Retaknya Idealisme Gerakan Sosial di Era Post-Modern (cerminan dari gerakan 212)
Gerakan Sosial atau Social Movement dewasa kini menjadi salah satu simbol dari representasi jiwa demokratis manusia modern. Konsep gerakan sosial pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog Jerman yang bernama Lorenz von Stein dalam bukunya yang berjudul Socialist & Communist Movement Since The Third France Revolution . Menurut Lorenz gerakan sosial merupakan aktivitas sosial berupa gerakan atau tindakan sekelompok orang yang bernuansa perlawanan terhadap pemerintah.
Jika berkaca di era modern saat ini gerakan sosial banyak bermunculan di kalangan masyarakat, sebagai sebuah bentuk penolakan terhadap perilaku atau sebuah kebijakan. Salah satu contoh gerakan sosial yang sampai kini masih hangat dibicarakan oleh masyarakat adalah gerakan 212. Gerakan 212 merupakan gerakan sosial aksi bela Islam yang diusung oleh aktivis muslim pada tahun 2016, atas dasar perlawanan terhadap gubernur DKI Jakarta saat berpidato di Kepulauan Seribu. Masyarakat muslim menilai bahwa pidato gubernur Jakarta (Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok) mengandung unsur penistaan agama.
Gerakan tersebut dinilai sebagai respon dari masyarakat muslim atas pidatonya (Ahok) yang dirasa tidak sesuai dengan habitus masyarakat muslim di berbagai penjuru indonesia. Pro dan kontra bermunculan guna melakukan pembelaan terhadap pihak-pihak yang terkait. Kasus yang dinilai merupakan penistaan agama ini berpuncak pada masukannya pihak penista (Ahok) ke sel tahanan. Namun tidak berhenti di tahun tersebut, tahun di mana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di penjarakan. Gerakan ini kembali muncul di hadapan publik dan menjadi topik pembicaraan hangat di akhir dekade tahun 2018. Tepatnya pada Minggu, 2 Desember 2018 sebagai reuni gerakan 212.
Reuni 212 pada tahun 2019 ini menjadi kian hangat karena diadakan tepat pada tahun-tahun politik, demikian masyarakat umum menyebutnya. Pro dan kontra kembali bermunculan di media massa maupun di kalangan masyarakat, terkait substansi dari gerakan tersebut. Gerakan tersebut dinilai oleh beberapa pihak bernuansa politis, begitu pula sebaliknya bahwa gerakan tersebut adalah murni tanpa ada politisasi. Berbagai pihak dari banyak golongan saling adu argumen untuk memperkuat idealismenya.
Bruce J. Cohen menyatakan bahwa gerakan sosial memiliki beberapa ciri, salah satunya memiliki ideologi. Menurut Louis Althusser, ideologi merupakan suatu gagasan mengenai sebuah realitas, tentang bagaimana semestinya manusia dapat menjalani hidupnya. Gagasan dari sebuah gerakan haruslah konsisten dengan apa yang di perjuangkan dari gerakan tersebut. Gerakan 212 merupakan gerakan yang disoroti dalam artikel ini, penulis melihat bebrapa potret di lapangan terkait retaknya idealisme gerakan 212. Gerakan 212 merupakan gerakan pembelaan terhadap permasalahan Islam. Gerakan tersebut dikatakan mengalami keretakan idealisme karena potret lapangan mencerminkan terdapat nuansa-nuansa politis yang hadir, terutama pada reuni 212 tanggal 2 Desember lalu. Bentuk politisasi gerakan ini semakin terlihat karena didukung oleh momentum yang berdekatan atau beriringan dengan pemilu pilpres tahun 2019.
Suara-suara (dalam pidato) mengenai konten 2019 ganti presiden oleh aktivis gerakan 212 yakni Habib Riziq terekam jelas dan terpublikasi di muka umum. Walaupun hanya beberapa kata namun di situ jelas sekali bau-bau politis yang mulai terasa. Hal ini disoroti sebagai bentuk keretakan idealisme sebuah gerakan karena orientasinya sudah berbeda. Melenceng dari substansi awal. Jika menarik perkataan Habib Riziq dan dikomparasikan dengan gagasan dari salah satu tokoh sosiologi post-modern Pierre Bourdieu yakni kekerasan simbolik, kondisi ini sangat sesuai dengan konsep di atas.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa kekerasan simbolik merupakan pemaksaan kategori-kategori pemikiran dan presepsi terhadap agen-agen sosial yang terdominasi, pihak-pihak yang terdominasi kemudian memandang posisi pihak yang dominan ini sebagai yang benar. Fakta lapangan didapati bahwa tidak ada penolakan atau protes atas konten-konten yang dilontarkan Habib Riziq oleh peserta gerakan 212 ataupun dari golongannya (FPI). Perlu diketahui bahwa Habib Riziq menduduki posisi sentral, sebagai imam besar Front Pembela Islam (FPI).
Di sini kekerasan simbolik jelas sekali dimotori oleh Habib Riziq dengan memasukan unsur-unsur politik dalam sebuah gerakan. Jika kembali lagi ke konsep idealisme, maka di sini jelas sekali terlihat bahwa kekerasan simbol berupa benih-benih politik telah masuk dalam gerakan tersebut dan begitu juga pada organisasi yang Habib Riziq pimpin. Retaknya idealisme sebuah gerakan mulai terlihat saat kata-kata itu keluar dari aktivis pembela Islam tersebut.
Sebagai sebuah gerakan yang mengatasnamakan gerakan pembelaan agama maka tidak selayaknya benih-benih politik itu hadir atau tumbuh dalam gerakan. Karena akan merubah orientasi yang dicita-citakan oleh gerakan yang dihidupi. Melihat fenomena tersebut maka di sini penulis menyampaikan kegelisahan ini. Melihat sebuah ketidakwajaran yang hadir dalam sebuah gerakan yang tidak semestinya disusupi dengan benih-benih politik. Walaupun sebagian penggagas gerakan dalam konteks ini adalah aktivis 212, merupakan pendukung pihak oposisi capres dan cawapres nomor satu.
Jadi, segala bentuk gerakan harus sesuai dengan apa yang di cita-citakan atau yang menjadi substansi awal dari sebuah gerakan. Gerakan akan menjadi tidak netral seperti realita yang telah di paparkan di atas jika benih-benih politis di biarkan tumbuh dan berkembang.
Oleh :
Arif Miftah*
*Penulis adalah mahasiswa UNS jurusan sosiologi, penulis juga aktif membaca teori-teori sosial, hingga pada akhirnya menemukan sebuah keresahan di era post-modern ini.
* Penulis juga merupakan Ketua Umum PK IMM Ki Bagus Hadikusumo UNS Cabang Kota Surakarta periode 2019/2020.