Antara Bidang dan Lembaga : Andai Saya Hadir di Musyawarah Cabang (Part 1)
Musyawarah Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kota Surakarta telah berakhir, pertama-tama saya ucapkan selamat kepada Pimpinan Cabang periode kemarin yang telah demisioner serta selamat pula kepada formatur yang terpilih. Melalui hasil-hasil Musycab kemarin, semoga gerakan IMM Surakarta makin tajem ya. Semoga perkaderannya juga makin efektif pasca Covid-19.
Bicara soal Musycab, saya termasuk orang yang kurang tertarik dengan suksesi-suksesi formatur. Biasanya saya justru lebih tertarik dengan suksesi materi-materi. Pengalaman dua periode di Komisariat, saya pernah menjadi Badan Pekerja dan Penanggungjawab. Kemudian dua periode di Cabang, dua-duanya saya juga menjadi Badan Pekerja. Setiap kali Pimpinan Cabang membentuk Tim Pengawalan Musyda dan Muktamar, saya pun selalu ada di Tim Materi.
Jadi, saya bukan tipe orang yang berada di luar arena sidang ketika Musyawarah sedang berlangsung. Saya adalah tipe orang yang berada di dalam arena sidang, berdebat serta memastikan agar tiap-tiap materi yang kita bawa dari “rumah” dapat diterima oleh musyawirin yang lain. Berdasarkan pengalaman di atas, maka saya pun berandai-andai “bagaimana jika seandainya saya menjadi Badan Pekerja dan atau Peserta Musycab kemarin?”.
Seperti biasanya, sudah barang tentu saya juga akan membawa beberapa materi yang akan saya ajukan di Musycab. Fokus saya tertuju pada Sidang Komisi. Saya selalu memandang Sidang Komisi sebagai materi yang urgent, hal ini dimaksudkan untuk menjamin agar kekurangan periode kemarin tidak berulang lagi di periode depan. Materi prioritas yang akan saya bawa mungkin akan berkisar pada Keuangan, Organisasi, Perkaderan dan Gerakan. Secara spesifik, materi-materi itu akan saya ajukan ke Sidang Komisi B dan C. Namun karena keterbatasan media, maka kesempatan kali ini saya hanya akan membahas Sidang Komisi C saja.
Pendahuluan
Kita tau, Komisi C ini adalah bagian dimana kita akan merumuskan kebijakan-kebijakan Bidang di IMM. Sejak Muktamar tahun 2012 di Medan¹, struktur Bidang nampaknya mulai kelihatan solid dan sejak saat itu Bidang-bidang baru terus bermunculan di tiap Muktamar. Setiap ada isu tertentu, maka IMM akan nambah Bidang, nambah Bidang dan nambah Bidang. Ada perkembangan teknologi, IMM nambah Bidang Media dan Komunikasi. Ada isu ekologi, IMM nambah Bidang Lingkungan Hidup serta Bidang Maritim dan Agraria. Ada isu Covid-19, IMM nambah Bidang Kesehatan. Saya tahu Muktamarnya 2018 (sebelum Covid-19), tetapi Cabang dan Komisariat-komisariat membentuk Bidang Kesehatan saat Covid-19.
Hal ini berbeda dari Muktamar sebelum-sebelumnya, dimana struktur IMM lebih banyak diisi Lembaga-lembaga. Menurut saya, struktur Lembaga ini lebih kokoh dan efektif daripada Bidang yang hanya diisi dua tiga orang itu. Sayangnya, keberadaan Lembaga di IMM selama ini tidak berlaku permanen, tergantung Pimpinan tiap periodenya mau mempertahankan atau tidak. Bisa jadi, Lembaga A ada di periode ini, tapi hilang di periode berikutnya.
Agar kita tahu mana yang perlu kita pertahankan, oleh karena itu penting kiranya kita memahami dulu “apa sih perbedaan Bidang dan Lembaga itu?”. Begini, pertama kalau kita ibaratkan IMM adalah sebuah rumah, maka Bidang adalah hall-nya sementara Lembaga adalah kamar-kamar atau ruang-ruangannya. Bisa bayangin nggak? Jadi, hall-hall di rumah bagian depan, belakang dan samping saling menyatu membentuk struktur bangunan rumah yang utuh, ya karena Bidang termasuk BPH. Sementara itu di dalam kamar, bisa jadi masih terdapat hall dan ruangannya juga (seperti kamar mandi dalam misalnya), nah itulah Lembaga. Muhammadiyah itu hall-nya ya cuma terdiri dari BPH PP Muhammadiyah sekian orang yang terpilih di Muktamar, lainnya adalah kamar-kamar semua seperti Majelis, Lembaga, Organisasi Otonom, dan Amal usaha.
Kedua, seharusnya Bidang itu lebih banyak bersifat konseptual dan umum, sementara Lembaga bersifat praksis dan spesifik. Bidang Organisasi dan Bidang Kader, itu cocok kalau disebut “Bidang”. Tapi bagaimana dengan yang lain? Kita tau kalau di IMM terdapat dua jenis Lembaga, yaitu Lembaga Otonom dan Lembaga Semi Otonom. Tentu keduanya memiliki perbedaan juga, bahkan dari namanya saja seharusnya kita cukup untuk dapat membedakan keduanya. Ambil contoh Korps Instruktur, bagaimana pun Korps Instruktur tidak dapat mengeluarkan kebijakan sendiri dan oleh karenanya Korps Instruktur harus berbentuk sebagai Lembaga Semi Otonom di bawah koordinasi Bidang Kader.
Bagaimana dengan LPM Cendekia? Karena LPM Cendekia adalah pers (yang dituntut independen), ya mau tidak mau LPM Cendekia harus berbentuk sebagai Lembaga Otonom. Jadi, tidak bisa jika LPM Cendekia ditaruh di bawah Bidang Media dan Komunikasi sebagai Lembaga Semi Otonom, bagaimana pun peran media internal IMM dan peran pers IMM harus dibedakan. Hal ini akan memberikan kewenangan yang lebih besar pada LPM Cendekia untuk membuat kebijakannya sendiri, mengeluarkan surat sendiri (tanpa harus ada tanda tangan Ketum Cabang dan atau Kabid), kelola keuangannya sendiri, hingga membangun jaringan persnya sendiri.
Keren itu kalau LPM Cendekia dapat berkolaborasi sendiri dengan Suara Muhammadiyah, Suara ‘Aisyiyah, TVMu, RadioMu, Radio Mentari FM, dan lain-lain. Jaringan ini pernah dirawat, periode Ketum Alif (2016-2017) ada pertemuan Jaringan Media Muhammadiyah di kantor PP Muhammadiyah Cik Di Tiro, waktu itu empat orang anggota Bidang Media dan Komunikasi yang berangkat ke Jogja². LPM Cendekia waktu itu masih dalam tahap perintisan kembali pasca kevakumannya yang nyaris tiga periode berturut-turut.
Selain itu, LPM Cendekia juga dapat berkolaborasi dengan serikat/organisasi profesi jurnalis seperti PPMI, PWI, AJI, dan lain-lain. Sekjen AJI Indonesia (Pusat) periode 2021-2024, Ika Ningtyas dalam kapasitasnya sebagai aktivis dan salah seorang yang mengadvokasi Tambang Tumpang Pitu di Banyuwangi juga pernah menjadi pembicara Ekofeminisme dalam DAM IMM Solo periode Ketum Alif³. LPM Cendekia juga dapat menjalin kolaborasi dengan berbagai media lain seperti Solopos, Kompas, Tempo, Narasi TV, tirto, dan lain-lain. Misalnya LPM Cendekia bisa mengajukan magang ke tirto.id kantor Jogja di libur semester serta sharing berita⁴. Jika kewenangan LPM Cendekia sedemikian besar, maka bagaimana dengan Bidang lain? Nah kalau Kesehatan, masak ya Bidang rek-rek?
Bidang Kesehatan
Kalau saya peserta Musycab, saya akan mengusulkan agar Bidang Kesehatan dihapus, serta diganti dengan Korps Kesehatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai Lembaga Otonom. Perlu dicatat, bahwa Korps ini bukan barang baru di IMM. Kalau kita membaca buku “Kelahiran Yang Dipersoalkan”, maka kita tahu bahwa sejak tahun 1965-an pun IMM sudah memiliki Korps Kesehatan Mahasiswa Muhammadiyah⁵. Tetapi kenapa harus berbentuk Lembaga Otonom?
Pertama, kesehatan itu berkaitan erat dengan nyawa makhluk hidup, oleh karenanya dibutuhkan kecakapan tertentu untuk bisa menjalankannya. Sementara itu, tidak ada jaminan bagi Formatur terpilih Musycab untuk selalu memilih komposisi Bidang Kesehatan yang berasal dari kader-kader kesehatan. Nah, kalau Bidang Kesehatan ini diganti Lembaga Otonom,- artinya harus dibuatkan AD/ART khusus – maka di AD/ART itu kita bisa melakukan limitasi sehingga syarat jadi pimpinan Korps Kesehatan adalah memiliki kompetensi akademik yang berlatar belakang kesehatan. Paham kan maksudnya?
Paling tidak, pimpinan Korps Kesehatan ya harus memenuhi kualifikasi akademik lah. IMM Surakarta kan memiliki basis kampus kesehatan yang banyak. Mulai dari FK UMS, FKG UMS, FIK UMS, FF UMS, Aiska, ITS PKU, Farmasi FMIPA UNS, FK UNS (Kedokteran dan Psikologi), Poltekkes Kemenkes, Psikologi UMS pun juga bisa masuk. Nah, ambillah pimpinan Korps Kesehatan dari kampus-kampus itu. Korps Kesehatan dan potensi kampus kesehatan ini sudah sempat saya pikirkan sedari periode pertama saya di Cabang (waktu itu Sekbid Organisasi), tapi tidak ditindaklanjuti ya karena memang belum ada trigger (Covid-19) sehingga urgent, serta juga karena butuh persiapan matang.
Sebagai gambaran, waktu itu Latihan Instruktur Dasar IMM Klaten dan Latihan Instruktur Madya IMM Jateng 2016 diselenggarakan secara bersamaan bertempat di SMK Muhammadiyah I Klaten. Tiba-tiba siswa SMK yang hendak pulang, terserempet mobil pick up tepat di depan gerbang sekolah (SMK-nya memang pas di jalan menikung). Warga berkerumun dan mengangkat korban ke pinggir jalan, malangnya itu justru malah membuat kaki korban patah fatal hingga dia menangis sekeras-kerasnya. Kader-kader IMM STIKes Muhammadiyah Klaten (waktu itu masih STIKes, belum jadi Universitas), dari arah dalam sekolah langsung sigap membawa tongkat HW dan beberapa kain. Dibidailah kaki korban itu, baru kemudian diangkat ke mobil pick up untuk dilarikan ke Rumah Sakit. Selain karena faktor akademik, yah mungkin alam bawah sadar mereka sebagai kader kesehatan, membuat mereka juga jadi cak-cek sat-set.
Konsekuensi logis dari itu semua ya berarti anggota Korps Kesehatan adalah semua kader-kader kesehatan. Kader non-kesehatan, berarti bukan anggota Korps Kesehatan. Meski begitu kader non-kesehatan tetap dapat berkontribusi pada agenda-agenda Korps Kesehatan. Sementara itu, Pimpinan Korps Kesehatannya dipilih di Musyawarah Korps Kesehatan, yang dihadiri oleh peserta dari mandat Komisariat-komisariat kesehatan. Saya percaya ini dapat menjadi katalis gerakan untuk Komisariat-komisariat kesehatan. Bahkan ini juga bisa dimaknai secara politis, kalau mau mereka bisa membawa satu gerbong sendiri di Musycab untuk mensukseskan kader kesehatan sebagai Ketua Umum Pimpinan Cabang. Musycab biar tambah gayeng.
Kedua, yang harus disadari adalah bahwa kalian itu masih mahasiswa, belum punya legalitas praktik. Oke lah kalau sekedar pertolongan pertama, cek suhu, cek tensi, konsultasi, dan lain-lain. Tapi kan kalian tidak bisa menangani lebih lanjut, seperti memeriksa, mendiagnosa, memvonis, memberi resep, obat, dan lain-lain. Oleh karena itu kalau kesehatan ini dibuat jadi Lembaga Otonom, maka dalam benak saya di samping Ketua Korps akan ada garis koordinasi putus-putus ke Dewan Pakar⁶. Orang yang diminta menjabat posisi itu, atas dasar kepakarannya.
Bayangan saya kalau Korps Kesehatan ada Dewan Pakar, maka secara komposisi misalnya bisa dari MPKU PDM Solo (ex officio)⁷, Majelis Kesehatan PDA Solo (ex officio), dokter senior PKU Solo, dan dosen senior kampus-kampus kesehatan. Jadi misalnya Korps Kesehatan hendak mengadakan medical check up dan pengobatan gratis, maka minta aja Dewan Pakar itu untuk mendampingi, beres kan? Lalu komposisi struktural Korps Kesehatan lainnya seperti apa?
Ketiga, kesehatan itu terlalu kompleks dan tidak cukup disimplifikasi hanya dalam bentuk “Bidang”, dokter saja juga ada spesialisnya sendiri-sendiri. Nah, IMM Solo mau berfokus pada kesehatan yang bagian mana? Taruhlah tujuan awal IMM Solo membentuk Bidang Kesehatan adalah untuk adaptasi terhadap Covid-19, maka dalam benak saya IMM Solo bisa membentuk Divisi Epidemiologi atau Divisi Wabah dan Penyakit Menular di Korps Kesehatan itu. Divisi lainnya yang perlu dibentuk mungkin adalah Divisi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Muhammadiyah, Aisyiyah, dan NA kan juga sedang gencar-gencarnya advokasi stunting, IMM Solo bisa turut ambil bagian. Kalau sekiranya sudah tidak ada lagi fokus isu yang ingin dibangun, masukkan sisanya ke Divisi Kesehatan Umum (artinya Divisi yang fokusnya selain dari yang khusus-khusus tadi). Jangan lupa adakan juga Divisi Perkaderan dan Pengembangan Keilmuan untuk menjamin kompetisi kader agar selalu update dengan isu-isu kesehatan. Semua hal ini tidak mungkin ada kalau bentuknya “Bidang”.
Keempat, tentu karena Lembaga Otonom memiliki kewenangan besar. Sama seperti LPM Cendekia tadi, Korps Kesehatan juga berkemungkinan membangun jaringan kesehatannya sendiri. Yah barangkali Korps Kesehatan bisa berkolaborasi dengan berbagai organisasi profesi, seperti IDI, PDGI, PPNI, IBI, IAI, dan lain-lain. Korps Kesehatan juga bisa bekerjasama dengan RS PKU, RSUP/D, RS Swasta lainnya, Apotek, kampus-kampus kesehatan, dan lain-lain. Hal-hal yang mungkin sulit dilakukan kalau bentuknya “Bidang”.
Oleh : Mahfud Ali Haidar
(Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY)
Catatan:
- DPP IMM. (2012). Tanfidz Muktamar XV Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Jakarta: DPP IMM
- Gambar 1
- https://www.instagram.com/p/BUEAtYtjB5U/?igshid=YmMyMTA2M2Y= diakses pada tanggal 24 Agustus 2022 pukul 19.30 WIB, lih. Gambar 2
- https://tirto.id/insider/faq diakses pada tanggal 24 Agustus 2022 pukul 19.30 WIB
- Fathoni AF, Farid. (1990). Kelahiran yang Dipersoalkan : Dua Puluh Enam Tahun Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) 1964-1990. Surabaya : PT Bina Ilmu lih. Gambar 3
- Dewan Pakar diminta menjabat karena kepakarannya. Ini berbeda dengan istilah Dewan Penasehat, Dewan Pertimbangan, dan lainnya.
- Ex officio maksudnya, seseorang yang karena jabatannya maka ia jadi merangkap jabatan di tempat lain. Misalnya, Abdul Musawir karena jabatannya sebagai Ketua Umum DPP IMM, maka ia juga merupakan anggota Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah.