Resensi

GUGATAN SI PARASIT LAJANG

Resensi buku trilogi Si Parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Pengakuan Eks Parasit Lajang

Si Parasit Lajang

Penulis             : Ayu Utami

Penerbit           : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Cetakan           : Cetakan Kelima (Februari 2017)

Dimensi           : xviii + 201; 13,5 × 20 cm

ISBN               : 978-602-424-124-7

Cerita Cinta Enrico

Penulis             : Ayu Utami

Penerbit           : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Cetakan           : Cetakan Pertama (Februari 2012)

Dimensi           : vii + 224; 13,5 × 20 cm

ISBN               : 978-979-91-0413-7

Pengakuan Eks Parasit Lajang

Penulis             : Ayu Utami

Penerbit           : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Cetakan           : Cetakan Ketiga (Februari 2015)

Dimensi           : x + 306; 13,5 × 20 cm

ISBN               : 978-979-91-0537-0

 

Apa jadinya jika seseorang memutuskan dan mengumumkan untuk tidak menikah? Apa bedanya lelaki dan perempuan yang sama-sama memutuskan dan mengumumkan untuk tidak menikah? Meski keduanya memiliki sikap yang sama, tapi jangan kaget jika keduanya justru mendapatkan respon yang berbeda atas kesamaan sikap tersebut. Respon itu dapat berasal dari agama, bisa pula dari konstruk sosial masyarakat.

Bagi A, teramat sering pernikahan tidak memberikan keadilan kepada perempuan. Dari hukum positif negara hingga konstruk sosial masyarakatnya. Pada umumnya, pernikahan masih melanggengkan dominasi pria atas wanita, demikian A menulis dalam Prolognya. Perkawinan yang ada pada ajaran agama, baginya, belum semua memberikan bentuk hubungan yang setara antara lelaki dan perempuan. Maka, seksualitas dan agama menjadi dua hal yang saling tarik menarik kepentingan.

Tema seksualitas dan agama selalu muncul di setiap karya A, setidaknya sampai karya kelima yang saya baca. Keduanya menjadi topik tak terpisahkan dalam kehidupan hampir semua manusia, karenanya menjadi sentral dari setiap anak idelogis dari A yang memutuskan dan mengumumkan untuk tidak menikah, setidaknya tidak menikah secara agama, yang olehnya hukum-hukum perkawinan di Indonesia dianggap tidak berpihak kepada perempuan. Konstruk sosial masyarakat menambah kaum perempuan semakin tertekan, seolah tidak ada pilihan jalan kebahagiaan lain bagi bagi wanita, selain pernikahan.

Ya, wanita seolah “diwajibkan” untuk menikah. Tak mau menikah? Bersiaplah menampung dan menimbun stereotipe perawan tua, tidak laku, hidup tidak sempurna kalau tidak menikah, dan masih banyak lagi dari masyarakat (termasuk di dalamnya perempuan juga). Sayangnya itu tidak terjadi pada lelaki yang memutuskan untuk melajang seumur hidupnya. Ironis pula, agama diklaim turut melanggengkan pola pikir patriarkal ini.

Trilogi ini merupakan kisah nyata, dibuka dengan Prolog: 10+1 Alasan untuk Tak Kawin. Manifesto (sebagaimana yang “diklaim” oleh penulisnya sendiri, karena banyak diingat orang) yang terdapat dalam Si Parasit Lajang, menjadi semacam prawacana bagi pembaca agar tidak “kaget” dalam membaca lembaran demi lembaran catatan lain, yang menggugah dan merombak pola pikir patriarkal sebagian besar masyarakat mengenai seks, perkawinan, stereotipe wanita, keperawanan, agama, dan tentunya konstruk sosial patriarkal. Lembaran-lembaran selanjutnya memuat pengalaman, kegelisahan, dan puncaknya adalah gugatan.

Si Parasit Lajang, diambil dari salah satu judul tulisan di buku ini, memuat catatan-catatan yang beberapa di antaranya pernah dimuat di sejumlah media. Catatan-catatan reflektif mengenai berbagai pikiran dan pengalaman dalam berinteraksi dengan bermacam jenis orang dengan latar belakang yang bermacam pula. Si Parasit Lajang berkisah apa adanya, tanpa tedeng aling-aling, mengenai hal-hal keseharian yang terkadang luput dari pengamatan bahkan pembahasan kita sendiri. Seks, pacaran, pernikahan, film porno, pemberangusan media oleh rezim, pengekangan kebebasan ekspresi berpendapat, diskusi-diskusi berbau subversif menurut ukuran zaman Orde Baru.

Catatan-catatan A ini berlanjut di Cerita Cinta Enrico. Novel biografi seorang anak mantan gerilyawan PRRI bernama Prasetya Riksa. Enrico-nya dari mana? Silakan pembaca nikmati sendiri novelnya. Enrico mengalami masa kecil sebagai anak yang patuh dan amat mencintai ibunya, seorang wanita berbetis kokoh dan bersepatu pantovel bernama Syrnie Masmirah, sekaligus mengagumi ayahnya, Letda Muhamad Irsad.

Kedatangan seorang pengkhabar dari sekte yang tidak diakui oleh gereja katolik & gereja protestan, Saksi Yehuwa, yang memberikan harapan untuk bertemu dengan Sanda, kakak perempuan Enrico yang wafat di usia sangat dini karena sakit asma seusai menikmati semilir angin laut di Pantai Padang, Syrnie Masmirah berubah.

Semenjak itu, Enrico merasakan kungkungan karena tuntutan dan kewajiban dari sekte Saksi Yehuwa hingga wafatnya Syrnie Masmirah. Bahkan sang ayah pun akhirnya dibaptis sebagai anggota Saksi Yehuwa sebelum wafat. Titik balik kehidupan Enrico dimulai ketika ia memutuskan untuk kuliah di ITB. Satu-satunya alasannya kuliah di ITB semata demi kebebasan yang tidak ia dapatkan semasa bersama sang ibu yang sudah berubah. Di perantauan, ia mendeklarasikan dan menjalani kehidupan bebas yang amat diidamkannya itu, termasuk bebas dari agama.

Bagi Enrico, konsep kebebasan tak ubahnya ayam-ayam yang dulu pernah ia & keluarganya pelihara. Ayam kampung, yang ia sebut “ayam sungguhan” adalah individu yang cerdas dan berkrakter serta mempunyai kemuan sendiri-sendiri. Ayam leghorn ia gambarkan sebagai individu yang bodoh, gemuk, lamban, dan tidak bisa mengerami telur-telur mereka sendiri sehingga membutuhkan mesin penetas. Baginya, ayam leghorn adalah individu tanpa kemandirian, serta kemampuan bertahan hidup dan mempertahankan hidup anak-anaknya. Golongan terakhir adalah ayam broiler, yang menjadi dewasa tanpa pernah menjadi remaja dan tanpa kehilangan lemak bayi, hanya bisa mengangguk-angguk makan dan minum. Individu ini yang pasrah ada adanya dengan segala keadaan yang ada, tak mau dan tak mampu memberikan perlawanan.

Fase ayam kampungnya ia gunakan dengan bergabung dengan gerakan mahasiswa yang pada masanya berontak kepada rezim penguasa. Karier aktivisme mandek kala rezim memberlakukan NKK/BKK yang mengosongkan masa akademik selama kurang lebih 6 bulan. Waktu yang sangat cukup untuk mengosongkan kantong-kantong perlawanan gerakan mahasiswa kala itu, dan Enrico ada di dalamnya.

Baginya: perguruan tinggi telah menjadi peternakan yang membesarkan ayam-ayam leghorn dan broiler saja. Yaitu ayam-ayam palsu, yang tak punya kemauan, tak punya kenakalan, tak punya rasa ingin mencari yang sesungguhnya. Ayam-ayam yang diproduksi untuk daging dan telurnya saja. Ayam-ayam yang tak punya karakter, tak punya keunikan individu. Ayam-ayam yang hanya mengangguk-anggguk, mematuk-matuk apapun yang diberikan kepada mereka, sampai kelak Kiamat memotong leher mereka.

Pasca selesainya aktivisme mahasiswanya ini, Enrico perlahan-lahan mulai memasuki masa kekosongan yang tak terperi. Kehidupannya mulai tak tertata. Ia berpindah dari satu perempuan ke perempuan selanjutnya. Kebebasan yang ia agungkan ini, benar-benar ia jalani, namun dalam kondisi kosong. Pada masa kosong inilah, A memasuki dan memenuhi hidupnya, sekaligus mengubah Enrico perlahan menjadi ayam broiler yang dulu sangat ia benci.

