MACHIAVELLI: LEGITIMASI KEPERCAYAAN TERHADAP PENGUASA SEBUAH UTOPIA KEPEMIMPINAN
Oleh Fajry Annur
PK IMM FKIP UMS/PC IMM Kota Surakarta
PENDAHULUAN
Menjadi seorang penguasa yang memiliki reputasi tinggi dan juga keuletan dalam memimpin merupakan dambaan setiap calon penguasa itu sendiri. Terlebih, jika mereka menjadi seseorang yang sangat dipercayai oleh rakyatnya, tentunya akan merasa bertambah percaya diri dan senangnya penguasa tersebut. Namun, rasa berlebihan justru seringkali mencongkakkan para penguasa, rasa haus dan lapar pujian menjadikan mereka lupa akan esensi memimpin yang sebenarnya. Akibatnya, orientasi kepemimpinan yang terjadi semata hanya untuk memberikan rasa kesenangan atas puji-pujian saja, bukan atas dasar mengolah sebuah negara atau wilayah tertentu dan menjadikannya masyhur.
Pemimpin atau penguasa tentunya adalah seseorang yang akan dipercayai oleh rakyat, sebagai pemangku sebuah kekuasaan, seorang pemimpin atau penguasa setidaknya harus dicintai dan dihormati oleh rakyatnya. Adapun kebanyakan para penguasa saat ini malah justru dibenci oleh rakyatnya sendiri. Seorang penguasa akan sangat dibenci, bila penguasa tersebut tamak, serta merampas property dan perempuan dari pihak bawahannya (Machiavelli, 129:2014). Konsekuensi menjadi seorang penguasa tentunya akan terlena dengan segala titik buta yang melaparkan, uang, perempuan, serta jabatan menjadi hal lumrah pemuas nafsu seorang penguasa. Dan, sangat disayangkan pada situasi ini banyak sekali penguasa atau pemimpin yang diam-diam maupun terang-terangan memanfaatkan estafet kepemimpinan yang dimilikinya. Tentunya, hal tersebut tidaklah sehat bagi birokrasi dan juga merusak esensi kepemimpinan itu sendiri.
Pada era saat ini, adanya kekebalan hukum yang dimiliki oleh penguasa negara merupakan suatu bagian kebebasan untuk bertindak yang diberikan. Kekebalan tersebut bermaksud agar penguasa tersebut mampu melaksanakan kewajibannya. Kekebalan yang dimaksudkan untuk menghindari ketergantungan penguasa terhadap kebijakan pemerintah. Sebab, ketergantungan dapat berdampak kepada kelancaran pelaksanaan tugas, khususnya dalam pengambilan suatu keputusan. Akan tetapi, kekebalan seperti ini justru tidak berfungsi apabila terjadi pelanggaran hukum, demi kepentingan pribadi penguasa semata bukan untuk kepentingan wilayah kekuasaan (Anggreini, 2019). Dalam hal ini justru penggunaan kekebalan salah kaprah yang terjadi, dan menjadikan carut-marutnya sebuah sistem kekuasaan yang dibuat.
Di dalam dunia kepemimpinan, tentunya sistem pengaruh dan mempengaruhi adalah hal yang biasa. Namun, menjadi barang tentu seorang penguasa harus melakukan hal tersebut dengan cara yang efektif serta efisien. Sehingga, warga masyarakatnya menjadi paham dan sadar, bahwa penguasa atau pemimpin tersebut adalah orang yang tepat dalam menjalankan amanah. Kepemimpinan menjadi efektif salah satunya adalah karena keputusan yang diambilnya, dilaksanakan atau tidak oleh bawahannya serta mempunyai komitmen yang kuat serta tidak lari dari keputusan yang diambilnya, sudah sewajarnya dalam mengambil keputusan dipengaruhi berbagai oleh faktor pengetahuan, sikap dan pengalaman terhadap keputusan yang sudah pernah diambilnya, yang dikuatkan dengan legitimasi yang dimiliki (Ngadin, 2022).
Penganalogian seorang penguasa yang ideal serta menarik menurut Machiavelli adalah Singa dan kancil. Singa merupakan simbol kebuasan serta kekejaman demi mempertahankan kekuasaan. Sedangkan kancil di sisi lain merupakan sebuah simbol keramahan dan kemurahan hati untuk menarik simpati. Penguasa di sini diharuskan untuk pintar menempatkan posisinya, kapan dia harus menjadi singa dan kapan dia harus menjadi seekor kancil. Penguasa harus mampu mencegah ancaman, baik dalam kondisi internal maupun esternal yang tentunya akan merusak kesatuan dan keutuhan sebuah negara meskipun dengan menggunakan cara-cara yang kejam, contohnya seperti pembunuhan, pembantaian dan lain sebagainya. Tetapi, di saat situasi aman, seorang penguasa tidak boleh lupa untuk menarik simpati rakyatnya, sebagai sebuah sumber legitimasi bagi dirinya dengan cara berbaik hati serta memenuhi keinginan rakyatnya (Tilasanti, 2019).
Bagi Machiavelli, seorang penguasa bisa melegalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaanya tersebut. Akan tetapi, pelegalan di sini dalam tanda kutip yang memang ditempatkan sesuai kondisinya. Contohnya dalam hal berperang atau merebutkan suatu kekuasaan. Jika saja tidak mampu direnggut dengan undang-undang serta peraturan (cara baik-baik), maka tentu cara kekerasan seperti adu pedang yang harus dilakukan, dalam hal mengolah sistem, Machiavelli tidak sungkan-sungkan melanggengkan konsep tersebut. Sayangnya, role model yang seperti ini di era sekarang nampaknya malah salah kaprah. Hal-hal yang justru harus dihukum secara tegas malah justru terbelai oleh kenistaan penguasa dalam hal menaruh aturan. Benar di mata penguasa belum tentu benar di mata rakyatnya. Akan tetapi, penguasa atau pemimpin yang baik dan benar-benar memerintah sesuai kepemimpinan yang semestinya tentunya akan memperhatikan pendapat rakyatnya.
PEMBAHASAN
Menjadi hal yang wajar seorang penguasa merasa bebas akan perilaku dirinya, baik terhadap keluarganya sendiri, mapun terhadap rakyatnya. Akan tetapi, lingkaran semacam ini justru bisa saja menjadi lingkaran setan manakala penguasa tersebut tidak bisa mengontrol nafsunya sendiri. Kesewenang-wenanangan yang terjadi mengakibatkan ketimpangan di segala lini, ini menjadikan sebuah konsep kepemimpinan yang telah diatur tentunya tidak berjalan dengan baik, sebab keteraturan yang telah disusun dihancurkan oleh piranti kekuasaan yang semena-mena. Barang tentu, hal ini pun memicu hilangnya kepercayaan rakyat terhadap penguasanya sendiri. Karena, gantungan harapan yang mereka berikan, tidak sejalan dengan keuntungan yang mereka peroleh dari penguasa tersebut.
Kepercayaan dalam kepemimpinan menjadi hal yang sangat vital, karena tanpa kepercayaan, seorang penguasa tidak bisa menjadi penguasa sebab kehilangan dukungan dari rakyatnya, dan tentu saja itu menjadikan sebuah sistem carut-marut. Kepercayaan adalah hal tidak kasat mata yang begitu berpengaruh dalam sebuah objektivitas kepemimpinan, seorang penguasa dituntut harus bisa menarik kepercayaan rakyatnya, karena dengan begitu penguasa tersebut bisa melanggengkan kekuasaannya. Namun, pertanyaannya sekarang ini adalah, kepercayaan yang menjadi salah satu landasan kepemimpinan serta sifatya yang sensitif sekarang ini hanyalah menjadi sebuah utopia belaka. Kehancuran yang disebabkan oleh penguasa menjadikannya tidak lagi dipercaya oleh rakyatnya.
Reputasi seorang penguasa menjadi hal yang krusial manakala penguasa tersebut tidak mampu menempatkan porsi dirinya sebagaimana mestinya, tentu akan ada banyak ‘predator’ yang mengintai untuk menggantikan. Tetapi, jika penguasa tersebut hebat, sudah pasti akan disegani banyak orang. Menurut Machiavelli sendiri, tidak ada yang menyebabkan seorang penguasa begitu tinggi dihormati daripada keahlian dan kemampuannya yang hebat, dari sini dapat disimpulkan untuk menjadi terhormat menurut Machiavelli, seorang penguasa tersebut setidaknya mempunyai sebuah kemampuan yang bisa dibanggakan karena dengan hal tersebut penguasa itu menjadi beda dari yang lain dan disegani, baik oleh rakyat maupun orang-orang terdekat penguasa itu sendiri.
Masyarakat memberikan sebuah legitimasi terhadap seorang penguasa, memberikan asumsi bahwa penguasa tersebut memiliki eksistensi tidak hanya dari segi kecerdasan ilmu pengetahuan dan juga keperkasaan dalam hal fisik. Yang mana, kedua hal tersebut saling berpengaruh satu sama lain. Sebab, dengan hanya kecerdasan saja seorang penguasa ketika menghadapi situasi tertentu seperti perang tentunya akan terhempas jauh sebab tidak memiliki kekuatan fisik. Namun, saat penguasa tersebut hanya mampu mengandalkan kekuatan fisik saja tentunya itu tidak mungkin, sebab dalam memerintah sebuah wilayah diperlukan kecerdasan dalam hal menakar segala sesuatu, apalagi dalam penyelesaian sebuah masalah tentunya tidak mungkin dihalalkan dengan main fisik belaka.
