ATAS NAMA IBUKOTA: RAMAI-RAMAI MENYALAHKAN BENCANA
Visi ke depan bangsa ini banyak sekali yang berkaitan dengan pemerataan ekonomi dan kebencanaan. Kita terancam gempa bumi, banjir, penurunan tanah, macet, polusi udara, tata kota, dan tata ruang, cuplikan tersebut merupakan jawaban dari Presiden Joko Widodo saat dihadapkan pada pertanyaan dari wartawan Tempo, Apa urgensinya memindahkan ibukota? seperti yang dimuat pada edisi 24 Agustus 2019. Hal senada juga diungkapkan oleh politisi muda dari PSI (Partai Solidaritas Indonesia) Tsamara Amany dalam penyampainnya pada acara ILC edisi 20 Agustus 2019, ia mengatakan jika ibukota Jakarta saat ini sangat rawan akan terjadi bencana. Ia pun membawa bukti berupa peta zona bencana tektonisme yang menunjukan kawasan ring of fire[1] yang dilaporkan oleh BMKG. Tidak hanya Tsamara, politisi senior Partai Demokrat Andi Arif mengatakan jika ibukota perlu pindah untuk menghindari megathrust[2] selat sunda. Mantan Staf Khusus Presiden Bidang Penanggulangan Bencana era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut, mendukung rencana pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan Timur dengan asumi untuk mengevakuasi pusat pemerintahan dari ancaman gempa megathrust Selat Sunda. Menurutnya, potensi bencana itu masih mungkin terjadi kapan pun.
Dari pernyataan para pejabat publik tersebut muncul pertanyaan yang mendasar di benak saya, apa salahnya sebuah proses tektonisme? Apa salahnya jika lempeng tersebut bergerak lalu menghasilkan peristiwa divergen[3], konvergen[4] serta transforms fault[5]? Bukankah itu suatu hal yang telah terjadi sejak awal bumi ini diciptakan? Ancaman mengenai gempa bumi merupakan suatu konsekuensi ketika berada dalam zona subduksi[6], Thorbunrry (1954) dalam prinsip dasar geomorfologi mengakatan bahwa proses-proses dan hukum-hukum fisik yang bekerja sekarang, bekerja pula pada waktu geologi, walaupun tidak selalu dengan intensitas yang sama, dengan kata lain segala peristiwa geomorfik seperti tektonisme dan vulkanisme yang terjadi pada masa dahulu bisa terjadi di masa sekarang atau masa depan. Konsep dasar tersebut harusnya bisa memberikan pelajaran bagi para pemerintah bahwa kita tidak mungkin untuk menghindar.
Paradigma yang ada saat ini adalah bagimana cara kita untuk menghadapi bencana tersebut, bukan untuk hidup berdampingan dan berdamai. Peristiwa yang dihasilkan oleh tenaga endogen berupa tektonisme dan vulkanisme merupakan hal yang lazim serta siklus alami, toh bumi ini aman-aman saja dan tidak pernah ribut sebelum peradaban manusia muncul. Harus diakui jika Indonesia memang telat dalam sadar bencana, publik baru membicarakan secara luas pasca tragedi tsunami di Aceh medio 2004 silam. Konsep berdamai dengan bencana sudah dipraktikkan oleh Jepang. Jepang adalah negara yang sudah terbiasa dengan datangnya bencana alam. Hal ini menjadikan pemerintah menaruh perhatian besar terhadap upaya-upaya mitigasi bencana alam.
Bagi saya tentu tidak bijaksana jika pemindahan ibukota hanya menyelamatkan aparatur pemerintah semata, sementara masyarakat yang harusnya dilayani seakan ditinggal menghadapi bencana. Seharusnya yang ditanyakan kepada Bapak Presiden adalah apa yang dikhawatirkan bakal terjadi sehingga ibukota perlu pindah, penurunan muka air tanahkah? Gempa bumi yang seperti apa? Apakah upaya mitigasi bencana yang ada saat ini tidak berjalan maksimal sehingga membuat ibukota harus pindah? Lalu bagaimana dengan berbagai infrastruktur yang selama ini dibangun dengan begitu masif? Apakah nanti tidak ikut ambruk dan menimbulkan kerugian? Hmm…
Nyatanya Presiden Joko Widodo lebih memilih meninggalkan Jakarta untuk menghadapi persoalan bencana alam yang akan mengancam. Alangkah lebih baik jika dana sebesar Rp466 Triliun tersebut digunakan untuk melakukan peremajaan infrastrukur kebencanaan yang dirasa masih sangat kurang. Di tahun 2018, anggaran untuk penanggulangan bencana dipangkas habis dari sebelumnya Rp2 triliun menjadi Rp700 miliar, minimnya anggaran tersebut menjadikan pengadaan alat deteksi dini bencana tidak memadai dan berakibat fatal. Jika presiden menganggap ini merupakan masalah serius, seharusnya persoalan anggaran tidak lagi menjadi masalah, bukan justru memindah ibukota dengan alasan bencana.
Sangat naif jika kita menyalahkan bencana atas ketidakmampuan manusia dalam mengelola alam. Peristiwa ini sebenarnya sudah jauh jauh Allah peringatkan dalam kitab suci Nya Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan manusia, supaya Allh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) [ar-Rm/30:41]. Terlepas dari semua itu bagaimana pun alam punya cara sendiri dalam menjaga keseimbangan ekosistemnya.
Footnote:
[1] Ring of fire (cincin api Pasifik atau lingkaran api Pasifik) adalah daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudera Pasifik. Daerah ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km. Daerah ini juga sering disebut sebagai sabuk gempa Pasifik. Sebagian besar wilayah Indonesia dilewati ring of fire ini, terkecuali Kalimantan. (Wikipedia)
[2] Megathrust sendiri sebenarnya adalah julukan atau sebutan untuk daerah atau lokasi subduksi. Megathrust ini adalah kondisi di mana lempeng satu mendorong lempeng-lempeng yang lainnya sehingga akhirnya terjadi subduksi dan gempa.
[3] Divergen adalah pergerakan lempeng bumi yang bergerak saling menjauhi satu dengan yang lainnya di mana gaya yang bekerja pada gerak ini adalah gaya tarikan (tensional).
[4] Konvaergen adalah pergerakan lempeng bumi yang bergerak saling mendekati satu dengan yang lainnya di mana gaya yang bekerja pada gerak ini adalah gaya kompresional.
[5] Transforms fault adalah patahan strike-slip faults yang terjadi pada batas lempeng. Lempeng tersebut berpapasan satu sama lain secara horizontal. Patahan ini biasanya terjadi di batas lempeng samudra yang mengalami pergeseran (offset), di mana patahan transform hanya terjadi di antara batas kedua tanggul, sedangkan di bagian luar dari kedua batas tanggul tidak terjadi pergerakan relatif di antara kedua bloknya karena blok tersebut bergerak dengan arah yang sama. Daerah ini dikenal dengan nama zona rekahan (fracture zones). Contoh transform faults adalah Patahan San Andreas di California.
[6] Zona subduksi atau penunjaman adalah zona yang terdapat pada batas antar lempaeng yang bersifat konvergen. Akibat perbedaan massa jenis antar kedua jenis lempeng tersebut, maka lempeng yang lebih besar massa jenisnya menunjam ke bawah lempeng lainnya. Penunjaman ini terjadi di batas antar lempeng samudera dan benua atau di antara sesama lempeng samudera. Zona penunjaman adalah salah satu tempat bagi terbentuknya deretan gunung berapi dan gempa bumi. (Wikipedia)
Oleh:
IMMawan Danang Maulana Arif Saputra *)
*) Ketua Umum PK IMM Al Idrisi Fakultas Geografi UMS periode 2018/2019
*) Presiden BEM UMS periode 2019/2020