A, gadis kelahiran kota hujan, melepas keperawanannya pada usia 20–an. Ia melakukannya berdasar ketidaksetujuannya pada beberapa konsep doktrin iman & hukum gereja yang baginya tidak adil terhadap perempuan, memutuskan untuk membuat sistemnya sendiri. Sistem yang kelak akan menjadi alarm terhadap segala ketidakberesan agama, negara, dan konstruk sosial patriarki yang melingkupinya. A membuat sistem dan standar moralnya sendiri.

A terus menjalani petualangan-petualangan dengan beberapa lelaki. Di sini lah A senantiasa menerapkan sistem standarnya. Bagi A, hubungan antar manusia haruslah hubungan yang setara, yang sama-sama menganggap satu sama lain sebagai manusia seutuhnya. Sehingga tidak ada yang menjadi objek, semua adalah subjek. Dalam konstruk masyarakat patriarkal, yang tercermin dalam keluarganya sendiri, A melihat ketidaksetaraan itu. Perempuan masih ditempatkan pada titik subordinat di bawah laki-laki yang secara otomatis dilegitimasi oleh (sebagian) agama dan negara sebagai pemimpin bagi perempuan sekaligus sebagai kepala keluarga.

Konstruk patriarkal ini menelurkan struktur pernikahan dan idealisasi keperawanan yang juga tidak adil. Keduanya amat berkaitan, terangkai dalam sistem yang terus menerus mensubordinatkan perempuan. Si Parasit Lajang, ia menyebut dirinya demikian, sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem struktur pernikahan dan idealisasi keperawanan, serta memperjuangkan pembebasan bagi perempuan dari tekanan untuk “wajib” menikah. Hingga pada akhirnya, A bertemu dengan Enrico atau Rik, si ayam kampung.

Trilogi ini adalah rangkaian cerita mengenai kesadaran dalam berpikir, bertindak, menentukan pilihan dan menjalani hidup secara jujur. Segala proses pergulatan dan kontemplasi A dinarasikan secara sederhana menjadi simulasi game komputer berjenjang mulai dari Game 1-7. Rangkaian game ini terdapat di bagian ketiga. Bagian ini memiliki perbedaan ketimbang dua bagian sebelumnya yang menggunakan sudut pandang orang pertama. Bagian ketiga yang menggunakan sudut pandang orang ketiga memberikan gambaran yang lebih objektif, karena seolah si penulis sedang menceritakan “orang lain”, padahal yang tengah ia ceritakan adalah dirinya sendiri.

Penghujung trilogi ini ditutup dengan keputusan yang sangat mengejutkan banyak pihak, termasuk mereka yang selama ini merasa dibantu oleh sikap Si Parasit Lajang, mereka seolah ditinggalkan dengan keputusannya untuk menikah, meski hanya secara agama. Namun bagi publik, itu tetap dianggap pernikahan, sesuatu yang tampak menyalahi keputusannya di awal. Kenapa akhirnya A melepaskan nama besar Parasit Lajang? Bagian ini menjadi sorotan utama. Tapi bagi saya, letak keunikan trilogi ini justru bukan pada akhir cerita yang menjelaskan perubahan sikap dan pilihan hidupnya.

Keunikan dan keberanian trilogi ini sudah dimulai sedari buku pertama bahwa segala keputusan hidupnya selalu didasarkan pada kejujuran dalam berpikir dan menjalani hidup. Pilihannya tidak semata untuk memuaskan keinginan dirinya, tapi demi solidaritas atas ketidakadilan, ketidaksetaraan hubungan antar manusia, serta sistem dan struktur patriarkal yang kadung mendarahdaging. Keputusannya untuk tidak menikah semata untuk memperjuangkan pembebasan bagi perempuan dari tekanan untuk “wajib” menikah. Sedangkan pilihannya untuk menikah agama, pun sebagai bentuk solidaritasnya terhadap komunitas agama yang telah “melahirkannya”, komunitas agama minoritas yang menerima ketidakadilan di negeri ini, oleh sebagian orang dari komunitas yang mayoritas.

Hidup adalah soal kejujuran dan keberanian. Kejujuran untuk mengakui dan mengungkapkan kejanggalan dan ketidakadilan dalam sistem dan struktur di sekitar kita, di dalam doktrin agama, peraturan negara, kultur masyarakat, hingga konstruk berpikir yang kadung tidak setara. Keberanian berpikir, memilih, memutuskan sekaligus mengumumkan sikap atas ketidakadilan dan ketidaksetaraan, telah diajarkan A dan Enrico.

.

Oleh:

Muhammad Afriansyah

Ketum PK IMM FKIP UMS Periode 2016/2017