Post Released Avengers Endgame: Bahwa Thanos Memperkuat Legitimasi SJW yang Mengalami Peyoratif Makna
Setelah dirilis pada akhir April sebelum akhirnya dirilis ulang pada pertengahan bulan Juli lalu, film Avengers Endgame mampu menghidupkan antusiasme masyarakat dunia. Film ini merupakan lanjutan klimaks dari Marvel Cinematic Univers phase Three, yang mengisahkan tentang sekelompok pahlawan super (Avengers) yang sedang bertarung dengan villian utamanya yakni Thanos, yang pada akhirnya pertarungan itu dimenangkan oleh Thanos dan memberikan kesan bahwa film tersebut merupakan bad ending atau dalam istilah lain yakni menggantung.
Menurut perspektif Avengers sebagai protagonis, tentu film tersebut memberi kesan akhir yang menyedihkan mengingat setengah lebih anggota Avengers mati sia-sia ditangan Thanos sebagai antagonis. Namun bagaimana jika kita berpihak pada perspektif Thanos dalam film tersebut?
Thanos bukanlah villian ecengan dengan orientasi pragmatis macam Steppenwolf, Lex Lutor, Mandarin, hingga Mysterio. Thanos setara dengan Rhas al Ghul maupun Joker yang bagaikan seorang pemikir dengan keresahan akan realitas dan fenomena yang terjadi. Mereka hadir dengan gagasan yang konkret serta konsep yang ideal terhadap permasalahan yang kompleks yang tengah dialami oleh dunia.
Dalam konteks Thons, tujuannya bukan tanpa sebab setelah melihat jumlah populasi kehidupan yang melebihi kapasitas di planetnya yakni Titan. Eksploitasi besar-bersaran pun terjadi akibat dari bertambahnya jumlah penduduk dan berkurangnya sumber daya kehidupan di planet tersebut. Melihat planetnya dalam ambang kehancuran, Thanos hadir menawarkan solusi dengan memusnahkan setengah populasi penduduk dan merekonstruksi kembali sistem tatanan kehidupan planet Titan. Namun solusi tersebut ditolak oleh sebagian besar penduduk Titan sehingga kehancuran planet Titan pun tak dapat dihindarkan.
Thanos yang kini sebagai Mad Titan, tentu belajar banyak tentang pengalaman atas kehancuran planetnya. Rasional-empirisnya memperkuat asumsi Thanos bahwa ketidakseimbangan juga akan berlaku pada alam semesta. Oleh karenanya upaya genosida merupakan suatu tekad yang tidak dapat diganggu gugat. Demi merealisasikan misinya itu, ia perlu mengumpulkan enam invinity stones di berbagai galaksi yang berbeda.
Dalam hal ini Thanos memposisikan diri sebagai seorang yang berpikir realistis. Melaui upaya genosida, ia melihat konteks kebermanfaatan jauh lebih besar daripada hal yang lainnya. Kehidupan yang ideal (Thanos menyebutnya surga) dapat tercipta manakala adanya keseimbangan antara jumlah populasi dan sumberdaya kehidupan atau bahkaan lebih. Pemikiran dan tindakan Thanos tentu menjadi pertentangan besar bagi kehidupan semesta termasuk para Avengers itu sendiri. Namun baginya, perlawanan terhadap upayanya merupakan suatu kenaifan yang tidak dapat diukur dalam skala rasionalitas.
Apa yang dilakukan Thanos dalam film tersebut telah menggambarkan suatu teori The Ropugnant Clonclusion oleh Derek Parfit (1984) seorang filsuf Inggris. Teori ini menekankan masalah etika populasi yang dalam kurun 30 tahun terakhir ini memunculkan berbagai pertanyaan seperti, apakah mungkin menciptakan dunia di mana hanya ada orang-orang yang bercukupan? dan apakah ada kewajiban moral untuk memiliki keturunan?. Tolak ukur yang digunakan Parfit ialah kualitas kebahagian dan peningkatan populasi kehidupan. Parfit membuat argumen sederhana terhadap standar utilitarian rata-rata bahwa lebih baik meningkatkan takaran kebahagian dan menekan angka populasi kehidupan, jika lebih dari itu maka jangan harap ada kualitas kebahagian yang terbaik.
Sekilas saya teringat pada diskusi bedah film Sexy Killers pada April lalu, saya secara spontan menyebutkan bahwa genocide can be a good thing!. Salah seorang anggota di forum mengatakan bahwa itu tidak manusiawi, lalu saya menyanggah bahwa kita terlalu terlena pada dalil-dalil kemanusiaan saat ini. Analisa saya sederhana bahwa bedah film Sexy Killers yang dibedah secara serentak di berbagai daerah tersebut merupakan suatu wacana politis yang coba dinegosiasikan oleh para aktivis ekologi dan dalam konteks ini apakah kita masih berbicara tentang kemanusiaan? Tentu tidak, karena yang sedang kita bicarakan saat ini adalah soal komoditas, kepentingan, dan proyeksi saja.
Para aktivis ekologi tersebut tak lebih sekedar mencari legitimasi populer dalam perihal wacana ekologi sebagai suatu instrumen politik yang saya justifikasikan sebagai kegelisahan yang naif. Seolah mereka mencoba melemparkan sebuah pertanyaan dalam perspektif ekologis tentang, siapa yang menjadi subjek? Alam yang menyediakan kehidupan? Atau kehidupan yang memerlukan alam? Pertanyaan semacam itu tidaklah relevan mengingat bahwa definisi ekologi adalah unsur kesatuan sistem kehidupan dan lingkungannya, yang artinya dalam definisi tersebut mengandung nilai tentang keseimbangan.
Kelakuan para aktivis ekologi saat ini justru memperkuat legitimasi publik tentang Social Justice Warrior (SJW) yang saat ini mulai mengalami peyoratif makna. Hal tersebut dilatarbelakangi adanya disorientasi logika pemahaman dan tindakan atas nama perjuangan keadilan yang nihil substansi. Konteks ini relevan bagi para aktivis ekologi yang hanya ingin mencari pembenaraan diri atas hakikat fenomena alamiah. Apakah keadilan tentang alam dan manusia dibangun atas dasar diskursus pembenaraan diri yang kian subjektif? Selebihnya silahkan riset sendiri.
Jikalau menarik akar sebab adanya perusakan alam dan lingkungan karena adanya ketidakseimbangan antara jumlah populasi penduduk dan sumber daya kehidupan yang tersedia. Konsekuensi yang muncul ialah tuntutan kebutuhan materil penduduk yang tidak terkontrol dan aktivitas industri yang kian eksploitatif. Para aktivis ekologi hanya melihat satu sudut pandang bahwa perusakan lingkungan yang dilakukan oleh berbagai industri adalah suatu kejahatan. Nyatanya aktivitas industri ini mencoba mengimbangi tuntutan kebutuhan materil penduduk, Parfit menyebutnya sebagai utilitarianisme rata-rata versi hedonistik.
Cukup tepat bilamana Thanos dianalogikan sebagai seorang filsuf yang melawan kenaifan para Avengers yang dalam hal ini adalah para aktivis ekologi. Masalah kerusakan alam yang terjadi adalah minimnya kesadaran manusia tentang pentingnya menjaga dan melestarikan alam. Namun hadirnya manusia juga dalam rangka mencapai kebahagian sebagai klausa materil. Semakin besar jumlah populasi manusia, maka besar pula tuntutan kebahagian itu.
Catatan yang tak kalah penting bahwa kita perlu memunculkan pertanyaan filosofis tentang apa manusia, mengapa manusia, dan bagaimana manusia, sebagai suatu pengendalian diri yang estetis dan etis. Lalu kita kontekskan pada hakikat yang luas seperti sosial, lingkungan maupun alam. Marilah kita sama-sama mencari hakikat kebijaksanaan itu sebagai suatu manifestasi well-being dalam kehidupan dan alam. Jika tidak, saya berharap akan dicetuskannya genosida seperti apa telah yang dilakukan Thanos pada semesta.
Oleh: Albi Arangga*)
*) Ketua Bidang Hikmah PC IMM Kota Surakarta periode 2018/2019
*) Sekretaris PRM Makamhaji