ELEGI DAUN MAPLE
Oleh:
Septi Windi Lestari
Sekretaris Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PK IMM FKIP UMS periode 2019/2020
Sungguh menyenangkan kembali berjumpa dengan bias mentari yang mencermin di antara luasnya bentang sungai yang mengalir dengan gemericik air yang berlarian menyapa batu-batuan serta ranting terseok-seok terbawa olehnya. Kicau burung yang saling bersahut menjadi harmoni yang cukup merdu di telinga. Kerumun orang-orang yang turut antusias menikmati pagi dengan tawa dan percakapan yang cukup hangat terdengar. Embun berpamitan beranjak dari daun-daun dan tanah yang menjadikannya nampak begitu segar, pertanda hari semakin siang. Kata-kataku sudah hampir habis untuk mengutarakan senandung pagi yang membangunkanmu dari lelapnya mimpi. Sejauh pandang hingga ke seberang, kelopak mataku tak mendapatimu di antaranya. Pikirku terlalu maya untuk hal-hal yang kian abstrak di mataku, sama halnya denganmu, Ellena. Masih terekam dengan sangat jelas, ronamu yang tiba-tiba saja bertanya padaku, “Mengapa daun-daun maple ini begitu rapuh hingga berguguran? Mengapa ia tak ikut tumbang bersama pohonnya?” kalimatmu yang selalu kuingat sewaktu musim gugur ini tiba di setiap tahunnya. Kau tau Ellena, daun-daun berguguran yang kau pertanyakan itu adalah kehidupan dan manusia. Pohon adalah kehidupan yang nyata, menjadi tempat bagi segelintir di sekitarnya. Dan daun yang tumbuh di antaranya adalah manusia. Maple yang tumbuh menghijau, kuning, kemerahan kemudian akhirnya coklat dan berguguran, itulah fase kehidupan manusia. Manusia tumbuh pada permulaan kehidupannya dengan pengharapan. Manusia berkembang meningkatkan kualitas hidupnya dengan perubahan. Lalu, manusia mulai menentukan kemapanan dalam menjalani setiap kehidupannya sebelum akhirnya menyerahkan diri pada takdir terbawa kehidupan yang abadi.
Kau tau Ellena, siklus kehidupanku masih sama seperti waktu engkau mengunjungiku terakhir kali. Dengan segenggam roti isi daging, tak lupa selai kacang dan satu cup coklat panas di setiap akhir pekan. Termangu di tepian sembari memikirkanmu, di kursi yang sama. Bedanya, tak lagi bersamamu. Rutinitas layaknya manusia pada umumnya, mungkin harapku yang tak wajar. Dulu, seringkali kau berceloteh dengan langit biru seorang diri. Menggambarkan imajinasi pada gumpal awan yang cukup putih bagai kapas. Sembari merebah, kau mengangkat tanganmu, jemarimu menari lihai menunjukan garis yang coba kau gambarkan, menyuruhku untuk terus memperhatikannya. Ada yang seperti pesawat, ada yang serupa domba, dan boneka teddy bear yang kau tunjukkan dengan ceria dan sesekali gelak tawa.
Matahari berjalan begitu cepat, sejenak saja sudah hampir tepat di atas kepalaku. Panasnya tak terasa begitu menyengat, karena semilir angin yang lewat menyejukkan sekeliling dan membawa beberapa daun maple itu ikut melayang bersamanya. Ellena, ada satu yang sempat lupa kau bawa pergi kala itu, secarik kertas bertuliskan puisi yang kutemukan tergeletak di lantai bawah meja sebelum akhirnya aku sadari itu milikmu. Aku tau semenjak dahulu kau memang senang sekali merangkai sajak-sajak indah, tapi kau enggan menunjukannya padaku. Bahkan, seisi rumah tak pernah menyadarinya, termasuk ayah dan ibumu. Meskipun banyak sekali rangkai kata yang kau persembahkan untuknya. Kau tau Ellena, aku selalu menyanjung setiap aksara yang kau buat itu. Yang diam-diam aku baca tanpa sepengetahuamu. Sajak tentang waktu adalah satu dari sekian karyamu yang paling aku senangi. Namun, sedari dulu aku begitu kelu untuk mengutara lewat sajak. Dulu, pikirku sajak hanya kata-kata yang tinggal kata tanpa arti apa-apa. Sebelum akhirnya aku membaca seluruh sajakmu yang bukan sekedar kau tulis, tapi ia hidup bersamamu. Menjadi kehidupan.
Mentari terus saja bergeser, merendah tanpa kesombongan. Sama halnya denganmu, Ellena. Hiruk-pikuk kehidupan masih terasa seiring orang-orang turut mengasing pulang ke rumahnya masing-masing. Di tepian sungai ini tertinggal beberapa orang saja. Di sudut utara, nampak seseorang tengah memasang umpan pada mata kail pancing dan melemparkannya pada arus sungai. Sementara, di bawah pohon maple yang tengah berguguran, ada seorang perempuan cantik dengan busana khas Jepang tengah berpose menjadi model foto. Sementara aku, masih terduduk diam menikmati akhir pekan yang sebentar lagi akan berganti senin. Pekan yang akan datang pasti tengah kau nantikan, benarkan Ellena. Apa yang ingin kau lakukan hari esok, bekerja atau membuat sajak di taman rumah. Suaramu tak terdengarkan jelas, dihamburkan oleh suasana hari yang hampir habis. Mentari yang menggeliat hendak beranjak menenggelamkan diri ke bumi menjadikannya langit jingga kemerah-merahan dengan siluet yang memanjakan matamu. Senja seakan melambaikan sampai jumpa pada pertemuan hari ini, akankah kau juga akan kembali Ellena, bersama fajar esok hari? Barangkali kau masih ingat aku, jika tidak pun, aku yang masih mengingatmu. Sampai jumpa pada perjumpaan mimpi Ellena. Agaknya malam akan turut menghangatkan penatmu selepas apa yang telah kau lalui hari ini. Dan aku, akan menyampaikan sampai jumpa pada setiap perjumpaan hari dengan esok lagi.
~selesai~