RUU HIP TANPA PERTIMBANGAN FILOSOFIS DAN PERLU PERTIMBANGAN HISTORIS
Perkembangan mutakhir saat ini kalau boleh jujur saya bersikap apatis terhadap keadaan dan kondisi negara baik itu keadaan sosial, politik, ekonomi, ataupun budaya. Karena kebanyakan guyon dan baperan (awa perasaan). Guyon yang pertama adalah pernyataan dari Bapak Presiden kita tentang definisi mudik dan pulang kampung yang sempat trending di kanal Youtube Najwa Shihab yang ditonton 6.1 juta kali[1], kemudian yang baru-baru ini terjadi yaitu kritik yang disampaikan lewat konsep komedi oleh seorang komika Bintang Emon yang disambut dengan fitnah tak terbukti dengan ditunjukkannya surat keterangan negatif narkoba oleh sang komika sendiri[2]. Semenjak saat itu saya menyimpulkan bahwa masyarakat kita butuh hiburan karena kelamaan di rumah dan rebahan. Tapi giliran yang memberi hiburan adalah masyarakat malah difitnah. Wah lucu… Mungkin saat ini pemerintah perlu mengeluarkan protokol komedi terutama stand up comedy, karena pemerintah saja mengeluarkan protokol khutbah Jumat masa iya stand up comedy ngga, kan sama-sama berbicara di depan umum.
Namun – entah saya geram, tergelitik, atau terangsang saya kembali melihat layar televisi dan menyaksikan berita ketika terdengar kabar adanya sebuah draf rancangan undang-undang yang di dalamnya mengatur tentang Pancasila. Tentu siapapun yang ketika landasan pemikirannya diusik akan saling memberi atensi apalagi obyek yang diatur adalah landasan pemersatu kemajemukan Indonesia.
RUU HIP tanpa Pertimbangan Filosofis
Saya mengatakan demikian karena sewaktu pembahasan awal RUU HIP ini tidak menghadirkan pakar filsafat yang sudah mengkaji Pancasila dari segi filosofis. Sebut saja Prof. Kaelan atau Prof. Notonagoro yang merupakan Guru Besar Filsafat Universitas Gadjah Mada yang sudah mengkaji Pancasila dari sudut pandang filsafat. Buku yang ditulis oleh Prof. Kaelan pun saat ini dijadikan sebagai referensi di beberapa perguruan tinggi terutama pada mata kuliah Pancasila yang diwajibkan di seluruh perguruan tinggi. Tulisan ini pun diilhami dari hasil kajian Pancasila oleh Prof. Kaelan.
Pakar yang dihadirkan pada saat pembahasan awal RUU HIP ini adalah Prof. Jimly Asshiddiqie dan Prof. Adji Samekto[3] yang mana kedua profesor tersebut masing-masing merupakan guru besar ilmu hukum tata negara dan juga ilmu hukum. Saya tidak bermaksud meragukan ilmu filsafat beliau namun saya memandang perlu menghadirkan seorang pakar filsafat terutama yang sudah mengkaji Pancasila dari sudut pandang filsafat karena obyek yang diatur dalam RUU ini adalah Pancasila yang merupakan landasan ideal negara Indonesia. Pancasila yang merupakan konsep abstrak sangat perlu dikaji secara filosofis agar kemudian gagasan-gagasan praksis yang dihasilkan dapat semakin nampak dan semakin jelas, jika pembahasan RUU ini tidak menghadirkan hasil pengkajian filosofis Pancasila maka pasal-pasal di dalamnya akan sangat mungkin terjadi pertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Sampai sini pun saya sudah membuat hipotesis bahwa terdapat permasalahan pada salah satu pasal draf RUU ini.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti memberi contoh soal ciri pokok Pancasila yang tercantum dalam pasal 7. Di sana tercantum: “(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan; dan (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.” “Memasukkan trisila dan ekasila maupun Ketuhanan yang Berkebudayaan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis pidato Soekarno 1 Juni 1945 sama dengan mereduksi Pancasila,” katanya, dikutip dari Antara[4].
Bagi saya kesalahan paling fatal sesuai dengan pendapat ayahanda Abdul Muti berkaitan dengan nilai ketuhanan. Menurut saya maksud dari mereduksi Pancasila adalah mengurangi nilai-nilai Pancasila yang sudah menyatukan keragaman suku budaya dan agama di Indonesia dan menjadi sakti pada tanggal 1 Oktober 1945. Meskipun dikatakan Ciri Pokok pada Trisila dan Terkristalisasi pada ekasila tetap saja dikatakan mereduksikan nilai Pancasila terkhusus nilai ketuhanan secara terstruktur.
Saya mengatakan demikian karena jika secara teks, nilai ataupun intisarinya dipindah atau dihilangkan maka akan memunculkan perdebatan dan juga pertentangan maka dalam hal ini jika Trisila atau Ekasila hendak digunakan, diperlukan pengkajian kembali. Hal ini berangkat dari pengkajian nilai Pancasila oleh Prof. Kaelan. Beliau mengatakan bahwa sila-sila Pancasila bersifat hierarkis-piramidal.
Kesatuan sila-sila Pancasila yang memiliki susunan hierarkhis piramidal ini mengacu pada sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai basis dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebaliknya, Ketuhanan yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan serta berkeadilan sosial, sehingga di dalam setiap sila senantiasa terkandung sila-sila lainnya.[5]
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa sila ketuhanan merupakan penjiwaan untuk sila-sila di bawahnya sehingga dapat disimpulkan urutan sila-sila Pancasila saling menjiwai dan dijiwai. Hal ini pun diperkuat oleh pendapat Notonagoro,
Pancasila dasar filsafat negara merupakan satu kesatuan, tersusun atas berbagai bagian, tetapi bagian itu tidak saling bertentangan. Semuanya menyusun hal yang baru dan utuh. Setiap bagian Pancasila merupakan bagian yang mutlak, jika dihilangkan satu bagian saja hilanglah halnya, sebaliknya terlepas dari halnya, bagian tersebut dihilangkan kedudukan dan fungsinya. Selain itu, setiap sila Pancasila di dalamnya mengandung sila yang lainnya. Terdapat hubungan yang saling mengkualifikasi. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah ketuhanan yang berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan. Begitu seterusnya dengan sila yang lain pula. Hubungan satu kesatuan dan saling mengkualifikasi ini terjadi karena tidak ada pertentangan sila yang satu dengan sila yang lainnya, hubungan sila kesatu sampai sila kelima bersifat runtut. Inilah satu penerapan teori koherensi.[6]
Teori koherensi dan sifat hierarkis piramidal yang diutarakan oleh Prof. Notonagoro dan Prof. Kaelan menempatkan nilai ketuhanan sebagai jiwa dari setiap sila-sila Pancasila sehingga urutan dari sila-sila tersebut sudah tidak bisa diubah. Jika sila ketuhanan diubah maka penafsiran yang akan terjadi akan berbeda dan sangat mungkin bertentangan.
Haluan Ideologi Pancasila: Pancasila perlu Haluan?
Meskipun saat ini Pasal 7 dari draf tersebut telah disepakati untuk dihapus[7] namun tetap saja terdapat permasalahan pada beberapa pasal yang ada pada draf RUU ini. Sebelum menjurus kepada pasal yang dimaksud saya akan mulai dari mengkaji judul atau nama daripada draf RUU ini. Rancangan Undang-Undang ini dinamakan Haluan Ideologi Pancasila disusun dari tiga kata yaitu haluan, Ideologi, dan Pancasila. Penamaan ini menurut saya sangat ambigu terutama pada kata Haluan.
Karena saya bukan ahli bahasa jadi saya tidak mengkaji penamaan tersebut meskipun nama draf RUU ini tetap ambigu bagi saya. Dalam draf RUU HIP pada Pasal 1 ayat (3) dijelaskan bahwa Haluan Ideologi Pancasila adalah
… pedoman bagi cipta, rasa, karsa dan karya seluruh bangsa Indonesia dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong untuk mewujudkan suatu tata masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi yang berkeadilan sosial.[8]
Penjelasan tersebut tidak didahului dengan penjelasan terkait dengan Ideologi dan Haluan dan langsung menjelaskannya dalam satu kalimat. Entah dianggap sudah mengetahui ataupun familiar, penggunaan kata haluan di awal penamaan bagi saya sudah ambigu. Namun jika berangkat dari pasal 1 ayat (3) draf RUU tersebut dapat disimpulkan bahwa haluan merupakan pedoman.
Jika demikian maka peran RUU ini jika disahkan berperan sebagai landasan dalam berideologi Pancasila baik secara pemikiran atau tindakan. Bagi saya ini merupakan permasalahan jika setiap manusia yang berideologi Pancasila harus menggunakan pedoman baku yang diformalkan maka setiap tindakan dan pemikiran masyarakat harus mengacu pada pedoman tersebut. Hal ini dibuktikan dengan penegasan tentang peran pedoman ini pada BAB III yaitu sebagai Pedoman Pembangunan Nasional, BAB IV sebagai Pedoman Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan BAB V Pedoman Sistem Nasional Kependudukan dan Keluarga.
RUU HIP: P4 Gaya Baru, Pertimbangan Historis
Saya katakan demikian karena hal ini ditegaskan dalam bagian penjelasan draf RUU tersebut yang menegaskan bahwa
Untuk mencapai tujuan bernegara diperlukan kerangka landasan berpikir dan bertindak dalam bentuk Haluan Ideologi Pancasila. Sehingga Pancasila perlu dijabarkan dalam Haluan Ideologi Pancasila. Haluan Ideologi Pancasila merupakan pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan Pembangunan Nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arah bagi seluruh warga negara dan penduduk Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan nilai-nilai Pancasila.[9]
Entah hal ini dipermasalahkan atau tidak tapi jika kita melihat kembali sejarah perundang-undangan Indonesia, pemerintah juga pernah mengeluarkan regulasi dengan konsep yang sama yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dalam bentuk Tap MPR No II/MPR/1978. Regulasi yang berlangsung sampai tahun 1998 itu harus berakhir karena ketika landasan pemikiran dibuat kaku maka penerapannya akan penuh dengan kontradiksi terutama dengan keadaan.
