Artikel

Masalah Perempuan = Masalah Kemanusiaan, “Tanggung Jawab Seluruh Kader”

“Saya anti kekerasan, karena kekerasan itu ada kadang-kadang melahirkan kebaikan tapi sifatnya temporal (sementara) dan kejahatan yang dihasilkannya permanen”. Itulah semangat dari Mahatma Gandhi sebagai bapak anti kekerasan. Beliau telah memberikan konsep bermasyarakat yang menekankan pada kesetaraan manusia. Salah satu ajaran beliau yaitu Ahimsa yang dalam bahasa Sansekreta berarti “anti kekerasan”.

Kontribusi besar Gandhi pada konsep kemanusiaan adalah pesannya terhadap nir kekerasan sebagai jalan perdamaian. Semangat tersebut bisa dijadikan spirit dalam menciptakan perdamaian serta keadilan dalam relasi sosial. Mengingat masih banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia. Kasus kekerasan sering terjadi pada kelompok rentan yaitu perempuan, anak, lansia, dan warga disabilitas.

Dalam sejarah Indonesia mencatat adanya bentuk ketidakseimbangan dalam relasi sosial. Salah satunya yaitu hubungan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Di mana terdapat ketimpangan relasi kuasa, sehingga memunculkan kaum yang tersubordinatkan. Kita mencoba mengulas kembali sejarah, pada zaman dahulu banyak perempuan yang menjadi selir raja Jawa.

Seorang selir, nyai, gundik atau orang Jawa menyebutnya Garwa Ampeyan merupakan perempuan-perempuan yang tidak menjadi istri sah raja, tugasnya untuk pemenuh hasrat seksual raja. Seorang raja bisa mempunyai banyak selir. Di sini, perempuan tidak memiliki hak otoritas dalam mengatur tubuh dan dirinya. Dalam relasi kekuasaan berada di tangan raja secara penuh.

Sejarah lain, pada Perang Dunia II, penjajahan Nippon (Jepang) yang berkuasa di Indonesia menjadikan perempuan sebagai korban perbudakan seks atau dalam istilah lain disebut Jugun Ianfu. Para Jugun Ianfu dipaksa untuk menjadi pemuas hasrat seksual tentara Jepang. Tidak hanya itu, mereka juga mengalami kekerasan berupa fisik dan psikis yang mengakibatkan trauma berkepanjangan.

Seperti yang dikutip dari buku Pramoedya Ananta Toer : Pada masa Pemerintah Balatentara Dai Nippon berkuasa di Cirebon para prajurit Jepang telah memperkosai gadis-gadis pelajar rupawan. Setempat, ada diantaranya diambil tanpa sepengetahuan dan seijin orangtua mereka. Ini terjadi antara tahun 1943 sampai mereka menyerah pada sekutu. Gadis-gadis ini dibawa ketempat yang tidak diketahui. Jumlahnya pun tidak diketahui.[1]

Kedua contoh dari sejarah bangsa Indonesia tersebut sama-sama menjadikan perempuan sebagai second sex. Perempuan juga dianggap sebagai makhluk liyan dan laki-laki sebagai diri, menjadikan perempuan teropresi dari masyarakat. Sehingga seringkali dalam relasi sosial tidak tercipta hubungan yang resiprokal antara laki-laki dan perempuan. Seolah laki-laki sebagai subjek tunggal dan perempuan sebagai objek yang pasif.

Kondisi tersebut dapat memunculkan bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Menurut Mansor Faqih, gender atau konstruk sosial tidak bermasalah selama tidak memunculkan perbedaan gender (gender different) yang nantinya timbul ketidakadilan gender. Menurutnya ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, di antaranya: marginalisasi (proses pemiskinan ekonomi), subordinasi (anggapan tidak penting dalam keputusan politik), stereotype negatif, violence (kekerasan), beban kerja, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender[2].

Bentuk dari ketidakadilan gender tersebut sebenarnya saling berkaitan satu sama lain. Misalnya, proses marginalisasi perempuan atas kebijakan yang meminggirkan perempuan terjadi karena stereotype tertentu yang melekat pada perempuan kemudian perempuan tersubordinasi dari masyarakat, mengalami kekerasan karena dianggap lemah dan hal tersebut tersosialisasikan dalam bentuk keyakinan yang diamini oleh sebagian besar masyarakat atau bahkan perempuan itu sendiri. Ketidakadilan gender tersebut sampai sekarang masih melekat dalam praktik-praktik sosial bahkan dikonstruksi melalui ajaran keagamaan maupun negara. Dan mayoritas dialami oleh perempuan. Sehingga, kesejahteraan perempuan belum bisa dirasakan sepenuhnya.

Padahal ketika kita berbicara peran masyarakat dalam kesejahteraan sosial merupakan tugas kita bersama. Sesuai pasal 1 UU No. 6 Tahun 1974[3] yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial.

Jadi, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup sejahtera serta memiliki kewajiban dalam menciptakan kesejahteraan sosial. Tidak terkhusus pada satu jenis kelamin saja. Berarti antara laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama sebagai warga negara. Tidak ada kelas yang lebih rendah (perempuan) dan yang lebih berkuasa (laki-laki) terdapat dalam masyarakat patriarchal.

Dalam perspektif mubadalah (kesalingan) kehidupan ini milik keduanya, laki-laki dan perempuan. Jika perempuan untuk laki-laki maka laki-laki pada saat yang sama juga untuk perempuan. Semua pranata sosial juga harus diperuntukkan bagi kemaslahatan perempuan, sebagaimana sudah sebelumnya untuk laki-laki.

Sebab, perempuan juga manusia sebagaimana laki-laki. Konsep kesalingan memandang relasi antara keduanya saling kerjasama, bukan hegemoni dan diskriminasi yang berujung pada kekerasan. Tidak boleh laki-laki menguasai perempuan dan sebaliknya. Tetapi keduanya saling bekerjasama untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, adil, dan sejahtera[4].

Ketika perempuan merupakan manusia yang utuh bukan lagi dianggap sebagai the second sex maka persoalan-persoalan yang berkaitan dengan perempuan juga merupakan persoalan kemanusiaan. Dan merupakan tugas bersama untuk menyelesaikannya baik laki-laki maupun perempuan.

Kita lihat di Indonesia terdapat lembaga yang mengurus tentang hak asasi manusia yaitu Komnas HAM namun di Indonesia juga ada Komnas Perempuan untuk menegakkan hak-hak asasi bagi perempuan. Apakah hal tersebut menandakan bahwa hak asasi perempuan masih belum dianggap sebagai bagian dari hak asasi manusia? Atau persoalan perempuan belum sepenuhnya dianggap sebagai persoalan kemanusiaan?

Seperti organisasi atau lembaga lain yang konsen pada kajian keperempuanan yang berada di bawah organisasasi induknya. Namun baiknya, masih ada yang mau untuk selalu ber-ikhtiar memperhatikan dan mempedulikan permasalahan perempuan. Gerakan-gerakan yang konsen pada isu-isu dan persoalan perempuan tersebut bisa dijadikan sebagai langkah Affirmatif Action dalam mendorong terciptanya keadilan bagi perempuan sehingga terwujud kemaslahatan barsama.

Misalnya Bidang IMMawati sebagai salah satu bidang dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang fokus pada kajian kritis keperempuanan. Namun sayangnya, stigma yang selama ini muncul bahwa Bidang IMMawati hanya dikhususkan bagi kader-kader IMMawati. Seharusnya peran dan fungsi dari Bidang IMMawati harus dirasakan bagi seluruh kader ikatan. Hal ini sejalan dengan esai yang ditulis oleh IMMawati Eriza Sofana pada edisi 30 September 2019 lalu, bahwa persoalan IMMawati bukan sebatas moralitas, IMMawati juga harus cerdas dalam merespon dinamika sosial serta mampu vokal di ruang-ruang publik.

Hal tersebut sudah seharusnya menjadi PR bagi Bidang IMMawati sebagai langkah Affirmatif Action. Namun, konsep keadilan gender (gender equality) musti dipahami oleh seluruh kader ikatan. Bukan hanya tugas dari IMMawati saja, namun juga tugas IMMawan. Bidang IMMawati sangat strategis sebagai wadah dalam menciptakan atmosfer gender yang berkeadilan dalam tubuh ikatan. Bukan sebagai bidang yang malah mengalienasi dirinya sendiri. Karena persoalan perempuan merupakan persoalan kemanusiaan, maka sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama seluruh kader ikatan.

Sebagaimana yang tertera dalam Nilai Dasar Ikatan nomor 6 yaitu kader IMM merupakan inti masyarakat utama yang selalu menyebarkan cita-cita kemerdekan, kemuliaan dan kemaslahatan masyarakat, sesuai dengan semangat pembebasan dan pencerahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

footnote:

[1] Pramoerdya Ananta Toer, Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer hal.8

[2] Mansor faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial hal.13

[3] UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

[4] Faqihuddin Abdul Kodir, Qiroah Mubadalah hal.250

 

Oleh: IMMawati Ria Oktafia

Anggota Bidang IMMawati PC IMM Kota Surakarta periode 2019/2020