REFLEKSI (LAGI)
Bahkan saya dapat menjamin, seumpama DPP IMM Macet, DPD dan DPCnya rapuh, maka IMM di kampus-kampus akan berjalan terus. Mereka mempunya kelompok kajian untuk ilmu tertentu, mereka mempunyai kelompok belajar untuk program studi tertentu dan mereka mempunyai kegiatan khas yang menunjang pelaksanaan studinya di Perguruan Tinggi.
[Drs. Mohammad Djazman Al Kindi]
Kutipan harapan pak Djazman di atas saya temukan dalam tulisan beliau berjudul Bukan Organisasi Hura-Hura (tulisan terdapat dalam buku Ilmu Amaliah Amal Ilmiah). Eksplisit dalam judulnya. Cukup bagi kita untuk dijadikan sebagai refleksi bersama. Lagi-lagi refleksi. Namun masihkah refleksi yang seremoni dan kering arti? Masih jadi pertanyaan saya, kala berefleksi, acuan ideal macam apa yang jadi pegangan? Pak Djazman, rektor UMS pertama, telah banyak menelurkan gagasan-gagasan perkaderan bagi Muhammadiyah, terkhusus bagi IMM yang terkenal sebagai anak yang cukup nakal, karena beliau adalah salah satu kader yang dimandatkan oleh PP Muhammadiyah untuk membentuk IMM.
Agaknya kalau kita mencermati harapan beliau terhadap IMM, bukan acara hura-hura lah yang beliau dan kawan-kawan harapkan. Seoalah-olah bekerja dengan semboyan rame ing gawe, sepi ing pamrih itulah yang jadi semangat perkaderan IMM. Organisasi kader adalah tujuan founding father IMM, sebagai usaha meneruskan estafet kepemimpinan ikatan, persyarikatan, dan kebangsaan. IMM bukanlah organisasi hura-hura, yang artinya agenda-agenda yang diselenggarakan oleh IMM di setiap level kepemimpinan bukanlah sekedar seremoni semata, seperti momen milad IMM yang setiap tahun kita peringati dengan berbagai macam agenda-agenda yang ada.
IMM yang merupakan sebuah ide masa depan, menurut pak Djazman dalam tulisan tersebut, adalah juga merupakan organisasi ide sekaligus organisasi pelaksana ide. Ide, sebagai basis gerakan IMM atau dalam bahasa 6 penegasan poin 5, menegaskan bahwa ilmu adalah amal dan amal adalah ilmiah[1], yang artinya setiap gerak ikatan harus berdasarkan ilmu. Teramat banyak forum-forum akademis yang diselenggarakan setiap level kepemimpinan, terlebih lagi komisariat sebagai tataran kepemimpinan paling dasar (saya sekarang segan untuk menyebut paling bawah, untuk menghindari mindset paling bawah itu tidak berdaya dan tidak mampu menentukan arah gerak IMM) dalam melakukan proses perkaderan atau terkadang disebut juga grassroot (akar rumput).
IMMawati Sobiatun[2], dalam tulisannya[3], menyoroti kader IMM terindikasi merosot dalam hal intelektualitas. Tulisan tersebut berlatar belakang ketika usia ikatan ini dua tahun lebih muda ketimbang sekarang. Pengamatan ini terungkap, kata beliau, di lingkungan sekitar penulis. Tradisi diskusi, membaca buku, kini sudah tidak menjadi baian dari aktivitas harian, seperti halnya makan, mandi. Membaca dan diskusi luntur dari akhlak. Membaca dan diskusi sekarang menjadi sesuatu yang diagendakan khusus seperti program kerja lainnya. Jadi, tradisi intelektualitas tida menjadi sesuatu yang spontanitas, tetapi perlu waktu yang disediakan dan perlu diingatkan.
Sekilas membaca penggalan tulisan tersebut, saya sebagai pelaku di bidang keilmuan merasa tertampar seketika. Hal itu adalah benar adanya, sejauh pengamatan pribadi. Kembali, mari kita refleksikan tradisi-tradisi intelektualitas kita. Tegakah kita berkhianat pada salah satu TKD yang sudah kita terima sedari kita DAD? Sejalan dengan harapan pak Djazman, bahwa tidak seharusnya agenda-agenda IMM adalah agenda hura-hura dan wah.
