Kongres Sampah baru saja berakhir, berlangsung tanggal 12-13 Oktober 2019 bertujuan melahirkan sistematika proses dinamika persampahan, mulai dari hulu sampai hilir, mulai dari produksi sampah hingga pemanfaatannya. Kata kuncinya, sampah harus bermanfaat bagi kehidupan, bukan sebaliknya. Sampah menjadi problem masyarakat mulai dari polusi, menyebabkan berbagai penyakit sampai pada problem lingkungan yang lebih luas. Masih terngiang dalam ingatan kita peristiwa beberapa tahun silam tentang matinya hewan laut langka karena memakan sampah. Sungguh tragis. Senin (19/11/2018) yang lalu seekor ikan paus jenis sperma sepanjang 9,5 meter ditemukan terdampar dalam keadaan mati di perairan Pulau Kapota, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara karena menelan sampah. Hasil identifikasi dari tim Akademi Perikanan dan Kelautan Wakatobi menemukan sampah di dalam perut ikan paus tersebut terdiri atas sampah gelas plastik 750 gram (115 buah), plastik keras 140 gram (19 buah), botol plastik 150 gram (4 buah), kantong plastik 260 gram (25 buah), serpihan kayu 740 gram (6 potong), sandal jepit 270 gram (2 buah), karung nilon 200 gram (1 potong), tali rafia 3.260 gram (lebih dari 1000 potong). Jika ditotal, sampah yang ada dalam perut ikan paus tersebut sebanyak 5,9 kilogram.
Kongres Sampah yang dilaksanakan di Jateng, tepatnya di Tuntang, Kabupaten Semarang, diikuti sekitar 1000 peserta dari berbagai kalangan, seperti: pengusaha, pemerintah, masyarakat, akademisi, aktivis, hingga pemulung. Kongres Sampah menghasilkan empat rekomendasi soal edukasi persampahan terutama soal pemilahan, alat angkut, fasilitas termasuk TPA dan dukungan anggaran dari pemerintah. Kongres Sampah diharapkan menjadi virus positif, yang akan menyebar ke seluruh masyarakat dan masalah sampah dapat ditanggulangi khususnya mereduksi atau pengurangan sampah atau diet sampah. Jika semua sampah hanyak di tumpuk di TPA dan tidak di daur ulang, kita tidak tahu sampah itu di kemanakan dan apa akibatnya bagi lingkungan kehidupan.
Masalah penanggulangan sampah sedang menjadi isu hangat di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menilai persoalan sampah sudah sangat meresahkan. Berdasarkan studi yang dirilis oleh McKinset and Co dan Ocean Conservancy menempatkan Indonesia masuk dalam peringkat kedua di dunia sebagai negara penghasil sampah plastik terbanyak setelah Cina. Sampah sebenarnya tidak berbahaya. Sampah akan berbahaya apabila keberadaannya tidak dikelola dengan baik sesuai dengan tempatnya. Karena itu kebijakan pemerintah perlu memperhatikan pengelolaan sampah untuk menuju Indonesia Bersih Sampah 2025 yang sedang gencar-gencarnya dikampanyekan.
Jumlah sampah di Jateng sendiri saat ini pertahun mencapai 5,7 juta ton atau 15.671 ton perhari. Sementara untuk mengatasi jumlah tersebut, Jawa Tengah memiliki kekuatan 1.562 Bank Sampah, 144 TPA 3R dan 542 Rumah Rosok yang bisa mengurangi 267.861 ton atau hanya 4,71%. Di tingkat nasional, total sampah kita mencapai 67 juta ton per tahun. Sampah organik dan plastik masih mendominasi dengan persentase 60% untuk organik dan 15% untuk plastik. Hanya ada 9.550 kolaborator yang menangani pengurangannya. Bahkan berdasarkan data The World Bank tahun 2018, bahwa 87 kota di pesisir Indonesia memberikan kontribusi sampah ke laut sekitar 12,7 juta ton. Dengan komposisi sampah plastik mencapai 9 juta ton.
Permasalahan tentang sampah adalah masalah menurunnya solidaritas sosial. Pengetahuan dan nilai-nilai budaya perlu ditanamkan untuk meningkatkan kesadaran pemilahan sampah dari komunitas masyarakat terkecil, dunia usaha, industri hingga instansi pemerintah. Diperlukan edukasi atau kampanye khusus untuk menanggulangi masalah sampah yang harus dilakukan oleh semua kalangan. Juga perubahan gaya hidup masyarakat untuk mengatasi permasalahan sampah dengan melakukan 3R, Reduce, Reuse, dan Recycle.
Walaupun pemerintah sudah mengadakan kebijakan penanggulangan sampah, namun tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka kebijakan tersebut juga tidak dapat berjalan dengan semestinya. Seperti di daerah yang sudah terdapat bank sampah, masyarakat sudah memilah dan menyetorkan sampah ke bank sampah, tetapi tidak ada tindak lanjut dari atasan terhadap sampah yang sudah ada di bank sampah. Selain pemerintah, alangkah baiknya melibatkan anak-anak muda generasi milenial untuk membantu kampanye menganggulangi masalah sampah. Karena kita memiliki harapan besar di generasi yang belum menjadi penopang kehidupan seperti para pelajar dari SD, SMP hingga SMA, karena merekalah yang memiliki energi lebih untuk kita sadarkan dan gerakkan dalam proses pengelolaan sampah ke depannya.
Di berbagai desa juga sudah menggerakkan warga-warganya dalam proses pengelolaan dan pengurangan sampah. Salah satunya yaitu warga Desa Kesongo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, telah melakukan pemilahan sampah yang dimasukkan ke keranjang yang sudah dibedakan menurut jenis sampah. Dengan menyediakan keranjang sampah yang dibedakan menjadi 2 jenis yaitu Keranjang Iso Bosokyang berarti khusus sampah-sampah yang bisa membusuk (organik) dan KeranjangOra Iso Bosokuntuk sampah yang tidak bisa membusuk (non organik). Namun tidak semua sampah dibuang, karena dapat digunakan untuk kerajinan tangan.
Kegiatan itu mulanya dilakukan oleh salah satu warga yang tidak nyaman melihat got depan rumah banyak tumpukan sampah dan berkembang menjadi beberapa orang termasuk karang taruna dan ibu-ibu PKK yang melakukan pemilahan sampah. Sehingga akhirnya muncul ide untuk mengolah sampah menjadi kerajinan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan juga ide untuk menyediakan keranjang sampah sesuai dengan jenisnya di rumah-rumah warga.
Bagi warga Desa Kesongo sangat cocok untuk mengembangkan kerajinan tangan, selain sampah non organik, mungkin mereka juga bisa mengolah sampah organik. Seperti enceng gondok yang banyak terdapat di sana karena dekat dengan rawa pening dan dianggap sebagai gulma yang mengganggu. Dengan mengolah enceng gondok, kita dapat mengurangi dampak negatif enceng gondok dan dapat menunjang ekonomi masyarakat sekitar.
Pemanfataan sampah di Desa Kesongo ini menghasilkan berbagai jenis kerajinan tangan yang berbahan dasar dari enceng gondok. Pemanfaatan sampah yang diolah menjadi kerajinan tangan sepertinya perlu keseriusan agar produk yang dihasilkan maksimal. Desa ini juga menjadi tempat pilihan pelaksanaan Kongres Sampah 2019 yang digagas oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Penerapan sistem 3R atauReuse, Reduce, danRecyclemenjadi salah satu solusi pengelolaan sampah. Dengan mengolah dan mendaur ulang kembali sampah yang sudah dipilah, kita dapat melaksanakan diet sampah atau mengurangi sampah. Sehingga lingkungan tidak tercemar dan bersih dari sampah. Maukah kita memanfaatkan energi yang masih tersimpan untuk kita gunakan dalam melakukan pengelolaan sampah atau sebagai solusi alternatif kita selain yang sudah kita lakukan? Karena kalau kita mengandalkan generasi yang saat ini mungkin hasilnya kurang efektif. Bayangkan jika generasi yang akan mendatang seluruhnya sudah paham akan pengelolaan sampah dari hulu sampai hilir mungkin dalam hitungan kurang dari 10 tahun negara kita akan bersih sampah.
Masalah sampah bukan hanya tanggung jawab satu orang saja, melainkan seluruh elemen masyarakat yang ada di daerah-daerah. Jika masalah ini tidak terkendali, tidak menutup kemungkinan sampah semakin menumpuk. Sehingga, kita harus berubah agar bersih dari sampah. Menuju kehidupan yang lebih baik dan dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Dunia ini terasa nyaman bila produksi sampah bisa dikurangi dan didaur ulang sehingga merubah paradigm dari sampah sebagai musibah tetapi menjadi sampah menjadi berkah. Semoga.
Oleh: IMMawati Azzahra Husna Faridah
Kader IMM Komisariat Al Idrisi Fakultas Geografi UMS