Peran Masyarakat dalam Pengawasan Pemilu Partisipatif
Sejak berdirinya republik ini, Indonesia memilih untuk menerapkan sistem demokrasi (Firmanzah, 2010). Dengan menerapkan sistem demokrasi, para pemimpin pasca kemerdekaan tidak pelak lagi harus memikirkan dilaksanakannya pemilu (pemilihan umum) sebagai sistem untuk mengatur peralihan kekuasaan. Ciri paling mendasar dari sebuah negara demokrasi adalah keberadaan pemilihan umum (pemilu) sebagai suksesi kekuasaan dan rekruitmen politik secara regular.
Pemilu sebagai upaya pelembagaan demokrasi bukan satu-satunya aspek dalam demokrasi, namun pemilu merupakan satu bagian yang sangat penting, karena pemilu berperan sebagai mekanisme perubahan politik mengenai pola dan arah kebijakan publik dan/atau mengenai sirkulasi elit secara periodik dan tertib (Surbakti, 2008).
Setelah mengalami banyak kisruh politik, baru pada tahun 1955 pemilu pertama di Indonesia bisa diselenggarakan. Dinamika perpolitikan tanah air menjadi semakain memanas pasca Presiden Soeharto dijatuhkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998. Pasca reformasi di Indonesia, pemilu dilaksanakan sebagai wujud dari demokrasi yang merupakan sarana dalam mengagregasi aspirasi yang ada di masyarakat dan memilih/suksesi pejabat politik secara konstitusional.
Dengan memandang pemilu merupakan kesempatan bagi rakyat untuk memilih pejabat politik, maka diperlukan pengawasan untuk memastikan jalannya pemilu secara jujur dan adil. Pilkada langsung yang merupakan hidupnya demokrasi lokal juga merupakan tahapan dalam proses desentralisasi. Pemilihan langsung juga telah membuka lebar untuk memelihara demokrasi lokal (Priyambudi, 2009).
Para ahli ilmu politik meyakini pemilu memiliki beberapa fungsi. Pertama, sebagai mekanisme pemilihan penyelenggara negara. Kedua, pemilu memiliki fungsi sebagai mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada peserta pemilu (calon anggota legislatif maupun calon pejabat eksekutif). Ketiga, pemilu sebagai mekanisme yang mampu menjamin adanya perubahan politik (sirkulasi elit dan perubahan pola dan arah kebijakan publik) secara periodik. Keempat, pemilu sebagai sarana penyelesaian konflik dengan cara memindahkan
berbagai macam perbedaan dan pertentangan kepentingan yang ada di masyarakat ke dalam lembaga legislatif dan eksekutif untuk dimusyawarahkan, diperdebatkan, dan diselesaikan secara terbuka dan beradab. Pemilu yang demokratislah yang mampu menciptakan fungsi ini, dan hal ini tidak terlepas dari argumen yang mengungkapkan bahwa negara yang menganut sistem politik demokrasi pasti menjamin dilaksanakannya pemilu secara periodik, akan tetapi tidak ada jaminan yang memastikan pelaksanaan pemilu dilakukan secara demokratis. Absennya jaminan bahwa setiap pemilu pastilah demokratis, mendorong kebutuhan sebuah instrumen yang mampu memberikan jaminan legitimasi demokratis dari pelaksanaan pemilu tersebut. Instrumen tersebut harus mampu menjamin dan mempromosikan transparansi, akuntabilitas, kredibilitas, dan integritas dari pelaksanaan pemilu. Jaminan ini menjadi penting karena berimplikasi pada kepercayaan publik terhadap proses pemilu, hasil pemilu dan juga kepada demokrasi itu sendiri. Pengawasan pemilu yang efektif dipercaya sebagai instrumen yang mampu menghadirkan jaminan atas pelaksanaan pemilu yang demokratis. Pengawasan pemilu baru muncul dalam pelaksanaan pemilu tahun 1982, namanya adalah Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu). Pada saat sekarang, yaitu era reformasi, tuntutan untuk pemilu yang jujur dan adil semakin tinggi, dibuktikan dengan semakin kuatnya legal formal pembentukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di tingkat Pusat, di tingkat Provinsi sampai Pembentukan Panitia Pengawasan Pemilu di tingkat kabupaten/kota yang awalnya ad hoc saja maka diusulkan agar menjadi permanen (Suswantoro, 2016). Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 secara kelembagaan, Bawaslu telah diperkuat menjadi lembaga yang mandiri bukan lagi menjadi lembaga sub ordinat dari KPU. Kedudukan Bawaslu menjadi sejajar dengan KPU, sebagai lembaga penyelenggara Pemilu, yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 juga
merubah Panwaslu propinsi menjadi Bawaslu Propinsi, secara otomatis kelembagaan. Panwaslu Provinsi yang dulunya adalah lembaga pengawasan yang bersifat ad hoc, sekarang menjadi lembaga yang bersifat permanen. Berikutnya secara kelembagaan Bawaslu juga diberikan wewenang untuk membentuk Panwaslu Kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, dan Panwaslu Desa/Kelurahan kemudian disempurnakan melalui undang undang No 7 tahun 2017. Secara otomatis menjadikan Bawaslu Kabupaten permanen. Praktik pengawasan Pemilu memiliki beberapa sifat yang berbeda, tergantung dari siapa yang melakukan, sejauh mana kewenangan yang dimiliki cakupan dari pengawasannya. Secara umum praktik pengawasan Pemilu dibedakan menjadi tiga tipologi, pertama, Electoral Observation, tugas dari observer sebatas mengumpulkan informasi seputar pelaksanaan pemilu dan memberikan simpulan atas pelaksanaan pemilu dengan memberikan penilaian (value judgement) terhadap proses penyelenggaraan Pemilu. Seorang observer tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi proses Pemilu. Electoral Observation biasa dilakukan oleh para pemantau pemilu internasional, dari PBB, koalisi penyelenggara pemilu internasional, dsb.
Kedua, Electoral Monitoring, praktik pengawasan ini sudah memiliki otoritas atau legitimasi untuk melakukan pengamatan pada pelaksanaan pemilu dan memiliki kewenangan untuk mengintervensi proses jika ada norma pemilu yang dilanggar. Aktor yang biasa menjadi Pemantau pemilu adalah lembaga independen yang telah mendapatkan akreditasi oleh KPU/penyelenggara pemilu.Ketiga, Electoral Supervisory, adalah lembaga pengawas pemilu. Jika dibandingkan dengan observer dan pemantau pemilu, pengawas pemilu memiliki tugas dan kewenangan yang lebih kompleks. Karena Pengawas Pemilu merupakan lembaga resmi yang dibentuk oleh Negara dan memiliki tugas khusus untuk melakukan pengawasan Pemilu. Pengawas Pemilu tidak hanya memiliki kewenangan untuk mengawasi proses penyelenggaraan di tiap tahapan Pemilu, namun Pengawas Pemilu juga memiliki kewenangan untuk menyatakan kesahan dan keabsahan dari tahapan pemilu, sejak proses persiapan sampai proses penetapan hasil.
Secara pelembagaan, Bawaslu juga Telah dibekali struktur kelembagaan relatif lebih kuat, bahkan hingga tingkat paling bawah dengan regulasi yang memadai. Meski demikian, masih banyak pelanggaran pemilu yang terjadi. Pelanggaran pemilu tidak hanya mengganggu kerja penyelenggara, tetapi juga hak politik warga negara. Pengalaman empiris beberapa periode pemilu di Indonesia yang melahirkan bentuk-bentuk pelanggaran sistematis-terstruktur dan massif, menjadi dasar empirik yang menjadikan penting pelibatan dan partisipasi masyarakat. Pelibatan dan partisipasi yang cukup tinggi diharapkan mampu meminimalisir dan mencegah terjadinya pelanggaran pemilu. Partisipasi ini diharapkan mampu meminimalisir dan mempersempit ruang gerak pelanggaran pemilu. Pelanggaran pemilu khususnya yang bersifat sistematis-terstruktur, dan masif tidak lagi bisa dilakukan secara leluasa, karena pemilih turut serta mengawasi, memantau, dan memastikan data pemilih sementara/tetap dan juga memonitoring situasi/proses pemilu.
Pemilu yang berkualitas dan memiliki integritas kuat yang ditunjukkan dengan pelaksanaan pemilu yang bersih, adil, jujur dapat terwujud dalam proses pelaksanaan pemilu yang didukung oleh kerja-kerja pemantauan partisipatif , keterlibatan elemen masyarakat sipil di dalam mengawasi agar dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan menekan peluang angka kecurangan sejak di tahap awal. Pemantauan pemilu yang melibatkan ratusan pemilih pemula yang berbasis kerelawanan dan edukasi merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat (active citizenship).
Pertama, edukasi bagi pemilih pemula dimana pelaku sendiri merupakan bagian dari agen yang mendapatkan Pendidikan politik secara langsung. Kedua, kesadaran akan pentingnya kualitas penyelenggara pemilu di daerah semakin menunjukkan peningkatan. Ketiga, peluang-peluang dan upaya mengantisipasi adanya kecurangan pemilu yang dapat mencederai proses demokrasi di Indonesia dapat ditekan sedemikian rupa sehingga upaya ini benar-benar dapat berkontribusi di dalam pembangunan demokrasi berbasis kewargaan.
Peran masyarakat dalam penyelenggaraan pemilihan umum di berbagai tingkatan pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif sangat menentukan kualitas demokrasi Indonesia. Melalui edukasi mengenai pemilihan umum, diharapkan tingkat partisipasi masyarakat meningkat, sehingga menjadi tanda peningkatan kualitas demokrasi kita. Terlebih lagi , Kota Surakarta pada tahun mendatang akan menyelenggarakan pilkada (pemilihan kepala daerah) bersama beberapa kabupaten lain di Jawa Tengah. Melalui hajat besar pilkada tersebut, demokrasi kita kembali akan diuji, seberapa kokoh dan tangguh demokrasi yang selama ini sudah susah payah kita bangun bersama, terkhusus di Kota Surakarta.
.
Oleh: IMMawan Supriyadik
Sekretaris Umum PC IMM Kota Surakarta periode 2019/2020