuan menulis). Karena banyak keuntungan yang diperoleh daripadanya, yang hanya Tuhan meliputinya; tanpa pengetahuan menulis itu tak ada ilmu-ilmu lain yang bisa diliputi dan tak ada ilmu-ilmu yang bisa ditaruh dalam batas-batas tertentu. Yang mana hal itu adalah sebagaimana Sayed Ameer Ali menandaskan akan pentingnya indikasi dan kerasulan di dalam Islam, yang telah membawa umatnya menjadi begitu dekat kepada pikiran modern. [3]

Implikasi dari pemikiran dan perspektif tersebut telah memberi inspirasi untuk menjawab persoalan kebodohan, kemiskinan, dan deskriminasi kebijakan, dan untuk itu tidak segan-segan melakukan adobsi dan pembaharuan terhadap proses-proses kegiatan dalam konsep, teknik dan kelembagaan dari pelbagai kegiatan, baik dari peradaban Barat, maupun lembaga-lembaga dalam masyarakat yang telah maju. Guna pengembangan kehidupan keumatan dan human resources dalam kerangka nation state, serta merintis dan mengembangkan persyarikatan serta aktivitas-aktivitas social yang terlembaga dan bertanggungjawab, seperti dalam bidang pengajaran dan persekolahan, kemanusiaan perjalanan haji, pembinaan kaum muda, kebijakan public serta keterlibatannya dalam proses-proses pergerakan nasional. Melalui bukti-bukti mekarnya amal usaha persyarikatan hingga saat terakhir, kemudian penulis dalam buku ini menyatakan sebuah klaim mengenai kepeloporan Kijahi Dachlan dalam meletakkan pelbagai tradisi ritual islam di Indonesia.

Pelbagai aktivitas yang dilakukan oleh persyarikatan Muhanmmadiyah tak lain adalah mencakup keseluruhan sikap dan tindakan uang diusahakannya untuk mencapai tujuan didirikannya persyarikatan. Muhammadiyah yang identitasnya adalah gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi munkar, memiliki maksud dan tujuan berbentuk nilai-nilai maupun pandangan hidup yang dicita-citakan dan diharapkan dapat terwujud dengan keberadaan dari persyarikatan tersebut. Yakni menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT. (Anggaran Dasar Muhammadiyah Bab II Pasal 3). Untuk mencapai tujuan tersebut, persyarikatan melaksanakan dakwah dan tajdid dengan usaha-usaha tertentu yang diusahakan secara bersama-sama oleh para anggota Muhammadiyah, yakni melalui pola-pola penugasan yang disebut sebagai usaha. Hal tersebut dalam ketentuan Anggaran Dasar Bab II Pasal 4 disebutkan, setidaknya dapat dilakukan tigabelas macam usaha (sejak ihwal yang berkaitan memperdalam agama Islam hingga pelbagai usaha lain yang sesuai dengan maksud tujuan persyarikatan). Yang mana hal itu merupakan konsep-konsep yang menjadi sumber bagi penyusunan lebih lanjut bagi aktivitas dan ruang gerak produktivitas ataupun amalan organisasi dari persyarikatan Muhammadiyah.

Pola tugas atau usaha yang diupayakan dalam pelaksanaannya itu dilandaskan pada suatu konsep yang disebut khittah perjuangan. Konsep ini dapat diketemukan pada setiap organisasi atau persyarikatan, karena merupakan bagian dari strategi yang diperlukan untuk mendorong arah perjalanan dalam pencapaian tujuan organisasi. Secara konsepsi dan menejerial, khittah perjuangan Muhammadiyah itu didalamnya berisi pola dasar perjuangan dan program dasar perjuangan.[4] Disini, kedua hal yakni usaha dan khittah merupakan landasan bagi segenap kegiatan dan amal usaha Muhammadiyah. Sehingga khittah perjuangan Muhammadiyah merupakan konsepsi ideologis dan praksis dari gerakan-gerakannya, yang mendorong kegiatan-kegiatan yang disebut landasan operasional. Namun yang tampaknya membuat kedudukan khittah perjuangan menjadi menonjol dan sangat spesifik dalam Muhammadiyah, adalah karena kehadirannya yang menyangkut pola hubungan yang tertentu dengan wilayah politik.[5] Hubungan antara Muhammadiyah dengan wilayah politik inilah yang telah banyak menimbulkan ketegangan-ketegangan tersendiri sehingga menuntut persyarikatan harus banyak pengeluaran enerji dan menjadikannya sebagai fokus perhatian secara nasional.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keberadaan khittah perjuangan menjadi sebuah persoalan yang dianggap spesifik kaitannya dengan aspek-aspek kebidupan public yang utama di tingkat nasional, dimana proses politik dan kepentingan-kepentingan yang ridak mudah untuk didamaikan akan mendorong konflik-konflik dan perubahan-perubahan. Pergulatan tersebut oengaruhnya dirasakan cukup mendalam terhadap konstelasi nasional dan kelembagaan social, yang secara langsung memiliki pengaruh yang positif atau negatif terhadap eksistensi Muhammadiyah secara nasional sebagai gerakan islam, gerakan dakwah, dan gerakan tajdid.

Khittah perjuangan Muhammadiyah sebagai strategi pencapaian maksud dan tujuan organisasi makan keberadaannya ditetapkan dalam Muktamar. Dalam realisasinya, tentu khittah berfungsi sebagai strategi dasar yang diharapkan akan mendorong ketepatan arahan bagi program-program kerja (yang terperinci dan berjenjang serta berkesinambungan), guna memberikan jalan dan arah bagi segenap aktivitas lini organisasi dan amal usaha Muhammadiyah lainnya. Meski ia memiliki posisi yang sentral dalam meletakkan ketentuan-ketentuan program, namun ia terus dituntut harus bersikap terbuka terhadap tantangan-tantangan yang terbaru. Sehingga kemudian maka boleh dikatakan bersifat open-ended, yang selalu terbuka untuk perkembangan dan penafsiran terhadap realitas kekinian guna menjawab tantangan-tantangan baru yang muncul. Melalui pola terbuka-tertutup seperti itu, maka dalam perjalanannya khittah perjuangan juga diharapkan akan berubah secara fleksibel, yang secara terstruktur akan diatur dan disesuaikan dengan prosedur dan disiplin organisasi. Sejak didirikannya sampai 2017, Muhammadiyah tercatat terdapat enam periode perumusan khittah perjuangan. Keenam periode itu yakni: khittah perjuangan yang dirumuskan pada kepemimpinan KH Mas Mansoer yang disebut Langkah Duabelas (1938), kemudian khittah Palembang pada kepemimpinan AR Soetan Mansoer (1956), disusul Khittah Ponorogo (1969), khittah Ujung Pandang (1971), dan khittah Surabaya (1978) yang dirumuskan pada masa kepemimpinan AR. Fachruddin. Serta khittah Denpasar (2002) pada kepemimpinan Profesor Dr. Ahmad Syafii Maarif.

Persoalan performansi dari persyarikatan Muhammadiyah di tengah perubahan reformasi yang kecenderungannya adalah serb apolitik, narasi dan tantangan dari peradaban keilmuan dan teknologi tinggi telah menjadi persoalan tersendiri, yang sebenarnya itu membutuhkan enerji baru yang lebih dinamis. Itulah mungkin yang dikatakan penulis buku ini sebagai malamnya matahari Muhammadiyah. Yang berada diantara kecenderungan miskin ijtihad, sikap stagnasi dan pikiran yang apologis. Ada sinyalemen bahwa aktivitas yang ada di kompleks persyarikatan yang secara organisasional begitu gemuk, menjadi semkain berkurang dalam vitalitas gerak dan kultural-etiknya. Apalagi dalam kenyataan biasanya mereka yang banyak memusatkan pada persoalan teknis dan status (kelembagaan, kuasa, materi, dan gelar), telah menyebabkan gerak dinamisnya lebih benyak berjalan di tempat, hanya pada lokasi birokrasi dan administrasi. Tidak lagi menampakkan kreatifitas dan ketajaman prioritas dalam visi, aktivitas, dan keterlibatannya dalam masalah-masalah besar yang urgen dan strategis. Sementara dalam gerak politik, juga banyak ketinggalan dibandingkan dengan saudara-saudara di kamar sebelah yang banyak menduduki posisi public yang penting dalam masyarakat di tingkat nasional; sementara klaim-klaim politik dari para tokoh tertentu yang egosentrik banyak menimbulkan keresahan politik dan kecenderungan dogmatic-otoritarian di kalangan umat.

(Tanpa mengurangi kenyataan akan banyaknya para pimpinan persyarikatan yang sarat prestasi dan keunggulan), selama ini manakala kita mendengarkan sesorah atau tulisan dan wacana yang disampaikan beberapa diantara mereka, rasanya cukup banyak elit terpelajar dalam persyarikatan yang sudah terlanjur merasa besar, puas, dan bangga terhadap diri sendiri meski dalam keterbatasan analisis wacana muttakhir, sehingga mengambang di tengah ideologi beku. Hal seperti itulah yang nampaknya melatari permsalahan mengapa banyak pihak yang kehilangan vitalitas dan orientasi dalam perspektif dari pemikiran Kijahi Dachlan. Untuk selalu berusaha terlibat dan mengembangkan diri dalam ilmu pengetahuan, intelektualitas dan sikap profetik dengan menggandeng kekuatan-kekuatan yang lebih maju dari personal dan kelembagaan diluar dirinya.

[1] K.H.Ahmad Dahlan, Al-Islam Al-Quran, dalam: Siaran Tabligh, No. 8 Maret 1983, Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tabligh, Yogyakarta, hal. 5-7 ; Ahmad Dahlan, Tali Pengikat Hidup Manusia, dalam: Drs. Sukrianta AR; Drs. Abdul Munir Mulkhan (ed), Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah dari Masa ke Masa, Penerbit Dua Dimensi, Yogyakarta, 1985, hal 2-3

[2] KH Mas Mansoer, Kjai Hadji Ahmad Dahlan, dalam: Adil, No. 48 Thn VI-3 September 1938, Sala

[3] Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, A History of the Evolution and Ideas of Islam with A Life of the Prophet, First Edition, Islamic Book Trust, Delhi, 1981, p. 361, 360

[4] Musthafa Kamal Pasha; Chusnan Jusuf; A. Rosjad Sholeh, Muhammadijah sebagai Gerakan Islam, Penerbit ; Pimpinan Pusat Muhammadijah, Yogyakarta, 1970, hal. 26, 56-57

[5] Menurut H. Djarnawi Hadikusuma, dengan langkah tersebut (yakni Langkah Duabelas yang dirumuskan Mas Mansoer), yang kalau sekarang ini dinamakan khittah, jelas bahwa Muhammadiyah mulai dibawa lebih ke tengah percaturan masyarakat, untuk bersama-sama dengan dengan gerakan lain di dalam membela kepentingan-kepentingan nasional. H. Djarnawi Hadikusuma, Matahari-matahari Muhammadiyah dari K.H.A. Dahlan sampai dengan K.H. Mas Mansur, jilid I, Penerbit Persatuan, Yogyakarta, (tt.), hal. 46

oleh:

MT. Arifin

(Peneliti Muhammadiyah)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *