LITERASI KONVENSIONAL VS LITERASI DIGITAL

Membaca, dewasa ini, utamanya membaca dengan cara yang konvensional agaknya tidak lagi begitu diminati umumnya masyarakat, tidak terkecuali masyarakat akademis. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan zaman yang katanya kini sudak sampai pada era Revousi Industri 4.0 di mana teknologi informasi dan komunikasi begitu berpengaruh pada kehidupan umat manusia, karena arus informasi yang begitu deras mengalir tanpa sanggup dikendalikan bahkan dibendung dengan cukup maksimal. Revolusi Industri 4.0 yang begitu didengungkan di hampir setiap kesempatan, baik itu forum-forum ilmiah akademis, maupun di luar itu, seolah-olah menjadi tagline yang mampu menyihir segala aspek kehidupan umat manusia dewasa ini.

Di era di mana arus informasi bagai tsunami yang mampu menyapu status quo yang sudah lama mapan di tengah-tengah masyarakat. Revolusi Industri 4.0 ditandai oleh semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi serta arusnya yang begitu membanjiri ruang-ruang publik hingga ruang-ruang privat. Berbagai aktivitas manusia kini tidak bisa dilepaskan dari alat-alat elektronik semacam gawai dan koneksi internet. Dalam konteks masayarakat akademis, termasuk di dalamnya adalah mahasiswa, fenomena Revolusi Industri 4.0 membawa dampak yang luar biasa. Aktivitas akademis mahasiswa begitu lekat dengan gawai dan internet, tak terkecuali dalam hal aktivitas literasi yang berkenaan dengan literatur.

Literatur-literatur perkuliahan sekarang ini sudah semakin marak yang berbasis teknologi, dengan adanya e-book, e-journal, dan literatur-literatur digital lain. Selain literatur perkuliahan, media massa tidak kalah dalam perlombaan penyediaan sumber bacaan digital kepada masyarakat umum, dengan adanya e-newspapper. Terlepas dari faktor ekonomi yang pasti dijadikan salah satu pertimbangan utama, adanya e-newspaper dapat menjangkau masyarakat digital atau warganet. Singkat kata, segala aktivitas manusia kini sudah dimudahkan dengan penggunaan gawai dan internet, di satu sisi. Lain cerita di sisi yang lain.

Layaknya dua sisi mata uang, Revolusi Industri 4.0 dengan segala hingar bingar teknologi dan tsunami informasinya (meminjam istilah David Efendi), serta tawaran kemudahan akses informasi, tak dapat dipungkiri juga memiliki sisi yang merugikan. Kemudahan informasi yang salah satunya adalah interaksi di media sosial, berpengaruh pada budaya literasi masyarakat. Masyarakat menjadikan informasi-informasi singkat yang terkadang hanya berupa gambar tangkapan layar (screenshoot) sebagai sumber informasinya. Hal ini berakibat pada mudahnya masyarakat terjebak berita hoaks. Semangat literasi nampak menurun, dilihat dari masyarakat yang lebih suka mengonsumsi informasi instan, atau dalam istilah Pradana Boy literasi instan. Adanya berita hoaks yang semakin merebak, dengan umumnya konten yang provokatif, menggalang solidaritas, dan identik dengan ikatan emosional mengakibatkan nalar sehat manusia kadang kalah.

Mahasiswa, sebagai bagian dari kaum intelektual, mengutip pernyataan David Efendi, Ketua Serikat Taman Pustaka & Pendiri Rumah Baca Komunitas, haruslah memposisikan dirinya sebagai ekspresi nalar sehat masyarakat di mana dia berada dan mengada. Ini menandakan mahasiswa dengan peran intelektualnya harus menjadi filter dari tsunami informasi yang menghantam nalar berpikir. Di era post-truth, era di mana kebenaran sudah terlampaui, kebenaran sudah kehilangan esensinya. Kebenaran tidak lagi menceriminkan kondisi sebenarnya dari suatu hal, namun malah merupakan milik segelintir orang yang mempunyai kekuasaan, atau dalam konteks milenial sekarang adalah mereka yang menguasai media dan mampu menghegemoni masyarakat dengan penguasaan medianya.

Merebaknya literasi instan di sosial media berpengaruh pada frekuensi penggunaan akal untuk memeriksa validitas informasi tersebut, atau dengan kata lain, penerima dan penikmat literasi instan enggan melakukan crosscheck terhadap informasi yang ia terima. Sungguh hal yang sangat disayangkan, jika hal ini juga menjangkiti mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual, kaum cerdik pandai. Terjadinya penurunan semangat berliterasi dari mahasiswa ditengarai menjadi salah satu sebab semakin tumbuh suburnya hoaks di dunia maya. Dengan kondisi demikian, kondisi di mana literasi digital yang berubah wujud menjadi literasi instan, tidak bisa diandalkan untuk senantiasa mengasah ketajaman nalar berpikir, maka muncul kembali wacana untuk kembali kepada literasi konvensional, menggunakan buku dan media-media cetak.

Wacana kembali kepada literasi konvensional bukan isapan jempol belaka. David Efendi, menyebutkan salah satu strategi penanggulangan rezim pikiran post-truth ini adalah politik literasi yang bertumpu pada penguatan infrastruktur pengetahuan manusia: perpustakaan dan produksi buku[1].

[1] Tulisan David Efendi berjudul Senjakala Intelektualisme dan Eksperimen Politik di Zaman Anti-Kebenaran yang disampaikan pada Stadium General Darul Arqam Madya PC IMM Bulaksumur-Karangmalang tahun 2018.

 

Oleh :

IMMawan Muhammad Afriansyah

(Anggota Bidang RPK PC IMM Kota Surakarta 2019/2020)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *