ASAP DAN KABUT PEKAT IJON POLITIK
“Di bidang lingkungan hidup, kita ingin kebakaran hutan, lahan gambut tak terjadi lagi. Sudah kita atasi, dalam 3 tahun tak terjadi kebakaran hutan, lahan gambut, dan itu kerja keras kita semua,” kata Jokowi saat debat Capres terkait tema Infrastruktur, Sumber Daya Alam, Energi, Lingkungan Hidup, dan Pangan, Minggu (17/2/2019). Meskipun pernyataan tersebut direvisi kembali. Menurut Jokowi, dalam kurun waktu tersebut dampak dari kebakaran hutan dan lahan tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya. Ia mencontohkan kejadian kebakaran ini tidak sampai mengganggu jadwal penerbangan dan protes asap dari negara-negara tetangga.
Kabut asap yang terjadi karena kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang disertai El Nino[1] pada tahun 2015 lalu telah menjadi tragedi yang berskala nasional yang disebabkan oleh tingkah laku manusia. Balita, anak-anak, dan orang dewasa telah tewas menjadi korban asap. Kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi, gangguan kesehatan, merosotnya pariwisata, dan terbengkalainya pendidikan karena kabut asap melanda Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Sementara Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah adalah lima provinsi yang terdampak paling parah. Singapura dan Malaysia terkena dampak parah karena kabut asap ini, di samping Thailand dan Filipina.
Peristiwa yang terjadi pada medio 2015 silam ternyata tidak mampu membuat para stakeholder untuk berbenah, nampaknya bangsa ini memang sulit untuk belajar dari masa lalu termasuk dalam kasus kebakaran hutan dan lahan atau yang sering disebut karhutla, jumlah titik-titik panas (fire spots atau hotspots) di Sumatra dan Kalimantan terlihat pada citra satelit sampai dengan Oktober 2015 sejumlah 545 titik, sedangkan pada kasus yang sama di tahun 2019 jumlah titik-titik panas yang terpantau oleh Satelit Terra Aqua, SNPP, dan NOAA20 hingga tanggal 17 September 2019 sejumlah 404 titik tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera.
Tragedi nasional berupa karhutla yang terjadi saat ini nampaknya memiliki karakteristik dan pola yang sama dengan apa yang terjadi pada 2015 lalu. Titik kebakaran seperti yang ditampilkan oleh Citra Satelit MODIS menunjukkan lokasi daerah yang pada tahun 2020 nanti akan melaksanakan hajat politik berupa Pilkada. Herry Purnomo dalam makalah Kabut Asap, Penggunaan Lahan dan Politik Lokal (2015)[2] menegaskan ada keterkaitan erat antara pilkada di suatu wilayah dan peningkatan jumlah titik panas kebakaran lahan. Hal ini menunjukkan pilkada erat kaitannya dengan bagi-bagi konsesi perizinan yang menyebabkan perubahan peruntukan lahan secara masif.
Ijon Politik
Sudah tidak menjadi rahasia lagi jika sesorang ingin menjadi kepala daerah tentu membutuhkan ongkos politik yang tidak sedikit. Laporan Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (Litbang KPK) berjudul Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada 2015 memaparkan, biaya yang dibutuhkan untuk menjadi wali kota/bupati mencapai Rp 2030 miliar, sedangkan untuk gubernur bisa Rp 20100 miliar, artinya untuk biaya pada hajat pilkada serentak 2020 esok bisa saja lebih mahal mengingat partisipasi publik cukup besar dari segi elektoral.
Bagi para calon kepala daerah yang tidak mampu untuk menutupi besaran biaya tersebut tentu para kandidat harus giat dalam mencari sponsor. Para pebisnis melihat hal ini sebagai celah untuk mendapatkan jaminan kenyamanan dan keberlangsungan investasi mereka. Satu pendekatan yang sudah jadi pengetahuan umum adalah menunggangi dan mengendalikan kandidat melalui pembiayaan pencalonan dan kampanye sebagai praktik ijon politik. Maka, investasi berbasis lahan skala besar adalah bentuk hubungan saling menguntungkan antara pelaku bisnis dan politisi. Modal finansial untuk kebutuhan politik pilkada ditebus dengan jaminan politik untuk pemberian ataupun pengamanan konsesi perizinan. Dengan cara seperti itu maka yang terjadi adalah melanggengkan krisis-krisis ekologi dan konflik agraria. Sang kepala daerah terpilih tentunya dalam mengambil kebijakan harus meminta restu atau melibatkan sang sponsor, dengan kata lain sang kepala daerah akan tersandera kepentingan.
Praktik bagi-bagi konsesi ini tentu tidak akan menyelesaikan berbagi persoalan lingkungan hidup yang makin hari justru semakin parah, kejahatan korupsi di lingkungan hidup sebenarnya bisa berdampak lebih buruk daripada kejahatan korupsi di sektor lainnya. Menurut Chandra Hamzah[3], kerugian dalam kejahatan korupsi biasa hanya dihitung berdasarkan kerugian yang ada di APBN, sedangkan di kejahatan korupsi lingkungan hidup, kerugian yang diderita tidak hanya sebatas kerugian negara di dalam perhitungan APBN saja, namun melibatkan juga kerugian secara ekologis, hasil dari interpretasi citra satelit pun menguatkan bukti kerusakan itu. Laju perusakan hutan alam tahun 1985-1997 tercatat 1,6 juta ha per tahun, tahun 1997-2000 tercatat 2,8 juta ha per tahun, tahun 2000-2003 laju kerusakan semakin tidak terkendali (Purnama, 2003). Akibat hilangnya hutan alam seluas 50 juta ha itu, Indonesia diperkirakan sudah mengalami kerugian sebesar Rp 30.000 triliun. Bahkan pada tahun 2008 lalu saja diperkirakan kawasan lahan negara yang terdegradasi bertambah luas sebesar 77,8 juta ha[4].
Hajat elektoral serentak di tahun 2020 tentu menjadi prestasi yang membanggakan dari sudut pandang pelaksanaan nilai-nilai demokrasi negeri ini, namun tidak bagi sekelumit persoalan lingkungan hidup yang saban hari makin terpuruk. Momen politik elektoral yang hanya menjadi ajang perebutan jabatan dan menangguk kekayaan bagi segelintir elit politik dan bisnis yang pada akhirnya membuat demokrasi ini gagal dalam menjamin serta memenuhi harapan dan hak-hak rakyat akan terselesaikannya masalah yang tak berkesudahan karena praktik Ijon Politik.
[1] El Nino adalah fenomena memanasnya suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah hinga timur. El Nino memiliki dampak yang beragam dalam lingkup skala global. Beberapa negara di kawasan Amerika Latin seperti Peru, saat terjadi El Nino akan berdampak pada meningkatnya curah hujan di wilayah tersebut. Sedangkan di Indonesia secara umum dampak dari El Nino adalah kondisi kering dan berkurangnya curah hujan. (www.bmkg.go.id)
[2] Kabu Asap, penggunaan Lahan dan Politik Lokal; Herry Purnomo, Beni Okardaa, Bayuni Shantikoa, Ramadhani Achdiwana, Hariadi Kartodiharjo dan Ade Ayu Dewayania. Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB).
[3] Chandra Hamzah merupakan mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi 2007-2009
[4] Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bertujuan untuk mendorong upaya moratorium atau penghentian sementara pemberian ijin dan aktifitas pertambangan dalam kerangka kerja ulang dan perbaikan pengelolaan pertambangan di Indonesia (www.jatam.org)
Oleh:
IMMawan Danang Maulana Arif Saputra
Presiden BEM UMS tahun 2019