Dilema Mencintai Lingkungan

Pagi ini saya terusik dengan aktivitas media sosial yang saya punya. Pertama saya membaca pendapat teman saya lewat status whatsapp mengenai penggunaan bahan yang ramah lingkungan untuk kebutuhan sehari-hari yang intinya menguragi penggunaan plastik, contohnya memakai Stainless Steel (SS) Straw ketika minum air. Kedua saya membaca beberapa jurnal yang mengatakan bahwa sesungguhnya SS Straw justru menyumbang kerusakan lingkungan yang cukup serius ternyata.

Berangkat dari ditemukannya sampah plastik yang banyak jumlahnya dilautan memicu akhir-akhir ini gerakan untuk meninggalkan penggunaan plastik dalam keseharian, termasuk dalam penggunaan sedotan plastik pada masyarakat. Hal ini tentunya baik untuk lingkungan dalam upaya pengendalian pemakaian plastik agar tidak mencemari lingkungan.

Dilansir dariStrawless Ocean, kurang lebih ada 500 juta sedotan plastik yang digunakan setiap harinya di Amerika. Jika kebiasaan tersebut tidak dibatasi, keberadaan plastik di tahun 2050 diprediksikan akan lebih banyak ketimbang ikan di lautan. Turut menguatkan informasi sebelumnya,Divers Clean Actionmemperkirakan pemakaian sedotan di Indonesia setiap harinya bisa mencapai 93.244.847 batang, di mana jika jumlah tersebut direntangkan akan mencapai jarak 16.784 km atau sama dengan jarak tempuh Jakarta ke kota Meksiko.

Dengan data seperti diatas maka tak heran jika kita berkunjung ke beberapa restoran cepat saji maka mereka tidak memberikan sedotan plastik. Hal ini semata-mata dilakukan oleh perusahaan agar bisa mengurangi pencemaran lingkungan akibat limbah sedotan plastik. Stop penggunaan sedotan plastik, Menjadi sampah di laut dan menyakitkan kesayangan kita begitu kira-kira statement dari Bu Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti diakun Twitter pribadinya.

Kampanye penggunaan SS Straw atau Sedotan Stainless memang kini kian marak terjadi, dibeberapa kota hal ini menjadi trend ketika menggunakan SS Staw dibanding penggunaan sedotan plastik. Bahkan beberapa perusahaan makanan cepat saji menyediakannya untuk dijual untuk memenuhi kebutuhan pasar. Disamping itu produksi SS Straw ini sendiri juga diproduksi oleh perusahaan-perusahaan dalam skala yang besar. Artis-artis papan atas Indonesia pun tak kalah mempopulerkan SS Straw ini kepada masyarakat dengan tujuan masyarakat juga mengikutinya. Namun pertanyaannya, apakah sudah tepat penggunaan SS Straw ini dalam upaya melestarikan lingkungan ?

Dibalik Kampanye Go Green

Kritik saya terhadap pendidikan kita adalah, kita diajarkan logika ketika ada masalah A maka solusinya adalah kebalikannya atau minus A. Seperti halnya masalahnya adalah sampah sedotan plastik banyak ditemukan dilaut, maka solusinya jangan pake sedotan plastik. Apakah dengan begitu permasalahan utamanya akan selesai ? Tentu tidak.

Seperti yang saya bilang diatas, bahwa saya tidak sengaja membaca beberapa jurnal mengenai SS Straw dan kicauan Twitter teman saya ternyata SS Straw juga dapat berbahaya bagi lingkungan.

Saya kutip dari bloombergopinion, ternyata pada proses pembuatan sedotan itu tidak terlepas dari reaksi kimia, yang mana pasti akan menimbulkan produksi zat sisa yaitu CO2. Jika kita bandingkan dengan sedotan plastik, SS Straw menghasilkan 217g gas CO2, untuk sedotan plastik sendiri menghasilkan 1,46g gas CO2 sedangkan bahan lainnya seperti bambu menghasilkan 38,8g gas CO2 itu produksi per satu sedotan.

Jika kita membaca penelitian dari Humboldt State University (HSU) Straw Analysis total energi yang dibutuhkan 1 sedotan SS Straw adalah 2420 kJ. Belum ketika energi yang dibutuhkan dalam produksi SS Straw per 1000 adalah 4.498 MegaJoule. Karena tidak mungkin perusahaan hanya mencetak beberapa SS Straw. Berapa banyak kira-kira batu bara yang dibutuhkan untuk menghasilkan listrik untuk mengahasilkan tenaga yang begitu besarnya ? Artinya butuh energi yang sangat banyak untuk membuat SS Straw dari proses awal sampe akhir yang itu juga akan menimbulkan gas CO2 yang semakin melimpah dan permasalahan lainnya.

Tentu pilihan dalam hal ini dikembalikan lagi kepada masing-masing manusia dalam melaksanakan kebijaksanaannya, jangan sampai gerakan-gerakan mencintai lingkungan dengan solusi yang ditawarkan menjadi pisau bermata dua. Permasalahan sampah hari ini tidak hanya ditentukan oleh masyarakat sebagai pelaku tetapi juga ada peran pemerintah yang seharusnya membuat manajemen sampahnya agar tidak bermasalah.

Permasalahan ini sebetulnya sempat disinggung oleh dosen saya waktu mata kuliah kesehatan lingkungan, kita tidak semestinya menyikapi permasalahan lingkungan dengan latah, karena belum tentu solusi yang dihasilkan dari permasalahan lingkungan dapat menyelesaikan permasalahannya, justru banyak yang menjadikannya sebagai bisnis dan di kapitalisasi, katanya. Ayo kita kembali gerakan minum langsung dari gelas alias kokop !

 

Oleh :

IMMawan Cahyo Setiawan*

* Ketua Umum PC IMM Kota Surakarta 2018/2019

*Anggota PDPM Kota Surakarta 2019-2023

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *