IMM: Refleksi tentang Pendidikan dalam Ikatan

Konstruk sosial memandang mahasiswa sebagai periode transisi dari anak-anak menjadi dewasa, dari pendidikan menuju pekerjaan, dari teori menuju praktik dan dari keluarga asal menuju keluarga tujuan (Robberts, 2009). Pemuda sebagai era transisi tentu memiliki berbagai masalah dalam dimensi relational yang oleh Karl Mannheim diistilahkan dengan the problem of generation. Banyak hal menarik dan kaya dalam mengkaji mahasiswa termasuk mahasiswa dalam konteks budaya. Dalam konteks budaya, mahasiswa memiliki berbagai tantangan salah satunya pergeseran orientasi nilai budaya. Saat ini pemuda sebagai aktor sosial cenderung diromantisasi oleh dunia orang dewasa, salah satu contoh adalah munculnya fenomena kaum ambyar, kita cenderung disibukkan dengan problem percintaan dan ketakutan akan masa depan daripada gerakan-gerakan yang bersifat konstruktif untuk membangun kemaslahatan. Menurut analisa penulis, hal tersebut terjadi karena budaya pemuda Indonesia yang cenderung terbuka secara spasial, kita dengan mudahnya mampu untuk mengadopsi, menafsirkan atau memodifikasi budaya populer barat yang telah kita ketahui melalui internet. Indonesia sendiri menjadi negara pengguna internet terbesar ke-6 dengan pengguna sebanyak 143,26 juta per Maret 2019.

Internet sebagai suatu produk dari revolusi industry 4.0 memang tidak dapat dibendung dalam perkembangannya akan tetapi melesatnya jumlah pengguna internet tersebut yang tidak dibarengi dengan kebijaksanaan dalam mengoperasionalkannya menjadikan internet salah satu problem sendiri dikalangan remaja, melalui internet tersebutlah pemuda Indonesia mulai terpapar budaya-budaya barat, mulai dari lunturnya budaya sopan santun, budaya malu, tren komunikasi antar sesama, tren fashion bahkan sampai dengan konsep ganteng dan cantik. Menanggapi fenomena tersebut penulis sempat teringat dengan larangan presiden Soekarno terhadap musik barat, Soekarno berpendapat Elvis Presley dan The Beatles adalah contoh khas imperialisme budaya barat yang tidak cocok bagi pemuda Indonesia, penulis mulai beranggapan bahwa pelarangan tersebut tidak hanya bedampak secara politik maupun ekonomi tetapi juga berdampak secara budaya. Pemuda Indonesia seolah-olah mengalami culture shock ketika tidak mampu membendung arus persimpangan budaya yang begitu cepat, budaya mereka melebur dengan budaya-budaya dari barat sehingga mereka belum mampu untuk membentuk identitas pemuda ideal Indonesia dan cenderung menjadi konsumen daripada pencipta budaya. Fenomena culture shock dikalangan pemuda tersebut menjadi tantangan sendiri bagi organisasi gerakan mahasiswa sebagai eksponen dalam lingkaran kepemudaan karena mahasiswa merupakan kaum-kaum terdidik yang memiliki basis intelektual sebagai fondasi dasar dalam melakukan suatu perubahan.

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai salah satu organisasi gerakan mahasiswa menjadi salah satu unsur yang diharapkan mampu berperan dalam mengatasi persoalan diatas. Posisi IMM sebagai social control mampu menjadikan IMM untuk ikut andil mengambil peran sebagai eksponen pemuda dalam membentuk identitas peradaban, sebagaimana ungkapan tokoh psikologi pendidikan only education is capable of saving our societies from possible collapse, whether violent or gradual. Kalimat Jean Piaget tersebut memberikan arti bahwa nyawa dari suatu peradaban ataupun nyawa sosial suatu masyarakat adalah pendidikan, jalur pendidikan adalah satu-satunya cara transmisi ilmu secara cepat, jika kita hendak melihat kemajuan dari suatu peradaban maka lihatlah konsep pendidikan yang mereka bangun. Akan tetapi untuk mampu menjadi eksponen dikalangan pemuda, IMM masih memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diperhatikan, salah satunya adalah masih tingginya orientasi pada struktur kepengurusan daripada pembangunan basis kesadaran kolektif.

Pilihan untuk memimpin suatu jabatan lebih dianggap mampu menyelesaikan persoalan yang ada daripada berfikir tentang memformat konsep gerakan untuk mengatasi problem yang mereka temui. sehingga ketika memimpin suatu amanahpun mereka terlihat gagap dan cenderung tidak memiliki format yang jelas serta kuat untuk menyelesaikan problem secara global. Oleh karena itu kesadaran kolektif harus dibangun agar value dapat diinternalisasikan dalam diri kader-kader IMM sekalian, karena pendidikan di tubuh IMM dibangun melalui jalur kaderisasi baik formal maupun non formal, maka kita harus menilik kembali isi dari SPI dan tema-tema kajian dalam lingkaran kita, apakah sesuai dengan tantangan zaman saat ini ataukah tidak, selain tema dalam materi kajian dan SPI kita perlu memperhatikan unsur pendidikan lain seperti memperhatikan dan metode yang kita gunakan, siapakah pendidik yang akan menyampaikan materi serta tempat kita dalam menyampaikan materi tersebut sehingga transfer of knowledge and transfer of value mampu diinternalisasikan oleh generasi milenial saat ini yang memiliki kecenderungan mudah bosan, mudah menerima informasi secara cepat dan no gadget no life.

 

Penulis:

Aris Purwanto, S.Psi

(Sekretaris umum PC IMM SKA periode 2018-2019)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *