PROBLEM RISET BIDANG RISET
Era sekarang, yang disebut-sebut sebagai zaman instan, bahkan ada istilah literasi instan, barangkali riset[1] sudah menjadi barang mahal yang mungkin sudah tidak lagi diminati kalangan akademisi, terkecuali riset dalam bentuk PKM yang dijanjikan mendapat pendanaan jika lolos seleksi. Walaupun bukan merupakan standar utama yang menentukan strata intelektual di kalangan akademisi, namun riset dalam bentuk PKM ini sekarang menjadi suatu hal yang wajib di kalangan akademisi, terutama bagi mahasiswa. Penulis di sini tidak akan membahas lebih dalam tentang PKM yang cakupannya luas di kalangan mahasiswa, namun yang akan dibahas adalah riset di kalangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai salah satu ortom Muhammadiyah.
IMM sebagai salah satu ortom Muhammadiyah yang bergerak di kalangan akademisi kampus mengemban dakwah yang strategis karena di golongan masyarakat inilah, harapan perubahan bertumpu padanya. Karena ranah geraknya adalah di kalangan akademisi, maka medan juang dan cara juangnya juga harus sesuai dengan ranahnya, yaitu ranah intelektual. Selain gerakan berbasis masa mahasiswa dan rakyat, gerakan IMM juga mesti bernapaskan intelektual, salah satunya gerakan literasi melalui riset dan tulisan, yang menjadi ladang dakwah bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan.
Sesuai dengan namanya, riset merupakan salah satu aspek utama dan penting di dalam bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan khususnya dan di dalam tubuh IMM itu sendiri. Di dalam sasaran khusus pelaksanaan bidang RPK pada Garis-Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) IMM periode 2014-2016 Bab III Pola Umum Kebijakan Jangka Panjang[2] disebutkan bahwa bidang RPK diarahkan pada penguatan basis metodologi riset dan pengembangan sinergisitas keilmuan kader di semua disiplin ilmu. Pada GBHO IMM periode 2014-2016 Bab IV Kebijakan IMM Periode Muktamar XVI[3] disebutkan bahwa Uraian Kebijakan Program Bidang RPK salah satunya menyebutkan, menguatkan kapasitas metodologi riset dan pengembangan keilmuan. Dari sumber data organik IMM tersebut sudah menjelaskan secara gamblang bahwa riset merupakan poin penting dalam pengembangan keilmuan itu sendiri.
Dalam tulisan ini, penulis tidak akan mengkritik dan menggurui bagaimana dan seperti apa riset yang baik dan benar, namun penulis hanya ingin menyoroti poin riset yang ada di IMM Komisariat FKIP selama penulis menjadi kader IMM sampai sekarang dan penulis akan sedikit bercerita tentang pengalaman pribadi selama menjadi Ketua Bidang RPK PK IMM FKIP UMS periode 2016-2017. Riset yang selalu dibawa oleh bidang RPK nyatanya di tataran Komisariat, terlebih IMM FKIP masih sekedar wacana. Gerakan literasi yang diusahakan oleh komisariat baru sampai pada aspek membaca dan berdiskusi, terlepas dari masif atau tidak, dua aspek itu masih menjadi acuan yang paling sering dipakai untuk mengukur keilmuan kader IMM. Aspek tulisan belum menjadi pilihan utama, karena dipungkiri atau tidak menulis memang membutuhkan keahlian khusus.
Menulis yang penulis maksud di sini adalah menulis untuk menghasilkan tulisan yang berbobot, tidak hanya sekedar menulis diary namun tulisan yang mencerminkan aspek kritis mahasiswa sebagai agent of change. Tulisan bisa berupa opini, resensi buku, artikel, dan esai. Dalam penulisan resensi, artikel, esai, bahkan opini yang berisi pendapat pribadi tentang suatu masalah perspektif penulis opini, tetap memerlukan mini riset untuk menemukan data yang nantinya bisa mendukung tulisan yang akan dibuat. Riset dalam hal ini mempunyai pengertian bahwa tidak hanya secara individu saja yang bisa melakukan riset, namun secara organisasi dalam hal ini IMM dapat pula melakukan riset melalui bidang RPK, bidang yang bergerak di ranah keilmuan sebagai langkah upaya untuk mengembangkan keilmuan.
Maka dari itu, bidang RPK mestinya menjadi penggerak utama dalam riset atau paling tidak memfasilitasi kader-kader yang ada di dalamnya untuk riset. Selama ini riset di kalangan mahasiswa masih berkutat pada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang difasilitasi pihak kampus dan nantinya jika lolos akan didanai. Adanya bidang RPK bisa menjadi fasilitas yang harusnya bisa dikelola dan dimanfaatkan untuk kader-kader IMM. Cara ini bisa dilakukan dengan membentuk LSO di bawah bidang RPK yang ranah geraknya khusus di bidang riset, misalnya membentuk tim riset yang menjadi wadah kader-kader yang berminat di bidang riset atau menjadi semacam pelatihan bagi kader-kader secara umum.
Setelah berbicara tentang riset, maka akan timbul pertanyaan, siapa yang akan melaksanakan riset tersebut? Komisariat atau Cabang? Atau bahkan DPD hingga DPP? Riset seperti apa yang akan dilaksanakan oleh bidang RPK dan objek apa yang akan dijadikan bahan riset? Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang bisa kita jadikan refleksi bersama dalam membangun riset bagi IMM, terkhusus IMM Cabang Surakarta. Pimpinan Cabang IMM Surakarta periode 2016/2017 pernah mengeluarkan suatu tim yang bernama tim riset yang diharapkan menjadi wadah riset dan hal-hal yang berkaitan dengan riset bagi kader-kader IMM Surakarta. Sebenarnya itu bisa menjadi angin segar bagi penanaman dan pengembangan riset yang ada pada IMM Cabang Surakarta.
Tidak dapat dipungkiri jika kita berbicara riset, maka akan timbul pertanyaan, apa yang akan kita riset atau apa objek riset? Tidak perlu jauh-jauh untuk mengambil sampel sebagai objek riset, IMM sebagai ortom yang bergerak di ranah keagamaan, kemahasiswaan, dan kemasyarakatan sebagaimana yang tercantum di trilogi IMM, objek riset IMM bisa kita ambil dari salah satu atau bahkan semua komponen dari trilogi. Misalnya, riset mengenai seberapa besar pengetahuan mahasiswa PTM terhadap keberadaan ortom-ortom yang ada di kampus, yaitu IMM, Tapak Suci, dan Hizbul Wathan dan terhadap manfaat atau kontribusi yang sudah dirasakan oleh mahasiswa PTM. Tema-tema sederhana yang bisa diambil dalam riset, yang nantinya bisa dijadikan bahan pembelajaran.
Demikian tulisan ini penulis buat untuk refleksi kita bersama sebagai kader IMM, kader Muhammadiyah, dan sekaligus aktor dalam perjalanan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah masa kini. Paulo Freire mengatakan dalam bahwa manusia sempurna adalah manusia sebagai subyek. Sebaliknya, manusia yang hanya beradaptasi adalah manusia sebagai obyek. Adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang menyesuaikan diri karena ia tidak mampu mengubah realitas. Menyesuaikan diri adalah ciri khas tingkah laku binatang, yang bila diperlihatkan oleh manusia akan merupakan gejala dehumanisasi[4]. Semoga dengan adanya tulisan ini, penulis mengharapkan munculnya kegelisahan di antara kader-kader IMM, terkhusus di IMM Cabang Surakarta dan IMM Komisariat FKIP UMS, tempat penulis ditempa. Agar nantinya, riset tidak sekedar mengusik nalar kader-kader IMM sebagai wacana di dunia ide, namun juga terwujud menjadi wahana di dalam dunia realita, karena realita adalah dunia dan lingkungan yang kini sedang kita hadapi dengan segala keindahan dan kebobrokannya, bukan ide yang selalu mengawang-awang.
[1] Menurut KBBI V luar jaringan (luring/offline), riset merupakan penyelidikan (penelitian) suatu masalah scara bersistem, kritis, dan ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapatkan fakta yang baru, atau melakukan penafsiran yang lebih baik.
[2] Tanfidz Keputusan Muktamar IMM XVI Solo-Jawa Tengah tahun 2014
[3] Ibid
[4] Pendidikan yang Membebaskan, Paulo Freire, halaman 3.
Oleh:
Muhammad Afriansyah*
*) Anggota Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Kota Surakarta periode 2019/2020