Mohammad Isnan[4] lewat tulisan Kembali Pada Khittah IMM[5] kader dalam IMM dititikberatkan untuk mengembangkan potensi intelektual, hal ini sejalan dengan tri kompetensi dasar IMM yaitu religiusitas, intelektualitas, dan humanitas.
Indikasi dari IMMawati Sobiatun dengan konteks waktu usia IMM yang masih 53 tahun kala itu, agaknya berbanding lurus dengan semakin wahnya dan semakin hura-huranya agenda-agenda ikatan. Hal yang demikian justru berbanding terbalik dengan harapan pak Djazman dalam tulisannya. Revitalisasi tradisi intelektualitas ikatan, menjadi agenda urgent, sebagai modal awal menempa diri dalam pawon, yang bara apinya harus terus menyala, sebagai syarat matangnya bahan makanan yang sedang dimasak di atasnya.
Revitalisasi ini dalah suatu keniscayaan, sebagai bekal menghadapi zaman di mana kita berada di lingkungan yang membusuk secara spiritual-intelektual[6], kata buya Syafii. Bekal sekaligus tempaan keras akan membentuk pribadi-pribadi yang siap berkompetisi di dunia nyata yang sebenarnya. Tradisi intelektualitas berupa membaca (teks juga konteks), menulis, dan berdiskusi akan membentuk kepakaran dari setiap kader yang berproses dengan kesungguhan di dalamnya.
Berbicara mengenai kepakaran, Tom Nichols secara apik memaparkannya dalam buku The Death of Expetise (Matinya Kepakaran). Kepakaran inilah yang menjadi kunci untuk bersaing dalam mengarungi hidup setelah wisuda dari tempaan di IMM. Kepakaran dalam satu atau lebih bidang keilmuan, menjadi nilai lebih bagi kader IMM ketika masih di struktural dan masih menjadi mahasiswa maupun ketika sudah beranjak dari almamaternya.
Mari kita tengok lagi, paragraf kedua tulisan pak Djazman yang menyatakan bahwa para pendiri IMM sejak awal sudah ada kesepakatan untuk menjadikannya sebagai organisasi kader. Tanda bahwa proses perkaderan dalam tubuh ikatan adalah suatu keharusan yang tidak bisa dihindari, formal atau nonformal adalah pilihan yang mestinya disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Organisasi yang tidak (semata) berdasarkan massa (kuantitas) namun juga kualitas kader, dibentuk seperti apa dan akan dijadikan apa, adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh proses perkaderan dengan tradisi intelektualitas tentunya.
Berbicara mengenai intelektualitas, sebagaimana kata buya Syafii, adalah kerja seumur hidup, yang kadang tidak selesai dan tidak tuntas seiring selesainya waktu hidup kita. Berbicara intelektualitas, berarti kita melampaui sekedar wacana-wacana yang diagung-agungkan dan belum tentu juga lahir wujud nyatanya. Maka, wacana mestilah diwujudkan menjadi wahana. Buku kumpulan, modul pengembangan intelektual kader, adalah dua di antara segelintir produk intelektual yang ditelurkan oleh kader-kader IMM Cabang Kota Surakarta.
Maka, berbicara mengenai tradisi intelektualitas Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah berbicara tentang wacana dan wahana. Mari mewahanakan wacana, bukan malah justru mewacanakan wahana. Mari bergerak dari teks ke konteks.
oleh:
Muhammad Afriansyah
(Anggota Bidang RPK PC IMM Kota Surakarta 2019/2020)
catatan kaki:
[1] Sistem Perkaderan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, DPP IMM 2011 hal X.
[2] Anggota bidang keilmuan (2013/2014) & bidang IMMawati (2014/2015) PC IMM Kota Surakarta
[3] Tulisan tersebut berjudul Menyoal Intelektualitas IMM, Jejak Literer, hal 248, SunHouse Digital, 2019
[4] Ketua Umum PK IMM Averroes Fakultas Teknik UMS, periode 2014/2015, Ketua Korkom IMM UMS periode 2015/2016
[5] Terdapat dalam buku Jejak Literer, 2019, SunHouse Digital hal. 265.
[6] Kerja Intelektual adalah Kerja Seumur Hidup (Ahmad Syafii Maarif), dalam Prolog buku Tri Kompetensi Dasar, Peneguhan Jatidiri Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, DPP IMM hal. Ix tahun 2007.