Artikel

MEMBACA RISET ( bagian 2 )

Pada tulisan Membaca Riset (1) kita telah membicarakan tentang sejarah lahirnya Bidang Riset dan beberapa dinamika yang melatarbelakanginya. Kesempatan kali ini, penulis hendak membicarakan faktor-faktor yang secara khusus berkemungkinan mempengaruhi gerakan riset IMM Cabang Kota Surakarta. Beberapa asumsi yang bisa penulis ajukan adalah sebagaimana berikut:

1. Metodologi
Berbeda dengan tulisan-tulisan yang bergaya bebas, riset memerlukan sebuah metodologi. Metodologi ini diperlukan bagi seorang peneliti guna memecahkan suatu masalah yang sedang ia teliti. Selain itu kekuatan argumentasi seorang peneliti dalam menyelesaikan masalah, juga dapat tercermin dari metodologi riset yang ia gunakan. Selama metodologinya jelas dan ketat, maka argumentasi peneliti itu kecil kemungkinan untuk dapat dibantah. Bangunan metodologi inilah yang kemudian membuat sebuah tulisan dapat dikelompokkan menjadi karya ilmiah, baik itu dalam bentuk jurnal, skripsi, tesis, disertasi, atau jenis karya ilmiah lain.

Karena sifatnya yang ilmiah, maka sebuah riset juga memerlukan pondasi keilmuan yang jelas. Misalnya saja sama-sama meneliti tentang Omnibus Law, pendekatan Ilmu Hukum dan Ilmu Politik tentu akan berbeda. Ilmu Hukum mungkin akan bicara dalam sudut pandang hukum perpajakan, niaga, pidana, perdata, dan lain-lain. Sementara Ilmu Politik mungkin akan banyak berbicara tentang relasi kuasa dan sebagainya. Ilmu-ilmu yang ada itu tumbuh dan berkembang selama berabad-abad hingga sekarang, melalui proses perenungan yang mendalam (baca: filsafat), serta seiring dengan berjalannya waktu mungkin ke depan akan muncul ilmu-ilmu baru lainnya. Sampai di sini bisa kita amati bahwa dengan pondasi keilmuan yang berbeda, maka metodologi yang digunakan pun juga berbeda.

Kita tau bahwa IMM sebagai sebuah organisasi, memantapkan dirinya sebagai gerakan ilmu, namun sudah barang tentu IMM bukanlah ilmu itu sendiri. Karenanya, IMM tak bisa dijadikan sebagai pisau analisis pemecahan masalah. Meski begitu, IMM sangat berkemungkinan untuk menjadi subjek dan/atau objek penelitian. Kalau IMM hendak menjadi subjek penelitian (baca: peneliti), maka pertanyaan selanjutnya adalah dalam sudut pandang keilmuan yang bagaimana IMM hendak meneliti? Sementara kita ketahui, sumber daya kader IMM memiliki konsentrasi disiplin ilmu yang beragam.

Berangkat dari pertanyaan ini, maka IMM perlu menentukan kerangka keilmuannya terlebih dahulu sebelum akhirnya hendak meneliti. Kerangka keilmuan inilah yang kemudian dapat dijadikan sebagai pisau analisis IMM dalam menyelesaikan masalah. Pada poin ini, penulis justru melihat keragaman disiplin keilmuan kader IMM itu sebagai sebuah potensi, dengan begitu maka IMM akan dapat melihat sebuah fenomena dari berbagai sisi. Oleh karenanya, koneksi antara kehidupan berorganisasi di IMM dan studi akademik kader perlu diwujudkan untuk memulai sebuah riset.

