Tulisan ini hadir atas dasar kegelisahan penulis memandang realitas organisasi pergerakan di UMS, dalam hal ini adalah IMM. Makna kata eksklusivitas bukan mengarah pada konotasi yang tengah populer diperbincangkan di ruang publik kita soal radikalisme, ekstrimisme gerakan, ataupun terorisme yang muncul dengan tampilan seksi menjelang tahun politik saja, misal. Bukan pula mengasosiasikan kata eksklusif dengan tindakan-tindakan intoleran bin menyeramkan. Karena bagi saya, sikap eksklusif bisa hadir secara tidak sadar dalam alam pikiran hingga mewujud ke perbuatan yang paling sederhana sekalipun, termasuk di tubuh IMM itu sendiri.
IMM sebagai ortom Muhammadiyah mempunyai peran selain sebagai organisasi kader juga organisasi gerakan, selaras dengan pesan eyang Djazman. Beliau pernah berpesan dalam bukunya yang berjudul Ilmu Amaliah, Amal Ilmiah (hal 158), bahwa eksistensi gerakan IMM bukanlah organisasi sekadar hura-hura, namun sudah menjadi organisasi gerakan kader[1]. Diharapkan dalam setiap pergekan kader tersebut membawa wujud berupa ide, begitu pesan beliau.
Kampus, dalam hal ini UMS merupakan salah satu wadah/ladang gerakan dakwah IMM khususnya tingkat komisariat. Dalam proses gerakan dakwah tersebut, IMM tentu tidak memberikan muatan kosong kepada objek gerakan dakwahnya yakni masyarakat kampus. Ada misi tersendiri yang diemban oleh para kader IMM, tentunya menyebarkan ide. Ide-gagasan inilah yang kemudian menjadi muatan disetiap gerakan. Singkatnya, kampus merupakan wadah bagi IMM untuk menyebarluaskan ide-gagasannya.
Tidak lupa bahwa ide tersebut seharusnya mempunyai tendensi kepada nilai-nilai ideologis yang diyakini oleh IMM dan Muhammadiyah. Artinya, pasti ada keberpihakan pada nilai tersebut sebagai konsekuensi dari organisasi yang berpegang pada suatu ideologi.
Permasalahannya adalah apakah ide-gagasan yang bertendensi ideologis tersebut bisa diterima oleh masyarakat kampus secara umum ? Seberapa besar keberterimaan segenap civitas akademik terhadap wacana yang dibawa oleh IMM ? Contoh sederhana, nyatanya sering terjadi agenda yang diadakan oleh IMM di lingkup kampus yang hanya melibatkan internal (walaupun ada beberapa muatan khusus yang hanya diperuntukkan untuk internal), kalaupun terbuka untuk umum pasti sepi peminat. Entah apa yang salah.
Nilai Dasar Ikatan (NDI) IMM poin nomor 2 menyebutkan, Segala bentuk gerakan IMM tetap berlandaskan pada agama islam yang hanif dan berkarakter rahmat bagi sekalian alam[2], ada penekanan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam atau rahmatan lil alamin. Yang dimaknai sebagai inklusivitas gerakan harus dikedepankan supaya dapat diterima oleh seluruh alam. Begitu harapannya.
Belajar dari Tetangga
Jika kita berkaca pada saudara kita, mereka sudah lebih dahulu inklusif secara gerakan (belum tentu secara muatan yang dibawa). Tolak ukurnya adalah wacana mereka lebih laku dan digandrungi oleh mahasiswa generasi-Z era sekarang. Agenda bertemakan seminar kemuslimahan, kajian pra-nikah, dibungkus dengan trend hijrah masa kini menjadikan mereka laris di pasar islam popular. Secara kultural mereka bergerak secara masif lewat komunitas-komunitas di sekitar kampus.
Ada beberapa poin catatan saya; Pertama, soal cara mereka membungkus wacana/ide-gagasan ideologis yang mereka bawa sangat menarik dan diterima sebagai gejala objektif (meminjam istilah Kuntowijoyo), dengan memperhatikan target secara sosiologis; Kedua, penggunaan simbol keorganisasian yang nyaris tidak tampak, mereka hadir melalui simbol lain sebagai fenomena objektif, komunitas misalnya. Barangkali, mereka memilih basis komunitas karena bisa bergerak lebih fleksibel. Dan disitu penyebarluasan ide-gagasan menjadi lebih masif, walaupun di UMS hanya berstatus tamu; Ketiga, proses individuasi mereka cepat. Secara kuantitas tidak sebanyak tuan rumah, namun sesegera mungkin mereka menyebar dan berindividuasi ke semua lini dengan modal militansi.