Aktivitas manusia sendiri terdiri dari aksi dan juga refleksi: aktivitas manusia sendiri adalah sebuah praksis: pengubahan dunia. Dan sebagai praksis tersebut, tentunya aktvitas manusia itu memerlukan teori sebagai cahaya yang meneranginya. Aktivitas yang dilakukan manusia adalah teori dan juga praktik; refleksi serta aksi (Freire, 136:2014), menilik daripada hal tersebut, setidaknya penguasa harus meiliki kemampuan dasar dalam memikirkan teori dan sebagai sebuah konsekuensinya, penguasa tersebut melakukan aksi berupa memerintah secara bijaksana terhadap negara kekuasaannya.
Menjadi cambukan besar pada era kepemimpinan sekarang di mana kepercayaan begitu sukar didapatkan oleh penguasa lewat rakyatnya. Penyelewengan tanggung jawab serta amanah membuat masyarakat perlahan membentuk konstruk anti terhadap penguasa. Hal ini, tentu saja, mendatangkan malapetaka terhadap kepemimpinan itu sendiri, di mana tidak terjadinya hubungan timbal balik dari bawah ke atas yang mampu menjalankan roda kepemimpinan secara baik. Seorang penguasa yang mendapatkan kekuasaan karena bantuan rakyat banyak, haruslah mempertahankan hubungan baiknya dengan rakyat, hal tersebut akan mudah dilakukan sebab tujuan dari rakyat sendiri hanyalah agar mereka tidak menerima penindasan oleh pihak mana pun. Akan tetapi, jika seorang penguasa tersebut mendapatkan posisinya sebagai kepala karena bantuan orang-orang atas (Bangsawan) dengan menentang kehendak rakyat, di atas segalanya, maka akan berjuang untuk mendapatkan dukungan dari rakyat tersebut. Karena, akan lebih mudah bagi penguasa bila melindungi rakyat (Machiavelli, 76:2014).
Melihat sebuah contoh betapa pentingnya kepercayaan masyarakat terhadap sebuah penguasa, seperti yang diungkapkan Machiavelli dalam bukunya Il Principe. Machiavelli menceritakan Hiero Syracuse, yang pada sebelumnya hanyalah seorang yang sederhana dan kemudian menjadi Pangeran Syracuse karena kesempatan yang didapatkannya; sebab bangsa Syracuse yang mengalami penindasan mengangkatnya sebagai pemimpin mereka. Dan karena itu pula membangkitkan kemampuan Hiero untuk menjadi seorang penguasa, meski dalam hidupnya sehari-hari sebenarnya dia telah memiliki kemampuan yang seperti tertuliskan, bahwa dia tidaklah memiliki kekurangan selain sebuah kerajaan. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa, seorang dengan kecerdasan dan kemampuan fisik pun tidak cukup dalam memerintah sebuah wilayah, dibutuhkan kepercayaan masyarakat dalam hal memilihnya. Dalam cerita ini, seperti Hiero Syracuse, yang mendapatkan kekuasaan karena kepercayaan yang telah masyarakat tertindas berikan kepadanya.
KESIMPULAN
Pada dasarnya, legitimasi yang diberikan rakyat terhadap penguasanya akan menjadi utopia belaka tanpa dilandasi rasa percaya oleh rakyat atau masyarakat itu sendiri. Sebagai seorang penguasa, mengikuti kemauan rakyat adalah hal yang lumrah dalam hal ketika ingin menjilat sebuah kekuasaan. Penguasa itu sendiri setidaknya harus memiliki kemampuan otak dan juga kemampuan fisik yang sama-sama saling mendukung dalam memenuhi kekuasaan. Pada akhirnya, utopia terkait langgengnya sebuah kekuasaan yang masyhur akan runtuh sebab lengsernya kepercayaan rakyat terhadap penguasanya sendiri. Utopia memang hanyalah sebuah khayalan tentang kesempurnaan, akan tetapi bukan barang tentu demi mencapai kesempurnaan tersebut penguasa mengusahakan berbagai cara. Meski pada akhirnya tidak tercapai, setidaknya ada percikan dari kesempurnaan tersebut yang didapatkan.
Daftar Pustaka
- Machiavelli, Niccolo. 2014. Il Principe: Sang Pangeran. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
- Freire, Paulo. 2019. Pendidikan Kaum Tertindas. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
- Tilasanti, Maria Frisca. 2019. “Pancasila Menurut Machiavelli dan Relevansinya Bagi Anak Milenial”. OSF Preprints
- Anggreini, Ida Ayu Kade Ngurah; Dewa Gede Sudika Mangku; Ni Putu Rai Yuliantini. 2019. “Analisis Yuridis Pertanggungjawaban Pemimpin Negara Terkait dengan Kejahatan Perang dan Upaya Mengadili Oleh Mahkamah Pidana Internasional (Studi Kasus Omar Al-Bashir Presiden Sudan)”. E-Journal Komunitas Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha. 2(3):227-236.
- Ngadin, Siti Masfiyah. 2022. “Kepemimpinan yang Efektif dalam Manajemen Pendidikan”. Edu-Leadership. 1(2):235-246.