Artikel

Perbandingan Perjuangan Aktivis : 98 vs 19

Kita belum usai!!! Kata pembuka untuk tulisan ini, karena perjuangan kita (mahasiswa) belum benar-benar usai. Semangat mahasiswa hari ini tengah beranjak naik dalam fenomenologi yang terjadi akhir-akhir ini, terbukti kita dapat melihat gelombang massa aksi di berbagai daerah yang muncul untuk menjawab problematika kebangsaan yang amburadul. Judul tulisan ini bagi penulis sendiri sedikit menggelitik untuk bisa diperdebatkan dalam berbagai diskursus sampai detik ini.

Bagaimana tidak, tahun ini dalam problematika kebangsaan yang terjadi mulai dari kinerja DPR RI yang terkesan kejar tayang atau malah hanya ingin menghambur-hamburkan anggaran di akhir periodenya. Dengan banyaknya RUU yang segera ingin disahkan mulai dari RUU KPK yang sekarang sudah disahkan, RKUHP, RUU P-KS, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, dan masih banyak lagi, seakan-akan ingin mendapatkan rapor baik di akhir periode masa jabatannya.

Namun, nyatanya hal itu malah membuat gejolak yang lumayan hebat di grassroot sampai menciptakan gelombang perjuangan yang besar lewat aksi-aksi demonstrasi oleh mahasiswa. Lucunya, kalau kita melihat sedikit ke belakang dan mempelajari sejarah bahwa orang-orang yang kemarin secara kompak bekerja untuk mengesahkan beberapa RUU di DPR RI adalah aktor-aktor mahasiswa dahulu yang ikut serta dalam menggulingkan orde baru dan membawa semangat reformasi di dalamnya. Kita bisa sebut Fahri Hamzah, Adian Napitupulu, Fadli Zon, dan banyak lagi adalah aktor-aktor angkatan 98 pada saat reformasi terjadi.

Sedang sekarang fenomenologi yang terjadi sampai hari ini hampir mirip ketika dulu tahun 1998 bergejolak. Yang membedakan menurut penulis adalah tahun 1998 kita mengalami yang namanya krisis moneter hingga muncul reformasi karena otoritarianisme orde baru membuat mahasiswa tergerak secara moral untuk berjuang menuntut keadilan, sedang sekarang untungnya tidak terjadi hal yang sama. Namun, sifat-sifat yang sama mulai muncul menjelang dilantiknya presiden RI dan itu sudah dirasakan pada periode pertama presiden jokowi sampai sekarang.

Dampaknya, akibat peristiwa tersebut akhirnya mahasiswa mulai masuk dalam kesadaran kritis dan menghidupkan ruang-ruang diskursus sebagai perbincangan di setiap sudut kampus tentang problematika kebangsaan yang saat ini terjadi. Namun, sangat disayangkan ketika gelombang kesadaran yang tengah terbangun ini dipelintir oleh mahasiswa di era milenial untuk sekedar numpang eksis dalam aksi-aksi demonstrasi akhir-akhir ini dengan tulisan-tulisan yang sebetulnya sangat kreatif. Padahal kita tahu ada beberapa yang menjadi korban hingga meninggal dunia di dalam pusaran gelombang demonstrasi yang terjadi belakangan ini di berbagai daerah.

Penulis mulai bangga saat melihat mahasiswa yang mau ikut menyuarakan pendapat di muka umum, tetapi memang harus dibarengi dengan kesadaran kritis yang minimal tahu apa yang sebenarnya menjadi tuntutan. Konteks tahun 1998 dan 2019 adalah sama-sama memperjuangkan aspirasi rakyat atas kedzaliman penguasa yang membuat peraturan secara egoistik. Aktor-aktor mahasiswa 98 mulai lupa yang dahulu mereka bawa saat memperjuangkan reformasi.

Hal ini barangkali akibat lama tidak ikut turun ke jalan untuk demonstrasi dan terlalu nyaman duduk di kursi bersama dinginnya AC ruangan hingga mengantuk dan tertidur. Pertanyaan yang muncul dalam benak penulis adalah akankah reformasi jilid 2 dapat terjadi lagi? Dan pertanyaan kedua apakah kelak mahasiswa 19 sekarang sama prilakunya dengan aktor-aktor 98? Sebenarnya ini adalah tantangan bagi kita (mahasiswa) yang dahulu sewaktu awal kuliah dan diajarkan tentang sejarah gerakan mahasiswa yaitu mahasiswa sebagai agent of change dan agent of control social. Jika, angkatan 98 bisa dikatakan telah gagal membawa amanat reformasi dahulu untuk kemajuan bangsa ini, harusnya kita (mahasiswa) dapat berefleksi untuk menentukan nasib bangsa ke depan akan seperti apa.

 

Oleh:

IMMawan Fari Romadhon Wijaya

Ketua Bidang Hikmah PC IMM Kota Surakarta periode 2019/2020