ELEGI BESI BERKARAT DAN HUJAN

Sebuah berkas pabrik tua yang terbengkalai di pinggiran desa Inori. Temboknya sudah penuh lumut dan roboh di beberapa sisi. Di pekarangannya yang dulu penuh kesibukan truk-truk pengangkut barang produksi pabrik, yaitu pistol dan granat, kini ditumbuhi rumput setinggi pagar serta teronggok besi-besi tua bekas pabrik itu diacuhkan masyarakat, berhantu katanya, yang dekat-dekat akan dikutuk jadi gila.

Mitos masyarakat setempat tidak sepenuhnya salah. Bekas pabrik tersebut memang ada penghuninya, namun bukan jin atau hantu yang bisa mengutuk orang hilang akal, uang lebih mampu melakukannya. Mereka adalah besi berkarat, rumput, tembok, dan seluruh alam di sekitarnya. Mereka hidup dalam dimensi yang berbeda dengan manusia, hanya mereka dan hewan yang bisa bercakap. Sebetulnya mereka juga berkomunikasi dengan manusia tapi dengan pesan yang samar, sehingga manusia yang peka saja yang bisa menangkap dan manusia seperti itu langka.

Hari itu hujan rintik sedar pagi sudah berubah menjadi deras. Beberapa hewan nampak berteduh di depan pintu pabrik tua. Air yang jatuh tak pandang bulu menjatuhi segala yang ada di bumi termasuk bekas pabrik tua dan onggokan besi berkarat di pekaranganya. Si besi berkarat tiba-tiba, dengan suara yang sedikit menggeram, berkata pada hujan, “Hai Hujan, sungguh kau adalah berkah bagi bumi. Tumpahmu dari langit menumbuhkan tumbuhan, memberi minum hewan dan manusia, membawa kehidupan.” “Terima kasih pujianmu hai Besi yang baik, sanjunganku untuk penciptaku pula, Sang Maha Pencipta, actus purus, semoga Dia memberkatimu,” balas Hujan.

Dialog antara Hujan dan Besi berlanjut, didengarkan oleh pabrik tua, lumut, dan rumput. Para hewa di depan pintu pabrik juga mencuri dengar. Besi berkarat kembali berbicara, “Tentu sangat agung penciptamu itu hai Hujan. Hal itu membuatku ingin menanyakan padamu dan pada-Nya. Tidakkah kau lihat aku dan pabrik tua itu, Hujan? Aku kini telah digerogoti oleh karat, tembok pabrik itu sebentar lagi mungkin roboh karena dimakan lumut yang tumbuh di tempat lembab. Mengapa kau dan segala berkahmu ternyata perlahan-lahan juga membunuh kami? Apakah itu salah satu tujuanmu mencurahi bumi? Membawa berkah juga aroma kematian kami? Apakah sebenarnya kehendak penciptamu hai Hujan?”

Sunyi mendadak menyelimuti area pabrik tua itu. Lumut yang mendengar dirinya disebut menghentikan sebentar proses perkembangbiakannya di tembok pabrik. Kucing dan tikus yang berkejaran di sekitar pabrik mengadakan gencatan senjata sementara, ingin mengikuti perbincangan Besi dan Hujan. Satu-satunya suara hanyalah rintik hujan yang termenung mendengar pertanyaan Besi tua.

Memecah kesunyian, Hujan dengan kalut bersuara, “Tersentak diriku dengan pertanyaanmu itu hai Besi berkarat yang bijak, tak pernah terlintas di benakku ucapanmu tadi. Jujur aku sendiri pun tidak tahu menahu kehendak penciptaku atas diriku. Perintah-Nya hanya ambillah air dari bumi, bawalah ke suatu tempat, dan turunkan kembali ke bumi. Tak pernah ku mempertanyakan tentang rahmat, berkah, atau musibah pada-Nya. Aku hanya kadang mendengar kata-kata itu diucap oleh manusia, beserta beberapa umpatan saat aku datang di saat yang tidak tepat.”

Diam sejenah, Hujan melanjutkan, ”Oh Besi yang bijak, pertanyaanmu juga mengingatkanku akan memori yang pahit, ketika dulu terlalu banyak air kutumpahkan di suatu daerah. Airku membuat banjir besar karena tanah tak bisa menyerapnya, sudah terlalu banyak gedung dan sampah sehingga airku menggenang menjadi bah. Akuingat banyak orang meninggal waktu itu terseret arus air dan tenggelam, dan…dan, di antara orang-orang itu, aku masih mengingat jelas seorang bayi mungil timbul tenggelam di tengah banjir. Wajahnya yang tanpa dosa itu mulai membiru, hingga akhirnya dia mengambang tak bernyawa. Kutahu jasadnya saat surut menjadi panganan burung bangka di muara suangai…dan….dan.”

Hujan tak sanggup melanjutkan perkataannya, air turun makin deras ditambah petir dan gemuruh. Si Besi berkarat menyaksikan tangis Hujan sedikit tertegun, miris juga hatinya. Dia yang diciptakan manusia dari peleburan bijih logam dan dicetak menjadi mesin, awalnya juga tidak mengetahui ia akan menjadi alat pembuat senjata yang kemudian digunakan untuk merenggut nyawa makhluk hidup, tak peduli manusia ataupun binatang. Dan tentu saja dia tak sanggup melawan kehendak itu.

“Aku merasakan kesedihanmu kawanku Hujan yang baik, aku pun tidak jauh berbeda denganmu. Dari perutku dulu kulahirkan senjata otomat untuk memberondong tubuh manusia. Aku tak pernah berkehendak untuk ada. Manusia menggaliku dahulu dari dalam bumi yang tenang dan sunyi, sampai aku jadi seperti ini. Mungkin saja kamu ada untuk menghukum dosaku hai Hujan,” kata Besi di akhir kalimatnya.

“Hal itu mungkin, Besi berkarat yang bijak, namun hali ini terus menggangguku ketika kita terus merasa bersalah atas sesuatu yang kita lakukan tanpa kehendak. Kesadaran yang kau bawa padaku meusuk perasaan dan ingatan.”

“Aku pun terganggu hai Hujan, seharusnyalah kita bertanya dan mencari tahu untuk apa kita mengada dan bagaimana agar adanya kita menjadi suatu berkah.”

“Baiklah, biar aku melanjutkan pengembaraanku kawanku Besi yang bijak. Akan ku jelajahi lagi dunia yang sudah berjuta tahun aku tinggali ini dengan suatu kesadaran yang berbeda, kemudian akan kucari apa sebenarnya tujuanku ada dan bagaimanakah aku harus mengada. Akan kutebus kesalahanku sebelumya dengan hanya menghujani yang kering dan memberikan seperlunya untuk tanah yang subur. Terima kasih kawanku, selamat tinggal.”

“Selamat jalan kawan, carilah jati dirimu dan kembalilah padaku untuk bercerita jikalau kau kembali dan masih menemukanku.”

Sori itu saat hujan akhirnya pergi menyisakan lembab dan pelangi di cakrawala, kesunyian kembali hadir, bahkan lebih sunyi dari pada sebelumnya tanpa suara rintik hujan. Para penghuni daerah sekitar pabrik tua itu termenung, gamang, dan penuh gelisah. Sebuah dialog antara Hujan dan Besi berkarat terngiang di benak mereka. Lumut berniat meminta maaf pada tembok karena pengeroposannya. Rumput tak bergerak karena angin enggan pula berembus. Kucing melihat pada tikus dan berlalu meningalkannya. Benak sang kucing berkata,

“Mengapa aku makan tikus? Mengapa aku diciptakan di dunia?”

 

Oleh:

IMMawan M. Salma Abdul Aziz

Anggota Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Kota Surakarta periode 2016/2017

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *