Eksternalitas Monster Plastik
Sampah plastik memang menjadi momok bagi sebagian warga dunia. Sampah menggunung di TPA-TPA, pesisir-pesisir pantai, sudut-sudut kota, hingga desa-desa. UNEP mencatat bahwa awal tahun 2000-an, kita memproduksi sampah plastik lebih banyak dalam dekade terakhir daripada 40 tahun sebelumnya. Sementara hari ini, kita telah memproduksi sebanyak 300 juta ton sampah plastik per tahun. Hal itu merupakan jumlah yang hampir setara dengan populasi manusia di bumi.
Kondisi di atas akhirnya mendapat perhatian khusus dari UNEP. Pada tahun 2018, bertepatan dengan perayaan World Enviroment Day -yang diperingati pada setiap tanggal 5 Juni- UNEP membuat kampanye pengendalian sampah plastik. Secara khusus, tema yang diangkat adalah Beat Plastics Pollution. Kampanye UNEP tersebut bekerjasama dengan berbagai negara dan elemen-elemen gerakan sosial lainnya.
Dewasa ini, nampaknya kampanye pengendalian plastik tak hanya dilakukan oleh kelompok orang saja, tetapi juga individu-individu, sebagaimana Cahyo dan Yoga dalam arikelnya di immsurakarta.org. Cahyo mengkampanyekan minum secara langsung melalui gelas, sementara Yoga mengkampanyekan tentang pentingnya membuang sampah pada tempatnya. Keduanya adalah kampanye yang bagus.
Namun agaknya Cahyo lupa bahwa sampah plastik tidak hanya berasal dari limbah produk minuman saja. Selain polyethylene terephthalate (PET) yang digunakan sebagai bahan botol minuman, ada juga low-density polyethylene (LDPE) yang digunakan sebagai kantung plastik, high-density polyethylene (HDPE) yang digunakan sebagai botol sampo, dan sebagainya.
Adapun tentang artikel Yoga, membuang sampah pada tempatnya adalah satu hal, namun apakah itu solusi dari pengendalian sampah plastik? Tentu tidak. UNEP mencatat, sekitar 8,3 miliar ton plastik telah diproduksi sejak 1950-an dan 60% di antaranya berakhir di TPA sekaligus lingkungan alami. Data UNEP ini dapat kita buktikan dengan mata telanjang kalau kita mengunjungi TPA Piyungan, Jogja atau TPA Putri Cempo, Solo. Sampah plastik mlangkrak di situ, dan sesekali kita akan lihat hewan ternak warga yang mengais-ngais makanan.
Baik minum langsung dari gelas ataupun membuang sampah pada tempatnya, keduanya ibarat menaruh ember di bawah atap rumah yang bocor. Ada hal yang harus dilakukan setelah menaruh ember, yaitu memperbaiki atapnya yang bocor. Atap yang bocor itulah produksi. Minum langsung dari gelas dan membuang sampah pada tempatnya akan serasa percuma kalau plastik-plastik ini terus diproduksi. Sudah barang tentu intensitas kita dalam membuang sampah tak akan pernah sebanding dengan produksi yang dilakukan oleh perusahaan. Mudahnya, sebelum air mineral kita habis dan wadahnya jadi sampah, terlebih dahulu ada banyak air mineral serupa yang wadahnya masih rapi dan siap dipasarkan di berbagai minimarket serta warung-warung. Kira-kira begitulah cara pasar bekerja, supply, demand, quantity dan price akan saling memengaruhi untuk mencapai pareto maximum (efisiensi pasar).
Monster Plastik
Nampaknya, kesadaran tentang faktor produksi itulah yang membuat Greenpeace melancarkan kampanye internasionalnya, bulan April lalu. Perwakilan aktivis Greenpeace dari berbagai negara berkumpul di kantor pusat Unilever, Belanda. Greenpeace membuat monster plastik dari plastik-plastik yang mereka produksi. Kemudian, dari Unilever di Belanda, monster-monster itu dibawa menyeberangi sungai Rhine yang melewati Jerman dan Perancis menuju kantor pusat Nestlē di Swiss. Selain itu, mereka juga membuat poster-poster menarik, beberapa di antaranya adalah Nestlē this is yours! dan Nestlē, stop singel use!.
Melalui simbolisasi Unilever dan Nestlē, seolah-olah Greenpece hendak mengatakan ke warga dunia bahwa masalah sebenarnya dari sampah plastik adalah produksi dan kapitalisme. Adapun plastik-plastik yang mereka produksi, sebenarnya adalah monster-monster yang mengancam hak-hak lingkungan hidup.
Melalui kampanye Greenpeace ini juga, mungkin dilema Cahyo akan terpecahkan atau paling tidak Cahyo mendapatkan sebuah kata kunci atas kedilemaannya tersebut. Kata kunci itu adalah singel use atau sekali pakai.
Selama masih ada pembangunan dan peradaban manusia, maka dampak lingkungan akan terus ada, karena manusia adalah bagian dari ekosistem semesta. Saat manusia membangun rumah, berkendara, berkerja, berpakaian, makan, dan sebagainya. Usaha yang dapat dilakukan manusia hanyalah memperkecil dampak lingkungan yang terjadi. Beralih dari energi tak terbarukan ke energi terbarukan, beralih dari produk sekali pakai ke produk yang berkali-kali pakai, dan sebagainya. Hal itulah yang dituntut oleh Greenpeace, agar Unilever, Nestlē dan produsen lain mengganti wadah produknya.
Negara, Produksi dan Eksternalitas
Selain faktor produksi sebagaimana di atas, ada masalah lain khusus di Indonesia, yakni peran negara. Misalnya saja, bagaimana kita melihat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang oleh Efendi (2019) disebut memiliki nilai antroposentris cukup akut? Grafton dalam Ramdani (2019) menyebut dominasi negara dalam penguasaan SDA itu dengan istilah state-control regime. Kondisi di mana negara menjadi satu-satunya penguasa, pengontrol, pemberi izin, dan penentu batasan pengelolaan SDA.
Menurut Ramdani, karena beban negara untuk mengelola SDA itu terlampau besar, maka seringkali negara kewalahan. Akhirnya negara mendelegasikan kuasanya itu kedalam peraturan perundang-undangan. Namun karena pengelolaan SDA itu berbasis pada etika yang sama (baca: antroposentris), maka seringkali SDA itu dikelola secara tidak bertanggung jawab pada alam. Akibatnya banyak kelompok kepentingan yang memanfaatkan kondisi itu, baik swasta, asing, maupun individu-individu.
Begitulah pembacaan tak utuh kita terhadap Pasal 33 UUD 1945 yang sejak amandemen keempat tahun 2002, mensyaratkan penyelenggaraan ekonomi nasional haruslah memuat prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sebagaimana termuat dalam Ayat 4. Melalui Ayat 4 inilah para pelaku bisnis diharuskan membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau UKL-UPL untuk memperoleh izin lingkungan. Lalu bagaimanakah evaluasi terhadap dampak dan izin lingkungan para produsen plastik selama ini?
Dalam teori ekonomi, dampak lingkungan dikenal dengan istilah eksternalitas. Eksternalitas bisa bernilai positif dan bernilai negatif. Eksternalitas positif terjadi manakala manfaat marginal sosial lebih besar daripada biaya marginal privat. Sementara eksternalitas negatif terjadi manakala biaya marginal sosial lebih besar daripada biaya marginal privat. Eksternalitas ini menyebabkan keseimbangan pasar menjadi non-pareto efisien, sehingga kesejahteraan tak dapat dicapai.
Jika kita mengamati dengan teliti, di dalam film Sexy Killer (2019) kita disajikan perbandingan biaya produksi listrik batubara berbanding dengan yang lainnya. Alasan kenapa hingga kini batubara masih digemari menjadi pembangkit listrik adalah karena biaya produksi dan biaya sosialnya yang cenderung lebih murah. Hal yang sama juga berlaku bagi produk minuman berwadah plastik.
Mudahnya mari kita amati perbedaan produk air mineral dengan soda. Produsen minuman soda hanya akan menjual sodanya saja tidak menjual botol kacanya (metode refill)- sementara itu, produsen air mineral menjual isi sekaligus botol plastiknya. Hal itu dilakukan produsen air mineral agar dapat memperkecil biaya sosialnya, dengan kata lain produsen hendak berbagi tanggung jawab lingkungan dengan konsumennya dan tentu juga dengan negara- khususnya dalam pengelolaan limbah plastik.
Untuk mengatasi eksternalitas, Arthur C. Pigou (1932) mengusulkan penerapan pajak Pigouvian. Pajak itu dimaksudkan untuk menyamadengankan biaya privat dan biaya sosial. Apabila pajak diterapkan, maka perusahaan akan mengurangi produksi dan karenanya produk mereka akan mahal di pasar, hingga konsumsi berkurang. Sampai di sini, sebenarnya baik produsen maupun konsumen, sama-sama dikenakan pinalti atas eksternalitas yang terjadi. Income produsen berkurang, dan konsumen tidak mendapatkan produk yang mereka inginkan.
Sementara Ronald H. Coase (1960) mengusulkan pendekatan lain, yakni negosiasi antar pihak secara efisien tanpa adanya intervensi pemerintah. Pendekatan ini berusaha meniadakan biaya transaksi antar pihak, sehingga kedua belah pihak relatif diuntungkan.
Kedua pendekatan di atas tidak akan optimal apabila evaluasi AMDAL tidak transparan dan akuntabel, muncul patologi birokrasi, atau negosiasi antar pihak tidak tercapai. Karenanya, yang perlu kita dorong saat ini adalah adanya keterbukaan informasi publik serta evaluasi menyeluruh terhadap izin lingkungan produsen-produsen plastik. Selebihnya ialah menunggu nyali Pemerintah untuk menegakkan konstitusi, menuju perekonomian nasional yang berlandaskan pada prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Penulis :
Mahfudh Ali Haidar
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah