Artikel

Buanglah Sampah pada Tempatnya!

Bukan suatu kebetulan judul tulisan ini ditancapkan sampah dalam perdebatan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Mengingat isu pengendalian dan pelarangan plastik sekali pakai melahirkan dilema antara mencintai dan tidak mencintai lingkungan hidup. Salah satunya adalah budak cinta lingkungan hidup, yang akhir-akhir ini mendapat sorotan publik karena mengkampanyekan penggunaan sedotan berbahan stainless atau bambu yang lebih ramah terhadap ekosistem.
Argumen bucin lingkungan, faktanya penggunaan sedotan plastik sekali pakai mencemari biota laut sehingga berdampak negatif terhadap kehidupan bawah laut. Sedangkan argumen mereka yang tidak mencintai lingkungan, buktinya penggunaan sedotan berbahan stainless atau bambu juga tidak mengurangi pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari sedotan plastik sekali pakai.
Tampak kedua argumen itu cukup rasional. Namun, ada penilaian yang berbeda jika ditinjau lebih jauh dasar keduanya memandang sedotan plastik dan memeriksanya berdasarkan ketentuan-ketentuan ekologi. Sehingga dilema mencintai lingkungan tidak membawa perasaannya lebih dalam lagi, dengan semata-mata lingkungan kurang perhatian kepada manusia atau manusia bersikap acuh tak acuh dan masa bodoh terhadap lingkungan hidup.
Tulisan saudara Cahyo Setiawan yang berjudul Dilema Mencintai Lingkungan yang terbit pada tanggal 21 Oktober 2019, bukanlah argumen yang tidak mencintai lingkungan. Bahkan argumennya tersebut justru merupakan suatu kebijaksanaan manusia terhadap cara-cara mencintai lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ketentuan-ketentuan ekologi menunjukkan bagaimana pandangan pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat antroposentris itu melihat sedotan dari sudut pandang kepentingan manusia.
Bagi pendukung bucin lingkungan dengan memakai sedotan stainless atau bambu, kegunaan akal budi sebagai alat kontrol penggunaan sedotan dan nilainya ditentukan sesuai dengan manfaatnya bagi manusia. Begitu pula bagi penentang bucin lingkungan yang masih memakai sedotan plastik, sejauh manusia memakai sedotan maka manfaatannya bagi manusia ditentukan sesuai dengan kemudahan dan kepraktisan.
Menurut teori ekonomi mengenai biaya produksi, asas kemanfaatan sedotan bagi kepentingan manusia mengakibatkan suatu kenyataan penawaran dari industri dan perusahaan relevan bagi permintaan kedua kelompok di atas memakai sedotan. Tak perlu mengherankan jika Asosiasi Daur Ulang Plastik (ADUPI) meminta Mahkamah Agung (MA) menguji Peraturan Gubernur Provinsi Bali No. 97 Tahun 2018 tentang pelarangan plastik sekali pakai karena berdampak negatif terhadap pendapatan badan usaha mereka dan pekerjaan pemulung plastik.
Temuan gerakan global Break Free From Plastic (BFFP) dalam aksi brand audit di Pantai Sanur Bali tahun 2018, memaparkan 8,3 miliar metrik ton plastik diproduksi sejak 1950-an. Menunjukkan hanya 9% dari angka tersebut yang benar-benar didaur ulang, 12% dibakar, sementara sisanya (sekitar 80%) sebagian besar berakhir di tempat pembuangan sampah, laut, atau lingkungan sekitar. Sebagaimana aksi serupa Ivana Kurniawati membersihkan pantai di Thailand menemukan sampah plastik yang berasal dari Indonesia dengan brand produksi unilever, nestle, atau indofood yang kemudian geger di tanah air.
Artinya siklus produksi sampah berupa kantong plastik, sedotan plastik, dan polistirena (styrofom) tidak mengenal batas-batas kemanusiaan yang wajar jika dipandang dari aspek kemanfaatan. Terlebih jenis plastik sekali pakai tersebut tergolong sampah yang tidak dapat atau sulit didaur ulang dan kandungannya menyebabkan kondisi lingkungan yang membahayakan kesehatan manusia.
Bagi bucin lingkungan data-data itu mungkin menguatkan keyakinannya menolak alasan penentang pelarangan plastik sekali pakai demi mencintai lingkungan karena sampah plastik berserakan. Namun lewat data-data itu pandangan masyarakat sesungguhnya sedang dibentuk apriori untuk tidak mencintai lingkungan karena kebutuhan plastik sekali pakai tidak mungkin dilepaskan dari konsumsi sehari-hari. Maka ketentuan-ketentuan ekologi dalam penggunaan sedotan berbahan stainless atau bambu kurang berlaku bagi pemakai sedotan plastik, karena tidak ada pilihan lain kecuali sampah plastik itu terbukti hilang dari muka bumi ini uniknya bukan untuk dikurangi.
Mentalitas Nyampah
Sekarang mari perhatikan terlepas ia bucin atau tidak terhadap lingkungan, sejauh mata memandang adakah yang memungut sampah plastik sepanjang perjalanan kaki ketika ia melihatnya? Tentu saja ia tidak sudi memungutnya bukan? Siapa juga yang membuang sampah plastik sembarangan di sungai, laut, atau pinggir jalan? Toh, bukan ia yang membuangnya, kenapa ia yang harus bertanggung jawab! Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan akumulasi mentalitas nyampah yang memiliki efek domino parah terhadap sikap dan perilaku membuang sampah sembarangan.
Kompleksnya lagi adakah diantara mereka yang bucin atau tidak terhadap lingkungan itu, memerhatikan alur perjalanan sedotan plastik es teh tiba di tempat pembuangan akhir terdekat dengan baik? Bagi mereka penikmat kesegaran es teh, siapa yang peduli mengamati sirkulasi konsumsi sedotan plastik sebuah warung makan dalam memberikan pelayanan? Tentu saja mereka tidak sempat mengamati bukan? Karena baginya logika perdagangan barang adalah cash and carry, maka siapa mampu mengingatkan membuang sampah pada tempatnya?
Buya Syafii Maarif berani mengingatkan mentalitas nyampah ini ketika beliau menelusuri selokan Mataran di sekitar desa Nogotirto, Bantul, Yogyakarta. Kebiasaan beliau naik sepeda di lingkungan persawahan membuatnya sering merenung tentang betapa vitalnya fungsi selokan ini bagi kehidupan rakyat. Catatan pentingnya terhadap selokan ini beliau menuliskan: kebiasaan penduduk membuang sampah rumah tangga sepanjang selokan yang legendaris ini perlu dihentikan sekarang dan untuk selama-lamanya (Selokan Mataram (Riwayatmu Dulu, Riwayatmu Kini), Republika, 10 November 2015).
Sebagai penutup tulisan alangkah baiknya bagi bucin maupun tidak terhadap lingkungan ini, menyepakati bahwa kantong plastik, sedotan plastik, dan polistirena (styrofom) merupakan limbah industri rumah tangga yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Sekaligus stainless atau bambu sebagai bahan dasar sedotan jika tidak dipakai lagi karena malas membersihkan, maka buanglah sampah-sampah itu pada tempatnya!

 

Penulis:

Adhitya Yoga Pratama*

*Ketua Umum PC IMM Kota Surakarta 2015/2016

*pengkaji politik pedesaan dan gerakan ekologi