The Allegory of Cave Plato untuk Orang-orang yang Ngaku Paling Open Minded
Open minded menjadi frasa yang cukup banyak diperbincangkan kawula muda akhir-akhir ini. Pada dasarnya open minded bisa kita pahami sebagai karakter dengan ciri khas berpikiran terbuka. Orang yang berpikiran terbuka memiliki sikap yang lebih inklusif. Ia tidak menolak perubahan. Ia bersedia menerima hal-hal baru yang berbeda dengan apa yang ia yakini.
Lawan dari open minded adalah close minded. Orang dengan tipe ini cenderung menolak ide-ide baru yang bertentangan dengan apa yang sudah ia yakini sebelumnya. Ia lebih nyaman dengan prinsip-prinsip hidup yang sudah mereka yakini sejak semula.
Pada dasarnya sah-sah saja kita mau terbuka atau tertutup terhadap hal-hal baru. Toh kita pun, punya alasan tersendiri atas sikap yang kita pegang. Namun, kenyataannya dalam sosialita segalanya tak berjalan sederhana. Sikap berpikran terbuka malah menjadi masalah, di tengah kemunculan sekelompok netizen yang secara sarkas disebut, “Si Paling open minded” yang mendaku open minded banget. Si Paling open minded atau kita singkat saja SPOM ibarat kanker. Ia adalah hasil dari pertumbuhan sikap open minded tapi dengan cara yang abnormal. Walhasil, praktek penyimpangan sosial seringkali muncul dari kaum SPOM ini.
Dengan sikap open minded seharusnya muncul kerendahan hati (intelectual humility). Pikiran yang terbuka seharusnya tak membuat kita geger terhadap hal-hal yang berbeda dengan apa yang kita pahami. Namun entah mengapa orang-orang SPOM seringkali malah sering congkak dan menjudge orang-orang lain terlalu mainstream, nggak open minded, close minded.
Saking terbukanya pikiran kaum SPOM, hampir-hampir mereka tidak punya filter untuk menerima informasi, pemahaman, keyakinan ataupun gaya hidup yang baru mereka temui. Seringkali mereka terlena dan kagum terhadap kehidupan serba bebas ala Barat . Mereka berupaya sekuat mungkin untuk melawan berbagai macam norma-norma yang dianggap mengekang kebebasannya. Bahkan larangan-larangan agama berani mereka terabas demi menunjukkan diri kaumnya adalah tahanan yang bebas. Akhirnya terjebaklah mereka dalam buaian-buaian kehidupan duniawi dan meninggalkan nilai ketuhanan yang hakiki. Sebagaimana digambarkan Yusron hakiki, kaum SPOM punya gaya tersendiri, meraka bangga minum-minuman keras, tidak tabu dengan seks bebas, jadi feminazi bahkan pro LGBT, benci agama sendiri, gaya harus edgy dan berbahasa indogris.
Kaum SPOM ini telah membuat kata open minded mengalami peyorasi. Kini akhirnya banyak yang memaknai open minded dengan makna negatif. Orang-orang open minded bagi sebagaian masyarakat adalah orang-orang yang berpikiran terbuka tanpa batas sehingga tindakan-tindakannya los dol sekarepe dewe. Konsekuensi dari sikap open minded seharusnya membuat kita mau berbenah, bukan bersikap ra nggenah.
Kita bisa belajar dari kisah The Alegory of Cave yang ditulis Plato. Dalam kisah ini diceritakan sekelompok tahanan terjebak dalam sebuah gua. Tangan dan kaki mereka terikat di batu menghadap dinding gua. Sehari-hari mereka melihat bayang-bayang yang terproyeksikan di dinding gua. Mereka terpesona dan menganggap bahwa bayang-bayang itu hidup dan benar adanya.
Sampai suatu ketika salah seorang menemukan jalan keluar gua. Saat keluar, ia cukup kaget dengan cahaya yang ia temui. Ia merasa pusing dan merasa harus beradaptasi. Lambat laun ia mengenal benda-benda nyata di luar gua dan memahami bahwasanya apa yang dilhat di dalam gua selama ini hanyalah bayang-bayang dari benda-benda yang ada di luar gua. Setelah merasa tercerahkan, ia kembali masuk ke dalam gua dan mengajak rekan-rekannya untuk keluar dari gua.
Namun, tahanan-tahanan yang sudah begitu nyaman dengan kehidupan dalam gua tidak terkesima dengan cerita yang dibawakan tahanan gua yang tercerahkan. Tahanan tercerahkan berusaha meyakinkan rekan-rekannya di dalam gua. Namun ia gagal, mereka geram dengan sikap memaksa tahanan tercerahkan. Mereka bahkan berencana untuk membunuh tahanan tercerahkan tersebut.
Kisah ini menjadi suatu pelajaran bagi kita. Terdapat beberapa hikmah yang penting dicatat dari kisah ini. Pertama, pemerolehan kebenaran tak terjadi secara serta merta melainkan melalui proses. Tahanan tercerahkan telah melalui proses mulai dari melepaskan diri dari tali yang mengikatnya dan berjalan ke luar mulut gua, sampai dengan menerima kenyataan yang ada di luar gua. Untuk terlepas dari tali kekangnya, si tahanan tentu sudah berusaha memberanikan dan meyakinkan diri bahwa dia akan aman-aman saja ketika keluar dari mulut gua. Dia akan selamat dari monster-monster yang mungkin ada di luar mulut gua. Selanjutnya ia berusaha berjalan sekuat tenaga untuk mencari jalan keluar dari gua. Saat keluar dari mulut gua ia menemukan salah satu kesulitan terbesarnya, yakni cahaya. Ia merasa pusing saat terpapar cahaya, karena ia biasanya tinggal di gua yang gelap. Ia tak menyerah dan berusaha beradaptasi dengan cahaya yang terang. Ia kemudian mengenal berbagai hal yang benar-benar nyata di luar gua.
Kisah tersebut sama dengan upaya menuntut ilmu. Menuntut ilmu adalah usaha yang dapat kita lakukan untuk mendapatkan cahaya ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu haruslah didasari dengan keberanian mengehadapi segala tantangan dan keyakinan bahwa menuntut ilmu akan membawa pada sebaik-baik kehidupan. Lelah dan pusing adalah efek samping yang memang perlu dikesampingkan. Membangun kebiasaan mengolah pikiran, mengelola perasaan, dan menjaga kesehatan adalah proses menguatkan diri menghadapi tantangan. Lambat laun, makin bertambah-tambah pengetahuan. Dengan itu, kita berupaya memperbaiki kehidupan.
Hikmah yang kedua adalah pengetahuan seharusnya dapat membebaskan diri dan orang lain dari penderitaan dan penindasan. Tahanan tercerahkan sangatlah baik karena ia pun berusaha mengajak kawan-kawannya yang lain untuk membuka pikiran agar tak terkungkung dalam keyakinan yang salah. Jika terus memahami keyakinan yang salah tersebut, tentu tahanan-tahanan dalam gua tak akan pernah berkembang dan terlena dengan bayang-bayang dalam gua.
Hikmah yang ketiga, membebaskan semestinya dijalanlan dengan kedamaian dan bukan paksaan. Sangat disayangkan tahanan tercerahkan tak berhasil mengajak tahanan-tahanan yang lain untuk turut keluar dari mulut gua. Padahal niatnya sangatlah baik untuk membebaskan rekan-rekannya. Ada dua kemungkinan. Pertama,tahanan-tahanan dalam gua terlalu menikmati kehidupannya. Mereka sebagaimana umat nabi-nabi terdahulu yang menolak seruan-seruan yang mencerahkan. Kemungkinan kedua, mereka sebenarnya mau menerima kebenara hanya saja, sebagaimana adagium latin, “Destinata tantum pro factis non hebentur (maksud baik tidak serta merta diikuti tindakan yang baik)”. Tahanan-tahanan dalam gua sebenarnya tak menolak maksud baik dari tahanan tercerahkan. Hanya saja kelakuan tahanan tercerahkan yang terlalu memaksakan pandangannya dan merendahkan pengetahuan tahanan dalam gua membuat tahanan-tahanan dalam gua geram. Bahkan mereka berniat untuk membunuhnya. Maka sudah semestinya kebenaran pengetahuan erpasangan dengan kebijaksanaan.
Perilaku buruk orang-orang SPOM yang merasa paling benar membuat keadaan buruk meskipun pada dasarnya niatnya baik. Pandangan-pandangan kaum SPOM yang dikatakan kritis pun tak mungkin terhindarkan dari cela dan kesalahan. Kita pun patut curiga, Jangan-jangan pandangan kaum SPOM sejauh ini bukanlah kebenatan melainkan hanya bayang-bayang dari gua duniawi. Mereka erkurung dan terlena di dalamnya.
Dan tak menutup kemungkinan bahwa kita pun masih terjebak dalam gua yang sama.
Untuk itu, kita perlu membuka pikiran, terus belajar, terus beriskusi, mengaji dan mengkaji. Dan membagikan manfaat sebagaimana padi, semakin berisi, semakin merundukkan diri, dan semakin memberi nutrisi.
Oleh:
Lalu Muhammad Ilham Fajri
(Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Surakarta)