Menuju Disahkannya RUU PKS
Kasus kekerasan seksual semakin marak di Indonesia. Bahkan sampai tak lagi terdengar tabu dan menjadi suatu hal yang biasa. Tercatat dari Komnas Perempuan bahwa kekerasan seksual yang terjadi baik di lingkungan domestik maupun publik meningkat setiap tahunnya. Mulai dari pemerkosaan, pelecehan seksual hingga kasus pedofil yang menyerang perempuan dan anak. Itu hanyalah sebagian kasus kekerasan seksual. Masih banyak lagi kasus yang bersifat verbal dan sulit untuk diketahui. Pada Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2019 terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2018, yang semula sebanyak 248.466 pada tahun 2017. Peningkatan terjadi sebesar 14% dari tahun 2017 ke tahun 2018.
WHO menyatakan bahwa paling tidak satu dari tiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual (WHO, 2013). Dari data statistik yang dihasilkan bahwasanya kekerasan seksual lebih banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat, baik teman, keluarga, maupun tetangga. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa kekerasan seksual sebenarnya bisa terjadi pada siapa saja, termasuk laki-laki, mulai dari bayi, anak-anak, remaja bahkan orang tua.
Di Surakarta sendiri, berdasarkan catatan Yayasan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM), terdapat peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sekitar 66% dari tahun 2017 ke tahun 2018. Berdasar data pengaduan tahun 2017 ada 38 kasus dan tahun 2018 ada 58 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual merupakan permasalahan serius.
Sayangnya tidak ada keseriusan dalam penanganan sekian banyaknya kasus kekerasan, terutama dalam aspek hukum. Korban kekerasan seksual hanya mendapatkan penanganan seadanya dari lembaga pengada layanan. Tidak adanya regulasi yang lebih spesifik mengatur tentang kekerasan seksual membuat para penyintas tidak mendapatkan haknya untuk memperoleh perlindungan dan penyelesaian kasusnya secara komprehensif. Padahal perilaku kekerasan seksual memberikan dampak yang sangat besar untuk korban atau penyintas, yaitu dampak secara fisik, psikologis, dampak sosial, ekonomi serta dampak dalam aspek lainnya.
Selama ini penanganan pada kasus kekerasan seksual tidak sampai pada proses pengadilan. Data Komnas Perempuan menunjukkan dari 1400 kasus hanya 10-20% yang bisa diajukan ke pengadilan. Banyak kasus yang akhirnya selesai dengan cara arbitrasi, negosiasi atau mediasi, dan bahkan ada yang akhirnya sampai tega menikahkan penyintas dengan pelaku.
Salah satu penghambat penanganan kasus kekerasan adalah karena regulasi yang kurang memadai dalam mewadahi korban kekerasan seksual. Pasalnya Indonesia hanya memiliki KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang mana dirasa sudah tidak memadai lagi bagi perlindungan perempuan, terkhusus korban kekerasan seksual dalam era yang lebih berkembang ini. Banyak catatan kritis yang diajukan oleh beberapa lembaga yang konsen terhadap isu perempuan mengenai kurangnya KUHP karena terbatasnya unsur-unsur tindak pidana perkosaan sebagai salah satu jenis kekerasan seksual sehingga pembuktiannya menyulitkan korban untuk mendapatkan akses hukum (LBH Apik Jakarta 2005, Munti 2006).
Pada tahun 2005 LBH Apik Jakarta bersama Aliansi Reformasi KUHP menyampaikan catatan kritis terhadap Rancangan Undang-Undang Perubahan untuk KUHP (RKUHP) khususnya pada bab tindak pidana kesusilaan. Pada 2012 Komnas Perempuan juga menyusun catatan kritis yang ditekankan pada bab yang sama dalam RKUHP, yaitu ketidakmampuan RKUHP dalam mengenali bentuk-bentuk kekerasan seksual selain pemerkosaan (Komnas Perempuan, 2014). Akhirnya pada tahun 2014 Komnas Perempuan bersama dengan Lembaga Pengada Layanan menggagas sebuah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai payung hukum perlindungan dan pemulihan pada korban kekerasan seksual. Tahun 2016 RUU PKS berhasil masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Sampai saat ini pun RUU PKS tidak segera ditindak lanjuti.
Masalah rencana pengesahan RUU PKS justru mengalami perdebatan pro dan kontra. Kedua kubu tersebut bahkan sangat gencar melakukan kampanye dalam menyuarakan pendapatnya dengan alasannya masing-masing. Tak bisa dipungkiri jika masih terdapat perdebatan, karena memang banyak pasal pada RUU PKS ini yang dinilai sangat multitafsir. Sehinga ditakutkan adanya pasal karet, pro zina dan LGBT yang dapat mengganggu tatanan dan nilai-nilai moral masyarakat di Indonesia. Di balik apa yang menjadi keresahan masyarakat, ternyata RUU PKS masih menyimpan hal-hal yang positif dan dibutuhkan untuk membantu penanganan kasus kekerasan seksual yang selama ini macet pada masalah hukum yang mengaturnya.
RUU PKS dapat menjelaskan jenis-jenis kekerasan seksual yang lebih banyak dan spesifik, dibandingkan KUHP yang hanya membedakan kekerasan seksual menjadi dua jenis saja yaitu pencabulan dan pemerkosaan. Ada Sembilan jenis kekerasan seksual dalam RUU PKS, mulai dari pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.
Selain itu dalam RUU PKS mengatur tentang pencegahan, penanganan dengan penegakan hukum serta rehabilitasi hingga restitusi untuk korban. Ini merupakan suatu itikad yang baik dalam usaha mengatasi kekerasan seksual dengan jalan pembaharuan hukum. Penanganan pada korban kekerasan seksual dalam RUU PKS sudah cukup komprehensif, karena korban juga harus dikembalikan sampai benar-benar pulih dan dapat kembali ke lingkungan masyarakatnya.
Kita memerlukan pembaharuan hukum melalui RUU PKS, walaupun masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Untuk itu, banyak upaya yang dilakukan oleh beberapa pihak dalam rangka penyempurnaan RUU PKS. Seperti halnya pengkajian yang dilakukan oleh Muhammadiyah, baik dari Majelis Tarjih dan Tajdid, Majelis Hukum dan HAM, Aisyiyah, serta Ortom-Ortom lainnya. Ini merupakan sebuah ijtihad dalam rangka memberikan kontribusi positif terhadap pembuatan regulasi yang mengatur kemaslahatan masyarakat.
Dari berbagai pertimbangan, Tim Majelis Tarjih menyatakan bahwa MTT PP Muhammadiyah tidak sepenuhnya menerima dan tidak sepenuhnya menolak RUU PKS. Artinya ada beberapa syarat atau catatan penting pada RUU PKS sebelum disahkan menjadi undang-undang yang sah.
Saya sepakat dengan sikap persyarikatan Muhammadiyah yang sudah cukup bijak dalam menjawab keraguan masyarakat tentang RUU PKS. Dengan pengkajian dan diskusi yang dilakukan oleh MTT PP Muhammadiyah pada 10 Maret 2019 menghasilkan sikap dengan memberikan rekomendasi serta catatan penting untuk menyempurnakan RUU PKS. Berdasarkan pengkajian dari pandangan hukum sudah tidak ada lagi kekhawatiran atau hal yang membahayalan mengenai peluang adanya pro zina ataupun LBGT di dalam pasal-pasal RUU PKS yang selama ini ditakutkan masyarakat.
Namun masih banyak catatan penting untuk RUU PKS, mulai dari perbaikan pasal-pasalnya yang masih bersifat gharar (belum jelas) dan harus memiliki landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis perundang-undangan. RUU PKS juga harus terintegrasi dengan KUHP. Karena RUU PKS bukan sebagai hukum pengganti KUHP, melainkan sebagai pelengkap dari hal-hal yang belum diatur dalam KUHP.
Selain adanya catatan dari perspektif hukum, agama dan lain-lainnya, perlu juga memperhatikan kesiapan lembaga-lembaga yang disebutkan dalam RUU PKS, baik dalam bidang pencegahan, penanganan dan rehabilitasi. Lembaga tersebut harus dipersiapkan dengan baik, saling berkoordinasi dan terintegrasi satu sama lainnya. Sehingga tidak ada kesalahpahaman dalam penafsiran hal-hal yang diatur dalam RUU PKS dan tidak menimbulkan masalah baru dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Proses jalannya pengesahan RUU PKS harus dikawal dengan baik oleh segenap elemen masyarakat, sehingga tidak ada ketergesaan untuk disahkan tanpa adanya peninjauan ataupun perbaikan dari catatan kritis yang sudah diajukan.
Oleh:
IMMawati Lisa Luthfiyani
Ketua Bidang IMMawati PC IMM Kota Surakarta periode 2019/2020
Lah wingi kayane podo demo untuk segera disahkan, lah penulis kok ngomong agar bisa mengawal dan tidak ada ketergesaan tanpa adanya peninjauan atau perbaikan?
Hmmm mana y referensinya
Sebagaimana Muhammadiyah memandang RUU Pertanahan akan mengembalikan era kolonialisme dg asas domein velklaring (Hak Menguasai Negara) untuk melegitimasi fungsi sosial tanah bagi kepentingan pembangunan. Pengesahan RUU-PKS seharusnya juga kita pandang sebagai upaya pencegahan ‘feminisasi kemiskinan’ perempuan, yang saat ini justru mengedepankan realisasi pembangunan dengan cara-cara kekerasan, intimidasi, pelecehan, stigmatisasi, dan tindakan-tindakan represif dari aparat negara.