DIPLOMAT JENAKA PENOPANG REPUBLIK
DIPLOMAT JENAKA PENOPANG REPUBLIK[1]
Oleh: Dewi Purniawati[2]
Identitas buku
Judul : Agus Salim- Diplomat Jenaka Penopang Republik
Penulis : Tim Tempo
Penerbit : Tempo KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Jumlah hal : 178 halaman
Berawal dari menulis mengenai Soekarno dan Moh. Hatta ketika tim redaksi majalah Tempo baru tiga tahun dibentuk pasca bredel 1994. Para awak redaksi mulai mendapat petunjuk teknis tentang bagaimana membuat sebuah edisi khusus tokoh sejarah. Mengingat bahwa masa silam atau masa lalu memiliki era gilang-gemilang, dinamis, romantis, penuh pesona, dan masa kini adalah dekade yang suram. Bahkan Soekarno dianggap lebih berjasa daripada pakar internet Ono W. Purbo, Hatta dipercaya lebih punya kontribusi ketimbang Tri Mumpuni seorang ahli mikro hidro yang mengabdikan dirinya buat kemaslahatan orang miskin. Dengan kata lain, ada romantisme terhadap masa lalu.
Jika dibandingkan dengan tokoh pahlawan lainnya, sosok Agus Salim memang tak banyak yang mengenalnya. Meski pernah berkarier bersama di Sarekat Islam, nama Agus Salim masih terlalu kecil dibandingkan nama HOS Tjokroaminoto. Meski pernah bergabung dalam BPUPKI dan PPKI, nama Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Moh. Yamin, dan Soepomo msih lebih dikenal oleh masyarakat. Untuk itulah saya mencoba menilik lebih lanjut mengenai sosok Haji Agus Salim yang dikenal dengan kecerdikannya dalam berdiplomasi dan seorang pendebat yang ulung. Meski selain beliau banyak pahlawan Indonesia yang namanya belum terlalu dikenal luas.
Pada awal bab buku ini dipaparkan mengenai tapak langkah The Grand Old Man yang merupakan julukan Agus Salim, seorang diplomat yang cerdik dari Indonesia. Tokoh yang lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat pada tanggal 8 Agustus 1884 pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabiner Sjahrir yang sebelumnya menjabat sebagai penasihat Menteri Luar Negeri Achmad Soebarjo. Meski pada saat itu hanya menjabat sebagai penasihat, tetapi Agus Salim memiliki peran yang tak bisa dianggap remeh. Saat Indonesia baru merdeka, Agus Salim pernah ikut delegasi ke New York untuk membela Indonesia tatkala ada perseteruan antara Belanda-Indonesia mengenai Perjanjian Linggarjati.
Julukan The Grand Old Man yang diberikan Soekarno kepadanya bukan merupakan isapan jempol. Kiprahnya dalam berdiplomasi telah membawa Indonesia mendapat pengakuan de jure untuk Indonesia. Solichin Salam, sejarawan, mengatakan bahwa, Dia merintis jalan bagi Indonesia dalam hubungan maupun kegiatan-kegiatan dengan dunia internasional.
Peran Agus Salim dalam sejarah panjang yang dilalui oleh negara Indonesia memang tak melulu tersorot. Dalam sejarah Perjanjian Renville memang nama Amir Sjarifuddin lebih dikenal kala itu karena memimpin delegasi Indonesia dalam peristiwa di geladak kapal Renville. Peran memang lebih tersamarkan oleh tokoh-tokoh besar. Agus Salim bahkan pernah berada di pengasingan Berastagi bersama Soekarno dan Amir Sjarifuddin.
Selain berkiprah dalam urusan diplomasi, Agus Salim juga ikut berkiprah dalam Sarekat Islam atau SI. Meski dalam buku dijelaskan awal mula Agus Salim bergabung karena permintaan Belanda untuk memata-matai kegiatan SI kala itu. Tapi hal tersebut malah membuat Agus Salim kepincut untuk mengenal lebih dalam SI dan terkesan dengan Tjokroaminoto meskipun sempat mengkritik Tjokroaminoto terkait para pengikut SI yang terlalu memuja Tjokroaminoto. Agus Salim juga berperan dalam menengahi perseteruan SI putih dan SI merah di mana SI merah ini di kemudian hari berkembang menjadi PKI.
Kedekatan antara Agus Salim dan KH. Ahmad Dahlan juga dikisahkan dalam buku ini. Saya yang pernah belajar sejarah pun belum pernah mengetahui jika ada kedekatan antara Agus Salim dan KH. Ahmad Dahlan. Mereka berdua termasuk Hasyim Asyari pendiri NU pernah berguru pada satu ulama yang sama, meskipun memiliki gaya berislam yang berbeda. Dahlan terlebih dulu bergabung denga SI dan diikuti oleh Salim lima tahun kemudian. Ketika Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912 dan Salim berpisah ketika ia memimpin gerakan disiplin dalam SI, Salim memilih SI sedangkan Dahlan memilih Muhammadiyah.
Meski dikenal karena perannya dalam politik dan organisasi, buku ini juga memaparkan kehidupan pribadi Agus Salim yang dikisahkan oleh Siti Aisah alias Bibsy, anak kedelapan Agus Salim-Zainatun. Bagaimana Bibsy menggambarkan bahwa Agus Salim adalah sosok yang romantis dan bahkan mulai berwujud sebagai pengorbanan kasih untuk Zainatun.
Selain hebat dalam berpolitik dan berorganisasi, juga hebat dalam kehidupan rumah tangga. Melalui buku ini, Agus Salim telah membuktika bahwa perjalanan yang panjang dan berliku telah ia lewati hingga dikenal sebagai sosok yang cerdik dan penengah dalam setiap masalah. Meski tak melulu kehebatan Agus Salim yang dipaparkan, namun juga kekurangannya membuat sosok Agus Salim begitu humanis.
Kisah yang dikemas apik melalui alur-alur perjalanan hidup Agus Salim memang dapat dibaca oleh semua umur untuk menambah pengetahuan akan tokoh-tokoh sejarah yang namanya tidak terlalu tersohor dalam buku maupun pelajaran sejarah yang pernah dipejarai oleh kaum muda. Keteladanan dan kecerdasan dalam menghadapi masalah seputar diplomasi hendaknya bisa menjadi contoh bagi kita bahwa bisa menjadi seorang yang dikenal bukan karena keagresifannya, tetapi ketenangannya dalam menghadapi sesuatu di mana hal tersebut masih sulit kita terapkan untuk menghadapi suatu permasalahan.
[1] Tulisan ini pernah dimuat dalam Buletin Online Cadre Vol 1 Bidang RPK PC IMM Kota Surakarta periode 2016/2017. Resensi ini dibuat untuk menjadi pembedah di acara Arisan Bedah Buku yang diadakan Bidang RPK PC IMM Kota Surakarta periode 2016/2017.
[2] Bidang Hikmah PK IMM Al Ghozali Fakultas Psikologi UMS periode 2017/2018; Bidang RPK PK IMM Al Ghozali Fakultas Psikologi UMS periode 2018/2019; Anggota Divisi Riset Satuan Tugas Keilmuan PC IMM Kota Surakarta periode 2019/2020.