Darisitu kita belajar, bahwa di era disrupsi (meminjam istilah Rhenald Kasali) ini, mungkin simbol dan strukturalisasi[3] gerakan sudah tidak laku dijual. Dimana dua hal itu notabene masih kita miliki, sadar atau tidak sadar.
Di tengah tuan rumah tengah sibuk mengurusi urusan rumah tangga dan menjalankan rutinitas, para tamu sedang mempersiapkan strategi jitu untuk mengembangkan sayapnya, dengan syarat menembus batas primordialisme ketika berindividuasi diri.
Paradigma Inklusif Kuntowijoyo
Islam diturunkan sebagai rahmat bagi siapapun, tanpa memandang agama, warna kulit, budaya, dan sebagainya. Demikian pula diperintahkan kepada umat Islam untuk berbuat adil, tanpa pandang bulu kerabat, status, kelas, golongan (baca QS Al-Maidah [5]: 8)[4]. Barangkali itu pijakan dasar secara general yang Kuntowijoyo ambilkan dari tunjauan teologis.
Untuk menuju ke paradigma inklusif, Kuntowijoyo harus membedakan 2 macam gejala, yakni gejala subjektif dan objektif. Contoh, zakat merupakan gejala subjektif, dimana hal tersebut adalah ibadah bagi umat muslim. Namun, gejala ini harus menjadi objektif bagi orang yang menerimanya. Sesuatu perbuatan disebut objektif bila perbuatan itu dirasakan oleh orang non-Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan.[5] Pemberi zakat tidak perlu mengatakan bahwa dia seorang muslim yang sedang beribadah atau menjalankan kewajibannya, cukup dirinya yang mengetahui, sedang penerima tidak perlu mengetahui. Penerima cukup melihat itu sebagai realitas objektif, perbuatan natural.
Proses tersebut dinamakan objektifikasi, atau bentuk konkretisasi keyakinan yang dihayati secara internal/subjektif, mewujud kedalam sebuah perbuatan atau gejala objektif bagi orang diluar kita.
Begitu seterusnya, untuk kegiatan apapun hendaknya dipandang sebagai gejala objektif supaya ada keberterimaan secara maksimal bagi yang menerima.
Perlu dirumuskan kembali paradigma gerakan yang lebih inklusif dalam hal penyebaran ide-gagasan supaya benar-benar menjadi rahmatan lil alamin yang adil bagi siapapun, terlebih IMM merupakan tuan rumah di kampus UMS sekaligus mempunyai basis massa yang mumpuni.
Sebagai organisasi dengan ruh perkaderan dan pergerakan, maka tak ada salahnya jika kita melakukan kritik konstruktif demi idealisasi kembali kerja-kerja organisasi. Hal ini sangatlah wajar terjadi sebagai bagian dari proses dialektika. Justru jika tidak ada, ada 2 hal menurut saya; Pertama, adanya gejala stagnasi gerakan dalam internal IMM; Kedua, sebagai tanda-tanda kegagapan IMM dalam merespon dinamika perubahan zaman. Adakalanya kita bersikap tertutup dan terbuka, tinggal bagaimana kita menempatkan diri secara layak di tengah-tengah arus perubahan yang terjadi. Begitu.
[1] Mohammad Djazman Al-Kindi, Ilmu Amaliah, Amal Ilmiah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2019)
[2] DPP IMM, Sistem Perkaderan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (hal XI)
[3] Strukturalisasi yang dimaksud bukan dalam konteks kerja internal organisasi, namun secara aktualisasi gerakan
[4] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm 61
[5] Ibid
Daftar Pustaka
Al-Kindi, Mohammad Djazman. 2019. Ilmu Amaliah, Amal Ilmiah. Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah.
DPP IMM. 2011. Sistem Perkaderan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Yogyakarta
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana
Oleh:
Ubaidillah Rosyid *)
*) Sekretaris Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Kota Surakarta 2018/2019
*) Bendahara Umum PC IMM Kota Surakarta 2019/2020
*) Mahasiswa Aktif Fakultas Geografi UMS