Artikel

Persoalan IMMawati Bukan Sebatas Moralitas (Tanggapan Kritis atas esai Dina Nurjanah)

Perempuan adalah setengah masyarakat. Masyarakat terdiri dari lelaki dan perempuan. Lelaki dilahirkan oleh perempuan. Jika demikian, perempuan adalah masyarakat seluruhnya. Demikian moto salah satu acara tentang perempuan yang ditayangkan oleh stasiun TV terkenal, al Jazirah, yang dipancarkan dari Qatar.[1] Kutipan tadi barangkali senada bahwa perempuan punya andil besar dan penting bagi terbentuknya masyarakat dan berdirinya sebuah bangsa, seperti yang dikutip oleh Dina yang dimuat di kolom artikel laman PC IMM Kota Surakarta, bahwa perempuan adalah tiangnya negara. Rasanya akan menjadi hal yang menarik ketika kita membincangkan profil IMMawati serta kontribusinya dalam lingkungan intelektual. Pasalnya profil IMMawati sering diperbincangkan serta dipertanyakan sebenarnya apa identitas IMMawati itu.

Dalam esai yang ditulis oleh IMMawati Dina yang berjudul Peran IMMawati sebagai Tonggak Utama untuk Menguatkan Moralitas di Kampus Maupun Masyarakat, secara tidak langsung ia menggambarkan bagaimana profil IMMawati harus mampu mengawal dampak dari globalisasi dan modernisasi yakni terjadinya degredasi moral pada generasi saat ini. Di dalam esainya dijelaskan salah satu faktor perempuan saat ini terciderai drajat dan martabatnya karena terekspos secara berlebihan. Bahwa IMMawati sebagai sekelompok perempuan yang berkecimpung di lembaga dakwah bertugas pada dua hal yaitu penguatan jati diri serta moral.

Sepakat dengan yang disampaikan IMMawati Dina bahwa bidang IMMawati sebagai wadah kader perempuan untuk memperkuat potensi dan kapasitasnya. IMMawati juga harus memiliki nalar sosial yang baik agar menjadi kader ikatan yang sensitif dan kritis terhadap dinamika sosial. Namun artinya berdasarkan pemaknaan peran tersebut, peran IMMawati tidak sebatas persoalan moralitas semata, seperti yang disampaikan oleh IMMawati Dina bahwa seorang IMMawati harus berkribadian muslimah dengan definisi perilaku sopan, baik dalam penampilan lahir maupun batin, disiplin dalam menjalankan ibadah. Meskipun perubahan itu dimulai dari pribadi kita, rasanya terlalu sempit untuk menggambarkan peran IMMawati berkutat pada persoalan pribadi. Untuk menjalankan peran dakwah seperti yang dipaparkan IMMawati Dina, IMMawati seharusnya tidak selesai pada persoalan moral atau diri sendiri, namun mampu memaknai peran dakwah secara lebih luas termasuk perananya dalam dinamika sosial.

Adanya arus globalisasi dan modernisasi adalah bentuk dari adanya perkembangan zaman, dengan demikian kita harus mampu menyesuaikan kebutuhan, senada dengan sikap Muhammadiyah yang membawa gerakan tajdid dalam merespon perkembangan zaman. Kemampuan mengolah dan berada di ruang publik termasuk penggunaan media menjadi suatu keharusan bagi masyarakat ketika kita berbicara media masa. Media bukan dimaksudkan untuk sekedar mencari eksistensi dalam ruang publik, sehingga memuncul kekhawatiran-kekhawatiran yang seakan-akan solusinya adalah kita harus menarik diri dari ruang publik. Akan lebih baik jika kita mampu menggerakan IMMawati yang cerdas merespon dinamika sosial serta mampu vokal di ruang-ruang publik.

Dalam menghadapi dinamika sosial, kita dapat belajar dari paradigma ilmu sosial profetik Kontowijoyo yang dipaparkan dalam bukunya Islam Sebagai Ilmu. Dituliskan Dalam membangun kembali pikiran agama dalam Islam (Iqbal, 1996: 123), Iqbal mengungkapkan kembali kata-kata sufi bahwa Nabi Muhammad Saw. Telah sampai ke tempat paling tinggi yang menjadi dambaan bagi ahli mistik, tetapi kembali kedunia untuk menunaikan tugas kerasulanya. Pengalaman keagamaan yang luar biasa itu tidak mampu menggoda Nabi untuk behenti. Akan tetapi ia menjadikan kekuatan psikologis untuk mengubah kemanusiaan. Dengan kata lain, pengalaman religius itu justru menjadi dasar keterlibatanya dalam sejarah, suatu aktivisme sejarah. Sunah nabi berbeda dengan jalan seorang mistikus yang puas dengan pencapaianya sendiri. Sunah nabi yang demikian itulah yang kita sebut sebagai etika profetik.[2]

Berlawanan dengan konsep antroposentrisisme yang berpusat pada manusia sendiri, Kontowijoyo menawarkan konsep teoantroposentris yang mencoba kembali mengangkat martabat manusia. Manusia harus berpusat pada Tuhan tapi tujuanya untuk kepentingan manusia atau (kemanusiaan) sendiri. Nilai sosial profetik di sini adalah nilai-nilai yang transendental. Ilmu Sosial Profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, penindasan dan sebagainya.

IMMawati adalah bagian dari masyarakat maka sudah seharusnya IMMawati mampu mengawal persoalan-persoalan kemanusiaan. Perwacanaan yang dibangun IMMawati mengenai adanya kesetaraan gender untuk membangun kesadaran dalam memperoleh hak kemanusiaan seharusnya juga mampu mengarahkan IMMawati dalam membaca persoalan kemanusian sehingga IMMawati dapat memberikan kontribusi terhadap tatanan perubahan sosial yang diperlukan di era saat ini.

Seperti isu yang sedang hangat saat ini terkait pengesahan RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual). Pada kenyataanya banyak sekali kader-kader IMMawati yang gagap dalam menanggapi pengesahan RUU PKS. Pengkajian RUU PKS ini sudah ada sejak tahun 2001, namun kebanyakan IMMawati sebagai pengawal perwacanaan keperempuanan nyatanya belum siap dalam menanggapi isu ini. Kegagapan muncul, dengan respon yang tidak seragam dalam satu tubuh ikatan. Tanpa memerhatikan dasar munculnya RUU PKS banyak sekali respon sentimen yang kemudian muncul atau mungkin juga banyak kader-kader yang menyepakati tanpa memperdalam muatan RUU PKS.

Salah satu latar belakang dibuatnya RUU PKS yang dimunculkan adalah karena alasan kemanusiaan, khususnya keperempuanan. Kemudian apakah bentuk keberpihakan IMMawati sudah sesuai dengan kebutuhan akan kemanusiaan itu sendiri? Sejauh mana kader ikatan mencari dasar keberpihakannya? Ketidakcekatan dalam merospon isu besar RUU PKS bagi kader-kader IMMawati adalah cerminan bahwa kita tidak tanggap pada isu-isu kemanusiaan, padahal kajian kita adalah menyoal kesetaraan. Jadi sudah berhasilkah IMMawati menjadi kader yang memiliki dasar keberpihakan? Atau justru kita sibuk menghabiskan waktu mempersoalkan diri.

 

[1] M Quraish Shihab, Perempuan: 382

[2] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu hal.97

 

Sumber bacaan:

Quraish Shihab, 2008, Perempuan, Tangerang: Lentera Hati.

Kuntowijoyo, 2006, Islam Sebagai Ilmu, Yogyakarta: Tiara Wacana

 

Oleh: IMMawati Eriza Sofana

(Anggota Bidang Kader PC IMM Kota Surakarta periode 2019/2020)