Sedikit bercerita tentang pengalaman penulis ketika menempuh studi di Ilmu Pemerintahan UMY. Semester 2 kemarin, penulis menempuh mata kuliah Metodologi Ilmu Pemerintahan dan pada semester ini penulis sedang menempuh mata kuliah Metode Penelitian Sosial. Mata kuliah ini sangat penting bagi seorang peneliti, begitu pentingnya hingga mahasiswa Strata 2 dan Strata 3 pun pasti akan mengulang mata kuliah ini lagi, tentu dengan lingkup kajian yang lebih spesifik. Namun pada kedua mata kuliah ini, penulis justru merasa keheranan.
Keheranan penulis itu dikarenakan dosen yang mengajak mahasiswa untuk mempertanyakan kembali, apakah Ilmu Pemerintahan telah layak disebut sebagai ilmu (Government Science)? Ataukah Pemerintahan hanya layak disebut sebagai Studi Pemerintahan yang merupakan bagian dari Ilmu Politik (Governmental Studies)? Sontak mahasiswa menjadi kurang begitu yakin dengan pilihan studinya ini. Kata Ilmu di depan kata Pemerintahan itu mempunyai implikasi yang sangat luas terhadap bangunan filsafat termasuk metodologinya.

Beberapa kampus besar di Indonesia, telah mengakui studi Pemerintahan sebagai ilmu, sebut saja UNDIP, UNPAD, UB (Universitas Brawijaya), termasuk UMY, karenanya di kampus-kampus ini terdapat jurusan Ilmu Pemerintahan. Tetapi beberapa kampus besar seperti UNAIR, UI, dan UGM belum mau mengakui studi Pemerintahan sebagai ilmu, karenanya kita hanya akan temui jurusan Ilmu Politik di kampus-kampus ini. Meski begitu, UGM sedikit lebih unik karena memadukan Ilmu Politik dan Pemerintahan menjadi sebuah jurusan yakni jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan (baca: politik sebagai ilmu dan pemerintahan sebagai studi).

Pengalaman di atas, membawa rasa penasaran penulis tentang sejak kapan mahasiswa di Surakarta memperoleh mata kuliah Metode Penelitian atau yang sejenis dan mengerti ruang lingkup kajian studi mereka dari mata kuliah ini. Akhirnya penulis mencoba mencari tahu dengan mengakses kurikulum di website resmi masing-masing kampus. Sayangnya penulis tidak mendapatkan kurikulum ITS PKU Muhammadiyah dan STIKES Aisyiyah Surakarta. Adapun untuk UNS, hanya beberapa jurusan saja yang dapat diakses penulis. Sementara di UMS, penulis berhasil mendapatkan kurikulum terbaru yakni 2019-2020.

UMS memiliki 32 program studi Strata 1, dan di antaranya terdapat 3 program studi yang kurikulumnya tidak dapat diakses oleh penulis, yakni Teknik Sipil, Teknik Elektro, dan Kedokteran Gigi. Jadi di antara ke-32 program studi tersebut, penulis hanya mendapatkan kurikulum ke-29 program studi. Dari kurikulum tersebut, diperoleh data sebanyak 13 program studi (45%) menyelenggarakan mata kuliah Metode Penelitian pada Semester 5, 10 program studi (35%) pada Semester 6, 3 program studi (10%) pada Semester 4, 2 program studi (7%) pada Semester 7, dan 1 program studi (3%) pada Semester 3.

Sesuai data di atas, berarti mata kuliah Metode Penelitian dilaksanakan oleh 87% program studi di UMS pada Semester 5, 6, dan 7. Asumsi penulis, mungkin inilah yang menjadi faktor kenapa riset Komisariat IMM di UMS belum berjalan sebagaimana kegelisahan Afriansyah. Kader belum dapat merealisasikan ide dalam bentuk riset, karena Kader belum memperoleh (mungkin juga belum paham) metodologi riset bagaimana yang sesuai dengan disiplin ilmu mereka masing-masing.

Sampai di sini, terang sudah kiranya peran IMM dalam mendorong gerakan riset Kader. Baik Pimpinan Cabang maupun Pimpinan Komisariat, dapat mengadakan kajian Metode Penelitian. Jika IMM Cabang Kota Surakarta menghendaki ada output riset saat Kader masih di Komisariat, maka waktu ideal untuk mengadakan kajian Metode Penelitian adalah berselang saat Kader menginjak Semester 3 dan atau 4. Jangan lupa pula, data kurikulum UNS, ITS PKU, STIKES Aisyiyah juga perlu ditambahkan, serta perlu ada pemetaan antara Kader yang menempuh Strata 1 dan Diploma.

Mungkin pokok bahasan kajian Metode Penelitian ini bisa sangat luas, sehingga dapat diagendakan secara bertahap. Barangkali kajian ini bisa dimulai dari membedah kerangka filosofis studi mereka masing-masing, mulai dari ontologi, epistemologi, hingga aksiologi. Setelahnya, kajian bisa dilanjutkan hingga ke tahap yang lebih teknis seperti soal pengumpulan data pada penelitian berbasis kualitatif, kuantitatif, campuran, fenomenologi, etnografi, big data, dan sebagainya.

IMM dapat mengundang salah satu dosen dari disiplin ilmu mereka masing-masing sebagai fasilitator kajian. Kalau perlu, sediakan juga pembimbing riset. Pada akhir kajian, Kader dapat didorong untuk membuat proposal tugas akhir, paper ilmiah yang diseminarkan, dan atau jurnal (syukur jika Kader dapat meneruskan hingga selesai penelitian).

2. Output Riset/Publikasi
Setelah seseorang melakukan riset, tentu ada proses lebih lanjut yang harus dilalui, yakni publikasi. Tanpa adanya publikasi, nilai kebermanfaatan riset tak akan banyak dinikmati. Selain itu, publikasi ini juga penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Pertanyaan sederhana yang bisa diajukan dalam problem riset IMM ini adalah apakah IMM Cabang Kota Surakarta telah memiliki media publikasi riset untuk menampung hasil-hasil riset Kader? Jika sudah, berarti tinggal mendorong aktivitas riset Kader saja. Tetapi jika belum, pertanyaan berikutnya adalah kapan IMM Cabang Kota Surakarta akan membuat media publikasi riset? Pertanyaan ini sebenarnya juga dapat diajukan untuk DPP IMM, DPD IMM, PCI IMM, Korkom, dan Komisariat.

Jika IMM Cabang Kota Surakarta hendak membuat media publikasi riset, barangkali IMM Cabang Kota Surakarta dapat membuat Jurnal berkala layaknya lembaga-lembaga riset, misalnya setiap 6 bulan sekali. Lalu bagaimana cara membuat dan mengelolanya? Undang saja pengelola salah satu lembaga riset untuk memberikan materi pengelolaan Jurnal Ilmiah.

Andaikan terlalu berat untuk mengelola Jurnal Ilmiah, mungkin IMM Cabang Kota Surakarta dapat mengadakan Call for Paper atau Prosiding Seminar. Cara inilah yang ditempuh oleh ormawa-ormawa FKIP UMS. Setiap bulan Mei pada setiap tahunnya, ormawa FKIP UMS mengadakan PIMPEL (Pekan Ilmiah Mahasiswa dan Pelajar) jika belum ada pergantian.

Mereka mengadakan PIMPEL sebagai upaya memperingati Hari Pendidikan Nasional. Banyak alumni IMM Komisariat FKIP UMS yang skripsinya tidak dipublikasikan oleh Perpustakaan UMS, melainkan oleh HMP-HMP di FKIP UMS melalui Prosiding Seminar. Publikasi mereka telah memiliki ISSN dari LIPI dan termuat di SINTA. Lalu bagaimana cara membuat Prosiding Seminar? Undang saja salah satu pengurus HMP untuk memberikan materi pengelolaan Prosiding Seminar.

Selain itu, tanpa mengelola sebuah Jurnal Ilmiah dan Prosiding Seminar yang dianggap terlalu berat, sebenarnya ada alternatif lain bagi IMM. Alternatif lain tersebut adalah publikasi ke Jurnal Ilmiah yang dikelola oleh lembaga riset dan/atau orang lain. Hal ini relatif lebih mudah, IMM tak perlu ribet mengurus pengelolaan Jurnal Ilmiah atau Prosiding Seminar, hanya cukup melakukan riset saja.

Kemudahan itu juga didukung oleh keberadaan Jurnal-jurnal Ilmiah yang dikelola oleh setiap kampus. Nampaknya Tri Dharma Perguruan Tinggi (yang salah satunya adalah bidang penelitian) itu, membuat semua program studi harus memiliki media publikasi ilmiah sendiri-sendiri. Besar kemungkinan, setiap program studi di Surakarta mengelola Jurnal Ilmiahnya sendiri.

Oleh karenanya, setiap Komisariat IMM perlu punya informasi, kapan Jurnal Ilmiah di program studi dan atau di kampusnya terbit, apa saja yang perlu dipersiapkan, dan lain-lain. Lalu bagaimana dengan Pimpinan Cabang? Ya berarti minimal punya data media publikasi ilmiah kampus dan lembaga riset se-Surakarta. Ini juga berlaku untuk Call for Paper atau yang sejenis.

Seiring dengan berjalannya waktu, sebenarnya publikasi riset tidak harus melulu memanfaatkan media jurnal-jurnal penelitian. Munculnya Revolusi Industri 4.0 di awal tahun 1990an telah banyak merubah wajah dunia, dari First Media Age menuju Second Media Age, sebagaimana kata Mark Poster (1995) dalam bukunya The Second Media Age. Studi kasus di Indonesia, akan lebih mudah rasanya jika kita melihat bagaimana proses pers sepertitirto.iddan Watchdoc dalam mengolah risetnya ke dalam produk jurnalisme (jurnalisme ini kemudian dikenal sebagai Jurnalisme Presisi). Mereka kemudian menumpahkan hasil riset dan produk jurnalismenya itu ke dalam second media, sepertitirto.idmelalui situs website, dan Watchdoc dengan videonya melalui platform YouTube. Tentu kita melihat bagaimana keduanya telah banyak berpengaruh terhadap wacana-wacana publik beberapa tahun belakangan ini. Misalnya saja kita melakukan kunjungan ke kantortirto.iddi Jakarta dan atau Yogyakarta, tentu kita akan disajikan berbagai data daritirto.idhanya untuk menjelaskan 1 artikelnya. Bahkan secara khusus,tirto.idjuga mencantumkan laman Metodologi Riset di situsnya. Watchdoc pun demikian, mereka melakukan Ekspedisi Indonesia Biru selama 1 tahun dari 1 Januari 2015 – 31 Desember 2015 hanya untuk keliling Indonesia dan mengumpulkan berbagai data, dari ekspedisi tersebut terciptalah belasan video dokumenter. Nampaknya IMM juga perlu belajar dari keduanya tentang riset. Pada tanggal 28 Februari 2018,tirto.idpernah menyelenggarakan #KelasTirto2018 bertempat di Ruang Seminar FEB UMS bekerjasama dengan LPM Pabelan UMS, LPM Figur FKIP UMS, dan PPMI Dewan Kota Surakarta

3. Jejaring Riset
Selain metodologi dan publikasi, penting kiranya IMM Cabang Kota Surakarta merawat jejaring risetnya. Kader dan alumni IMM Cabang Kota Surakarta yang hasil penelitiannya (baik itu skripsi, tesis, disertasi, dan lain-lain) terbit dalam Jurnal-jurnal Ilmiah dan atau forum-forum ilmiah, sesekali penting untuk diajak berbagai pengalamannya saat melakukan riset. Barangkali juga ada alumni IMM yang mengelola sebuah Jurnal Ilmiah, penting kiranya untuk diajak berbagai informasi.

Itulah beberapa pendapat penulis terhadap kegelisahan Afriansyah. Semoga gerakan riset IMM Cabang Kota Surakarta makin bertumbuh dan semoga tulisan ini mampu membuat kegelisahan-kegelisahan baru lainnya. Wallahu a’lam.

 

Oleh:

Mahfudh Ali Haidar

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah