GENERASI SUMBU PENDEK DAN ERA KLAIM KEBENARAN HIPERREALITAS

Bad news is a good news(Anonim)

.

Beberapa bulan belakangan, dunia digemparkan dengan munculnya wabah virus bernama corona. Virus yang pertama kali muncul di daerah Wuhan, salah satu kota di China, yang kemudian ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) dengan nama COVID-19. Update terbaru per tanggal 6 Maret 2020, sudah ada 97.841 kasus, 3347 orang di antaranya meninggal dunia di seluruh belahan dunia.[1]

Beberapa hari lalu, masyarakat Indonesia panik setelah diberitakan ada 2 orang positif terkena virus tersebut. Informasi begitu cepat tersebar, berbanding lurus dengan cepatnya kepanikan masyarakat menyebar. Masker seketika habis diborong, produk hand sanitizer mendadak laku keras, orang Indonesia kampanye hidup sehat di mana-mana. Ada pula yang memanfaatkan momentum untuk memonopoli harga barang-barang tersebut seiring banyaknya permintaan pasar, dll. Semua rentetan kejadian demi kejadian tersebut berlangsung pesat dalam waktu yang terhitung sangat singkat.

Di tengah kepanikan akibat corona, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty membuat peryataan kontroversial soal wanita bisa hamil karena berenang bersama laki-laki tanpa adanya kontak fisik sekalipun.[2] Masyarakat dibuat heboh dengan peryataan tersebut. Para ahli-ahli baru bermunculan memberikan jawaban atas keresahan netijen dunia maya.

Mereka seolah mendapat panggung dari kasus ini. Masyarakat sebagai konsumen informasi dibuatnya kebingungan, akan berpedoman kepada apa? Berkiblat pada kebenaran yang mana? Percaya kepada siapa? Kepada ahli musiman/ahli-ahli-an di media sosial? Fenomena biasa setiap kali ada suatu hal heboh muncul, masuk ke sela-sela kebingungan masyarakat.

Tidak sampai di situ, ada pula narasi agama musuh besar Pancasila yang dilempar ke ruang publik oleh ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi[3]. Media mainstream memberitakan di mana-mana, dengan framing masing-masing. Masyarakat terprovokasi dan akhirnya terpecah-belah, tersegmentasi, hingga sentimen SARA dan sebagainya yang muncul. Terlepas dari apapun kepentingan elit di balik semua itu.

Simulakrum dan Tsunami Informasi

Tiap minggu, hari, jam, menit, detik sadar tak sadar kita dilanda sebuah bencana bernama tsunami informasi (meminjam istilah David Effendy). Kejadian di atas merupakan tiga dari sekian puluh, bahkan ratus atau ribu kejadian yang beralu-lalang di media daring dalam skala lokal hingga nasional. Informasi datang bak tsunami menerjang tanpa kompromi. Barangsiapa offline sehari saja, niscaya ia akan ketinggalan berita dari Sabang sampai Merauke, dari Nia Ramadani hingga Tara Basro, dari kekalahan Liverpool hingga fenomena VARchester United (hehe). Dunia begitu sesak berjejal informasi.

Dalam menjelaskan realitas hari ini, Jean Baudrillard, seorang sosiolog sekaligus filsuf abad post-modern asal Perancis menggunakan terminologi simulacra atau simulakrum. Dari sinilah kenyataan diproduksi dengan cara simulasi oleh media (yang tidak memiliki asal-usul atau referensi realitas) dan secara artifisial/buatan direproduksi sebagai sebuah kenyataan.

Simulakrum merupakan pemikiran yang ditawarkan Jean Baudrillard tentang media massa yang dicirikan oleh realitas semu (hyperreality/hiperrealitas) dan simulasi (simulation). Konsep ini mengacu pada suatu realitas baik virtual ataupun artifisial dalam komunikasi massa dan konsumsi massa. Realitas tersebut membentuk manusia dalam berbagai bentuk simulasi. Simulasi merupakan suatu realitas yang pada dasarnya bukan realitas sesungguhnya. Ia hanya realitas yang dibentuk oleh kesadaran manusia melalui media massa[4].

Baudrillard menjelaskan dalam sebuah essay-nya yang berjudul The Procession of Simulacra[5] tentang ciri-ciri simulacra itu sendiri;

Its is the reflection of a profound reality (simulakrum merupakan refleksi dari realitas sejati)

It masks and denature a profound reality (simulakrum menyelubungi dan mengubah realitas sejati)

It masks the absence of a profound reality (simulakrum menyembunyikan keberadaan realitas sejati)

It has no relation to any reality whatsoever: it is its own pure simulacrum (simulakrum tidak memiliki kaitan pada realitas manapun: simulakrum adalah murni dari simulakrum-nya sendiri)

Sederhananya begini, contoh Disneyland di Amerika. Disneyland merupakan dunia imajiner, realitas yang dikonstruksi, realitas semu. Di sana banyak tokoh-tokoh imitasi macam Cinderella, Captain America, dsb. Orang-orang rela mengantri dan membayar mahal untuk memuaskan keinginannya. Segerombolan orang begitu antusias, riang gembira, bercanda tawa menikmati kebersamaan. Hingga mereka tak sadar bahwa semuanya tak nyata, tak punya referensi di realitas yang sesungguhnya.

Kesemuan dianggap lebih nyata dari kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar dari kebenaran; isu lebih dipercaya ketimbang informasi; rumor dianggap benar ketimbang kebenaran. Kita tidak dapat lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan realitas[6].

Semua rekayasa ini menciptakan realitas media hasil konstruksi atau simulasi yang disebut dengan hiperrealitas. Hiperrealitas lebih dipercaya dibanding realitas. Padahal setiap harinya tsunami informasi terus menerjang, ini artinya hiperrealitas tersebut terus menerus direproduksi tiap saat.

Jangan Jadi Generasi Sumbu Pendek

Dunia begitu hampa ketika tidak bersentuhan dengan internet, walau sekedar mengecek whatsapp, twitter, instagram, dan situs lainnya. Tangan rasanya gatal kalau tidak memegang smartphone. Dunia maya mengambil hampir sebagian besar ruang nyata kita. Di sisi lain, seolah masyarakat kita belum siap untuk menghadapi kenyataan demikian, maka yang muncul justru generasi sumbu pendek.

Kembali ke pembahasan awal. Kasus COVID-19, pernyataan kontroversial Sitty Hikmawatty, dan penggiringan opini oleh ketua BPIP merupakan tiga dari banyak studi kasus yang telah berhasil mempengaruhi psikologis massa sumbu pendek dalam kuantitas yang tidak sedikit.

Penekanannya kurang lebih seperti ini; pertama, tentang munculnya wabah COVID-19 di Indonesia berimplikasi pada timbulnya reaksi kepanikan masyarakat. Kedua, pernyataan Sitti Hikmawatty membuat masyarakat kaget, ditambah muculnya banyak ahli musiman di sosial media yang tiba-tiba berbicara tentang reproduksi, dsb, entah itu terbukti secara ilmiah atau tidak, namun justru menambah kebingungan masyarakat. Ketiga, peryataan ketua BPIP membuat masyarakat terpecah belah, tersegmentasi karena timbulnya sentimen SARA.

Permasalahannya adalah bukan informasi mana yang benar, tetapi bergeser menjadi informasi mana yang mengundang sisi emosionalitas publik itulah yang kemudian akan dipercaya, tanpa perlu dipandang secara kritis terlebih dahulu. Dari situlah timbul bermacam-macam reaksi seperti yang penulis tekankan di atas. Itulah generasi sumbu pendek yang cepat menyimpulkan apa-apa yang dibaca dan dilihat di media. Walaupun sebenarnya kesemuanya itu merupakan hiperrealitas.

Mau tidak mau, itulah wacana kebudayaan kita hari ini dengan segala implikasinya sebagai realitas yang harus kita pahami. Kita perlu sangsikan terlebih dahulu segala informasi yang didapat, jangan telan mentah-mentah. Jangan simpan dan buang semua. Simpan yang perlu dan buang yang tak perlu sebijak mungkin, supaya tak berlebihan seperti generasi sumbu pendek.

Oleh: Ubaidillah Rosyid

Bendahara Umum PC IMM Kota Surakarta periode 2019/2020

Mahasiswa Aktif Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta

[1] Lihat https://gisanddata.maps.arcgis.com/apps/opsdashboard/index.html#/bda7594740fd40299423467b48e9ecf6

[2] Lihat https://makassar.tribunnews.com/2020/02/24/video-viral-pernyataan-komisioner-kpai-yang-sebut-wanita-bisa-hamil-karena-berenang-dengan-lelaki?page=2

[3] Lihat https://news.detik.com/berita/d-4895595/kepala-bpip-sebut-agama-jadi-musuh-terbesar-pancasila

[4] Vibriza Juliswara, Pendekatan Terhadap Kekerasan Dalam Film Kartun Tom & Jerry, Jurnal Komunikasi, Volume 12, Nomor 2 (Mei – Agustus 2014), hlm. 154.

[5] Jean Baudrillard, The Procession of Simulacra. Simulacra dan Simulation. Trans. Sheila Faria Glaser. United States of America (The Univercity of Michigan Press, 1994)

[6] Yasraf A. Piliang, Transpolitika:Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, (Yogyakarta: JALASUTRA, 2005), hlm. 213

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *