Artikel

SOSIALISME ISLAM: PERSINGGUNGAN ISLAM, TRADISI, DAN KOMUNISME DI MINANGKABAU

SOSIALISME ISLAM: PERSINGGUNGAN ISLAM, TRADISI,

DAN KOMUNISME DI MINANGKABAU[1]

(Pegantar Wacana Diskusi Mengenai Islam dan Sosialisme di Indonesia)

.

Syahdan, Datuk Batuah pasca kepulangannya dari Makkah bertitelkan Haji. Akhir abad 19 Masehi memang ramai dengan orang-orang yang berziarah ke Makkah. Lumrahnya para peziarah tidak hanya beribadah saja. Tetapi juga diselingi dengan belajar ilmu agama dan bertukar informasi. Informasi paling digandrungi para peziarah adalah soal gerakan-gerakan pembebasan negeri-negeri terjajah. Begitu pula halnya terhadap Datuk Batuah. Selain ilmu agama, informasi pergerakan yang digawangi penganut Islam di negeri terjajah dilahapnya.

Maka sepulangnya dari Makkah Tahun 1915, Datuk Batuah semakin berkoar. Ia bersentuhan dengan ide komunisme, paham yang lumrah bagi para pemberontak kala itu. Ia bersama rekannya Natar Zainuddin mendengar langsung pidato Misbach, si Haji Merah dari Solo tahun 1923. Slogan Misbach, sama rata sama rasa, membuatnya tergugah. Bulan Mei tahun itu, mereka pulang dan menyebarkan Islam komunisme. Sekolah modern Sumatera Thawalib yang dikelola Ayah Hamka, Haji Rasul, menjadi media awal Haji Datuk Batuah berpropoganda. Akibatnya Ia dan beberapa guru Sumatera Thawalib didepak dari sekolah itu. Namun beberapa tahun berikutnya, Minangkabau telah jadi merah.

Seperti Misbach, Datuk Batuah memahami komunisme sebagai penerjemah Islam dalam lingkup zamannya. Seperti halnya Sunni atau Syiah, bagi Datuk Batuah, komunisme hanyalah medium profan yang memanfaatkan ruang tafsir ayat-ayat dzanni pada Quran dalam mengentaskan ketertindasan. Pemahaman seperti ini jamak dianut para ulama saat itu. Hanya komunisme yang vulgar membicarakan hak-hak kaum lapar dalam kerangka materialistik. Di situ peluang kemenangan kaum lapar merupakan hasil dialektika sejarah yang dapat diraih hanya dengan perjuangan historis. Tentu ini sesuai dengan maksud dari firman Tuhan bahwa, Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum ia (kaum tersebut) merubah nasibnya sendiri.

Fakta sejarah di atas sebagai gambaran awal bagi kita tentang fungsi paham komunis. Bahwa ia (komunisme) hanyalah salah satu paradigma yang digunakan seorang ulama pemberontak Minang di antara pilihan paradigma lain. Sebagai paradigma yang khas profan, komunisme-sosialisme-liberalisme hanyalah metode-metode yang digunakan manusia dalam memahami realitas zamannya yang manusiawi. Seperti halnya Muhammadiyah-NU yang memiliki perbedaan sudut pandang dalam mengkontekskan dalil-dalil naqli atas realitas zaman, sewajarnya paradigma sosialis-komunis-liberalis- juga ditempatkan dalam posisi yang sama. Maka, atas nama kebebasan ilmiah, memperbincangkan korelasi Islam dan komunis sebagai suatu paradigma adalah hal yang lumrah.

Membicarakan gerakan Islam dan sosialisme Indonesia adalah sesuatu yang sungguh rumit. Mungkin hanya yang sekaliber Deliar Noer, Dawam Rahardjo, Gus Dur, Abdul Munir Mulkhan atau Syafii Maarif saja yang rigid membedah fenomena persinggungan Islam dan sosialisme di Indonesia. Begitu luasnya pembahasan ini, sehingga sengaja saya batasi tulisan ini sejauh korelasi antara gerakan pembaruan Islam kaum Paderi akhir abad 19 Masehi, akar komunalisme dalam tradisi masyarakat Minangkabau serta progresivitas ilmu barat yang mengantarkan sosialisme dalam logika Haji Datuk Batuah.