Menurut Margono dalam tesis masternya yang berjudul Karakteristik Proses Belajar Mengajar Penataran P4 Pola 45 Jam Bagi Mahasiswa Baru (1991), saat pertama kali diimplementasikan, penataran P4 di kampus-kampus memakai pola 100 jam. Total waktu yang dihabiskan mahasiswa untuk berkutat dengan ceramah Pancasila, UUD 1945, dan GBHN, kala itu hanya selisih 20 jam lebih sedikit dari waktu penataran pejabat pemerintahan.
Tanpa disadari, hal ini memicu frustrasi di kalangan pelajar karena materi penataran yang disampaikan selama dua minggu berturut-turut, dari pukul tujuh pagi hingga lima sore, ternyata sekadar pengulangan mata pelajaran PMP. Bermula dari sini, kampanye P4 mulai kehilangan pengaruhnya.
Pendekatan formal yang amat kaku dan berturut-turut ini dianggap sebagai bentuk penindasan. Maka ketika Reformasi mencapai klimaksnya pada Mei 1998, penataran P4 di tingkat perguruan tinggi menjadi salah satu warisan Orde Baru yang langsung dihanguskan oleh mahasiswa.[10]
Berdasarkan penuturan tersebut maka Draf RUU ini merupakan versi atau gaya baru dari pedoman P4 yang pernah berlaku di Indonesia pada rezim Bapak Soeharto. Jika demikian maka nasib yang sama pun akan sangat mungkin terjadi pada draf Rancangan Undang-Undang ini jika kemudian disahkan menjadi Undang-Undang. Seperti yang saya katakan di awal, jika pertimbangan filosofis Pancasila tidak dihadirkan pada pembahasan draf RUU ini maka akan sangat mungkin terjadi pertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Maka hal ini pun berlaku pula jika tidak menghadirkan pertimbangan historis. Bahkan kalaupun menghadirkan pertimbangan historis, maka seharusnya RUU ini tidak pernah ada apabila langsung dikorelasikan dengan pedoman P4 yang pernah berjaya sebagai doktrin dalam bentuk regulasi baku.
Refleksi
Sejauh saya menempuh perkuliahan sebagai mahasiswa, satu intisari mengapa pedoman P4 dicabut adalah Pancasila merupakan landasan pemikiran, dan tidakan bagi Indonesia, baik dalam kehidupan beragama, berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Pancasila dibiarkan abstrak dengan harapan agar nilai-nilainya dapat diintegrasikan dengan perkembangan zaman diperankan sebagai filter pemikiran bersamaan dengan perkembangan zaman. Kalaupun terdapat perbedaan pendapat maka semuanya dikembalikan pada nilai-nilai Pancasila itu sendiri dengan moral dan nilai apa perbedaan itu harus diselesaikan. Itulah mengapa UUD 1945 yang merupakan manifestasi langsung dari Pancasila diperbolehkan untuk diamandemen agar kemudian dapat disempurnakan, karena para founding fathers kala itu menyadari bahwa rumusan ini tidaklah sempurna maka ditegaskan dalam pasalnya jika UUD boleh untuk diamandemen. Terkecuali pembukaan yang didalamnya terdapat teks Pancasila tidak diperbolehkan untuk diganggu adalah sebuah bentuk bahwa Pancasila merupakan bentuk final yang tidak bisa diubah.
Oleh:
Muhamad Faizal
Ketua Korps Mubaligh Mahasiswa Muhammadiyah PC IMM Kota Surakarta periode 2019/2020
Mahasiswa aktif tingkat akhir Program Studi PPKn UMS
[1] https://www.youtube.com/watch?v=BC6F6Uxw1G0
[2] https://www.instagram.com/bintangemon/
[3] https://tirto.id/siapa-pengusul-ruu-hip-kenapa-itu-tak-penting-fHMp dan http://www.lensaislam.com/ramai-penolakan-bagaimana-kronologi-pembahasan-ruu-hip-dan-fraksi-pendukung-di-dpr/
[4] Baca selengkapnya di artikel “Mengapa MUI, Muhammadiyah, GP Ansor sampai FPI Tolak RUU HIP?”, https://tirto.id/fHMK
[5] Kesatuan Sila-Sila Pancasila, Kaelan, 1996
[6] Notonagoro dalam Teori Kebenaran Pancasila sebagai dasar Pengembangan Ilmu. Budisutrisna, 2006.
[7] https://www.merdeka.com/politik/pdip-setuju-pasal-7-ruu-hip-dihapus.html
[8] Draf RUU HIP Pasal 1 ayat (3)
[9] Penjelasan Draf RUU HIP Hal.37
[10] Baca selengkapnya di artikel ” Sejarah P4 di Masa Orde Baru yang Kini Akan Dihidupkan Lagi”, https://tirto.id/sejarah-p4-di-masa-orde-baru-yang-kini-akan-dihidupkan-lagi-eCDt