Artikel

FATHUL MEKAH, KEMERDEKAAN INDONESIA, & NKRI BERSYARIAH

Esai ini lahir dari pergolakan pemikiran dan perenungan seusai mendengarkan khotbah jumat di salah satu masjid dekat kampus 1 UMS, Masjid Nilasari. Pertama khotib berkisah mengenai peristiwa Fathul Mekah (pembebasan & pembukaan kota Mekah dari kekuasaan golongan musyrik Quraisy, suku asal Nabi sendiri) yang bersejarah itu. Ketika memasuki kawasan Mekah, terkhusus saat medekati Kabah, surat dalam Alquran yang beliau baca hanya Q.S. Al-Hujurat: 13.

Artinya, Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.

Fathul Mekah adalah satu di antara segelintir peristiwa dalam sejarah Islam pasca hijrah yang sukses tanpa sedikit pun meneteskan darah. Dengan membawa rombongan berkisar 10 ribu muslim, peristiwa yang terjadi pada 8 H ini, menjadi tanda bahwa kaum muslim sudah bisa melaksanakan ibadah haji yang berpusat di Kabah. Selama hidupnya, Nabi hanya sekali melaksanakan ibadah haji, yaitu haji wada yang merupakan haji terakhir atau haji perpisahan.

Kaum Quraisy yang mengira akan diserbu secara brutal oleh rombongan Nabi, merasa takjub sekaligus haru melihat ternyata kedatangan rombongan tersebut tidak sedikit pun melakukan penyerangan kepada penduduk Mekah. Yang diserang justru adalah segala macam berhala dan sesembahan berupa patung yang tersebar merata di sekitaran Kabah.

Ayat ini berbicara kesetaraan di antara semua umat manusia, melampaui perbedaan suku, bangsa, ras, negara, status sosial, kekayaan, ideologi, bahkan agama, ketika berhadapan dengan-Nya. Ayat ini pun sekaligus berbicara mengenai persamaan hak antar anak keturunan Adam, bahwa hanya ketakwaan lah, satu-satunya item penilaian Allah kepada segenap hamba-Nya. Kalau hanya item ketakwaan yang menjadi dasar penilaian Allah terhadap makhluk-Nya, maka sudah sepatutnya manusia sebagai makhluk mulia ini tidak membeda-bedakan manusia atas dasar suku, bangsa, ras, negara, status sosial, kekayaan, ideologi, bahkan agama sekali pun. Persamaan dan kesetaraan HAM adalah suatu keniscayaan.

KORELASINYA DENGAN INDONESIA

Ayat di atas menjadi spirit persamaan & penegakan HAM dalam periode kepemimpinan Nabi dan keempat Khulafaur Rasyidin. Ayat ini pun yang dijadikan oleh pada founding father Indonesia sebagai sprit pembebasan atas penindasan dan penjajahan yang dialami bangsa Nusantara selama 3,5 abad, sebagaimana dicatat tinta sejarah. Spirit persamaan hak di antara semua manusia ini berbicara bahwa tidak seorang pun, suatu bangsa atau negara mana pun yang berhak melakukan penjajahan kepada individu, bangsa atau negara mana pun, atas dasar apa pun dan dalam bentuk apa pun.

Para founding father kita berjuang mati-matian mengorbankan segenap potensi bangsa yang dimiliki harta, jiwa, waktu, ideologi, bahkan kepentingan umatnya sendiri. Sudah banyak yang berbicara mengenai peran muslim sebagai penghuni terbesar dan tersebar di negeri zamrud khatulistiwa ini. Cerita klasik dan monoton mengenai peran muslim bagi perjuangan menuju dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sampai puncaknya pada penghapusan 7 kata pada Piagam Jakarta (Jakarta Charter) hasil kerja Panitia Sembilan yang diketuai oleh Bung Karno pada 22 Juni 1945, yang bagi beberapa pihak membuat sebagian umat Islam sakit hati, tidak terkecuali dialami oleh dua kader Muhammadiyah yaitu Kasman Singodimejo dan Ki Bagus Hadikusumo yang merupakan pendukung keras Piagam Jakarta.

Agaknya, ini menjadi salah satu latar belakang munculnya ide lama mengenai negara Islam, yang kini beralih identitas menjadi NKRI Bersyariah. Ide lama kulit baru ini semakin hangat di sekitaran kontestasi pilpres dengan munculnya 4 episode Ijtima Ulama. Kalau kita mau meluangkan waktu untuk mencermati tiap episode Ijtima Ulama, cukup mudah ditebak motif dan latar belakang serta aktor dibalik Ijtima Ulama tersebut. Menelisik sebagian isi dari hasil Ijtima Ulama IV pada poin 3.6: mewujudkan NKRI yang syariah dengan prinsip ayat suci di atas ayat konstitusi.

Ide lama kulit baru ini, sangat menarik untuk kita cermati bersama perkembangannya. Terlepas apa motif sebenarnya dari munculnya kembali ide lama ini, ide NKRI Bersyariah ini merupakan bagian dari hasil kompromi kepentingan di seputaran kontestasi politik pada 2019 ini. Banyaknya kasus kriminalisasi ulama dan tokoh-tokoh Ijtima Ulama mendorong munculnya Ijtima Ulama IV, di samping kepentingan-kepentingan lain yang tidak akan saya sebutkan semua dalam tulisan ini.

MUHAMMADIYAH MEMANDANG NKRI BERSYARIAH

Tanpa embel-embel syariah, Pancasila yang merupakan dasar negara hasil konsensus bersama para founding father, sudah mencerminkan nilai-nilai syariat Islam di dalamnya. Lewat Keputusan Muktamar ke 47 di Makassar, 4 tahun lalu, Muhammadiyah sudah menetapkan pandangan organisasi mengenai bentuk NKRI. Berdasarkan keputusan tersebut, NKRI adalah Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah, negara hasil konsensus bersama sekaligus negara sebagai tempat persaksian.

Muhammadiyah memandang bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 adalah Negara Pancasila yang ditegakkan di atas falsafah kebangsaan yang luhur dan sejalan dengan ajaran Islam. Nilai-nilai Islam itu sudah termaktub dalam keseluruhan sila Pancasila. Muhammadiyah berpandangan bahwa bentuk negara sebagai wadah bukan merupakan sesuatu yang harus selalu dilekatkan dengan simbol Islam, asalkan nilai-nilai Islam sudah merasuk dalam dasar negaranya. Maka, penerimaan dan pengamalan Pancasila sebagai dasar negara menjadi suatu hal yang mutlak bagi segenap masyarakat Indonesia.

penulis :

IMMawan Muhammad Afriansyah

(Anggota Bidang RPK IMM Cabang Kota Surakarta)