Akar Komunalisme Dalam Tradisi Minangkabau

Masyarakat Minangkabau memiliki sistem materilinial yang ketat, terutama dalam hal waris. Dalam sistem pewarisan, terdapat apa yang dinamakan harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi berupa benda-benda tak bergerak semisal tanah dan rumah. Harta pusaka tinggi hanya dapat diwariskan kepada anak perempuan. Anak perempuan sendiri diposisikan sebagai penjaga harta pusaka tinggi, perawat tanah dan Rumah Gadang. Harta pusaka tinggi pantang untuk dijual kecuali dalam pengecualian tertentu atas kesepakatan Klan.

Tanah yang termasuk dalam harta pusaka tinggi dapat digunakan secara komunal oleh anggota Klan lain sepanjang sesuai dengan izin Ninik-Mamak dan musyawarah adat. Ini disebut juga sebagai tanah komunal. Tanah sebagai faktor produksi utama dalam masyarakat Minangkabau yang berhak dikelola oleh anggota Klan menampakkan ide komunalisme kukuh bertahan dalam struktur masyarakat Minangkabau. Fenomena komunalisme ini menuntut adanya kesetaraan dan keterbukaan dalam membicarakan suatu hal yang berkaitan erat dengan kepentingan produksi komunal. Maka secara langsung terwujud suatu iklim demokrasi yang mengakar kuat dalam sistem masyarakat Minangkabau.

Pola komunalisme juga tercermin dalam pengambilan putusan Klan masyarakat Minangkabau. Bagi Headler, ini tercermin dalam bentuk interior maupun eksterior rumah gadang. Dalam rumah gadang, terdapat jumlah kamar yang banyak untuk ditempati sanak keluarga. Terdapat beberapa kepala keluarga yang menempati satu rumah gadang. Hanya terdapat satu dapur untuk beberapa kepala keluarga dalam satu rumah gadang. Ketiadaan individualistik dalam rumah gadang membiasakan masyarakat Minangkabau untuk selalu menjaga kerukunan dan pola komunikasi antara individu/keluarga.

Pada eksterior masyarakat Minangkabau, Gonjong atau lancip atap rumah gadang memiliki nilai filosofis yang sarat makna. Nagari atau desa patuh terhadap putusan Datuk sebagai kepala pemerintahan Nagari. Datuk sendiri tunduk pada musyawarah adat komunitas Klan. Kesemuanya berdasar pada Kitabullah (Quran). Pemerintahan, baik pusat maupun desa (Nagari) tunduk secara de facto dan de jure pada musyawarah. Iklim demokratis juga terlihat pada bentuk lantai rumah seorang Datuk yang tidak bertingkat sebagaimana umumnya pada rumah seorang pembesar masyarakat. Dalam setiap musyawarah adat, Datuk atau kepala suku berkedudukan sejajar dengan anggota suku.

Kedatangan Islam pada medium 1500-an tidak menunjukan pertentangan yang kuat antara adat dan Islam. Pengalaman kompromistis masyarakat Minangkabau atas masuknya nilai baru telah mendidik masyarakat dalam mengelola konflik. Norma adat dan Islam didudukan dalam timbangan praksis masyarakat. Perlahan keduanya menjadi semacam Living Law bagi masyarakat Minangkabau. Kelak, keharmonisan ini mendapat tantangan dari kaum Paderi yang berparadigma Wahabisme.

Paderi dan Surau Jembatan Besi; Modernisasi awal Nusantara

Seperti dikemukakan di awal, Makkah adalah ajang pertukaran informasi pergerakan. Abad 19 Masehi adalah abad kebangkitan negeri-negeri muslim terjajah dalam memberontak. Paham Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afghan menjadi gaung reformasi dalam dunia Islam. Persatuan rakyat Islam menjadi kekuatan awal rakyat Islam dalam pemerdekaan diri. Berturut-turut muncul pemikir-pemikir modernis dalam dunia Islam. Muhammad Abduh, Abul Ala al-Maududi hingga Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah segerombol pemikir modernis Islam. Nama yang disebut terakhir adalah putra asli Minangkabau yang menjadi Imam Masjid Haram Makkah dan kelak menjadi guru bagi Hasyim Asyari dan Ahmad Dahlan.

Tahun 1803, tiga orang haji pulang dari Makkah. Bersama lima orang ulama setempat, mereka menggagas gerakan dakwah paderi. Mereka kemudian dikenal sebagai Harimau Nan Salapan, harimau yang delapan. Kedelapan ulama ini belum cukup progres, hingga Tuanku Imam Bondjol bergabung dalam gerakan tersebut dan melakukan banyak penaklukan. Wilayah ekspedisinya terbentang dari Riau hingga Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Perang Paderi sendiri akhirnya reda setelah diadakan perjanjian Marapalam pada 1920-an. Perjanjian ini merupakan kompromistis kaum adat dan kaum Paderi sehingga muncul prinsip Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Kepaduan adat dan agama berlangsung hingga perang terhadap Belanda usai. Kepaduan itu membangun karakteristik masyarakat Minang yang terendap dalam etika pergaulan keseharian. Pola kompromistis ini melahirkan suatu pandangan kritis tersendiri dari generasi muda Minangkabau. Pada 1914, lahir Surau Jembatan Besi yang digawangi oleh Haji Rasul, Ayah Hamka. Sekolah ini mengajarkan motode pendidikan modern yang memadukan ilmu agama dan ilmu barat. Surau Jembatan Besi menjadi ajang anak-anak muda Minangkabau dalam mengkritisi kedua norma masyarakat, norma adat dan agama. Di sekolah ini bibit-bibit perlawanan terhadap kolonial tumbuh subur. Salah satu murid progresif adalah Datuk Batuah.

Kesimpulan Sementara

Suatu ideologi hanya dapat tumbuh subur di lingkungan masyarakat yang memiliki latar kondisi yang sedikit banyak menunjukan kesamaan dasar dengan ideologi tersebut. Ide sosialisme memiliki akar yang kuat di masyarakat Indonesia. Seperti Samin di Blora, komunitas adat Minangkabau memiliki tradisi komunalisme yang memandang tanah sebagai faktor produksi utama yang dapat dikelola anggota Klan. Komunalisme ini tidak dapat dihapus dengan kedatangan Wahabisme, tetapi justru dikompromikan menjadi suatu kesatuan norma yang khas.

Di sinilah akar sosialisme Islam ditemukan. Gerakan wahabisme yang sedikit banyak bertitik tolak pada rasionalitas dan menolak segala bentuk pemberhalaan menjadi suatu gaya pandang baru kaum muda Minangkabau dalam mengkritisi setiap sistem mapan. Akibat pergaulan dengan modernitas bangsa barat khususnya ide sosialisme, pergerakan orang Minangkabau berubah wujud dari yang awalnya lokal menjadi teritorial. Muslim Minangkabau menemukan ekspresi perlawanan yang continue dan simultan melalui sosialisme. Sosialisme ilmiah bukan sosialisme utopis menyediakan alat analisa yang materialis. Ini sesuai dengan tradisi berpikir kritis-analitis masyarakat Minangkabau yang telah terbangun sejak pertengahan abad 19 Masehi. Maka tidak salah jika sosialisme Islam tumbuh subur dalam tradisi pergerakan rakyat Nusantara.

Penulis:

Binsar Siregar[2]

Ketua Umum PK IMM Moh. Hata FEB UMS periode 2013-2014

Ketua Bidang Hikmah PC IMM Kota Surakarta periode 2015-2016

 

[1] Tulisan ini pertama kali disampaikan pada diskusi komunitas Sarekat Ilmu.

[2] Penulis kini berdomisili di Desa Sumogawe, Getasan, Kabupaten Semarang.

 

Bibliotik:

Audrey Kahin. Perjuangan Kemerdekaan; Sumatera Barat Dalam Revolusi Nasional Indonesia 1945-1950. Padang: Kerjasama MSI Sumbar-CTP-Pelajar Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia.

Deliar Noer. 1988. Gerakan Moderen Islam di Indonesia; 1900-1942. Jakarta: Pustaka LP3S

Hamka. 1949. Revolusi Agama. Djakarta: Pustaka Antara

M.C. Ricklefs. 2003. Sejarah Indonesia Modern; 1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta

Jeffrey Hadler. 2008. Sengketa Tiada Putus; Matriarkat, Reformasi Agama, dan Kolonialisme di Minangkabau. Jakarta: Freedom Institue

 

Nb: Tulisan lain dapat diakses di Beranda