Artikel

Feminisme sebagai Ide Pendidikan yang Adil

immsurakarta.org –Ada beberapa hal yang sekiranya perlu untuk kita pahami ketika berbicara mengenai feminisme. Setiap kita mendengar kata feminisme, mungkin yang muncul dalam benak kita tidak jauh dari akar konflik sosial terhadap kaum perempuan. Lalu muncul sebuah perwacanaan mengenai kesataran gender dalam konsep gerakan keperempuanan dan membuka diskursus gender demi meruntuhkan hegemoni patriarki, subordinasi, marginalisasi, dan sebagainya. Belum lagikubu yang berteriak lantang bahwa feminisme sebagai

gagasan yang sesat, menjerumuskan, dan berbahaya. Agaknya kita perlu bersikap bijak dalam mempelajari metodologi dari feminisme.

Feminisme sendiri merupakan sebuah ide dalam rangka menciptakan keadilan. Argumen tersebut dipertegas oleh seorang feminis Mary Wollstonecraft dalam karyanya yang berjudul A Vindication of the Rights of Woman (1792). Keadilan yang dimaksud Wollstonecraff terletak pada kesetaraan hak antara laki-laki dengan perempuan, yang selama ini menurutnya perempuan selalu menjadi peliharaan bagi kaum laki-laki. Dominasi laki-laki atas perempuan inilah yang mengakibatkan bahwa perempuan akan selalu menjadi objek dan menimbulkan ketimpangan sosial dalam hal legitimasi.

Pemikiran kritis Wollstonecraff sebenarnya terletak pada ketimpangan sosial dalam ranah pendidikan. Wollstonecraff melihat perempuan selalu diidentifikasikan sebagai manusia lemah yang hanya menekankan sisi emosional (perasaan), sementara hak untuk mengembangkan rasionalitas seakan-akan mutlak hanya dimiliki oleh laki-laki. Implikasi yang timbul ialah pendidikan hanya untuk laki-laki tetapi tidak dengan perempuan, pendidikan hanya mengakomodasi intelektualitas laki-laki dengan mengabaikan kesamaan potensi manusia yang juga dimiliki perempuan.

Tentu tidak semua mampu menerima ide feminisme sebagai formulasi baru untuk menciptakan keadilan, bahkan pemikiran Wollstonecraff pun ditentang oleh sebagian besar masyarakat yang berasal dari perempuan. Begitu kuatnya hegemoni patriarki kala itu dalam mempengaruhi paradigma masyarakat sehingga yang terjadi perempuan terbatas untuk menghasilkan perihal yang sifatnya rasional. Justru yang lebih memprihatinkan perempuan dijustifikasikan sebagai pemburu nafsu dan pemberi kenikmatan bagi laki-laki.

Argumentasi logis Wollstonecraff menegaskan jika nalar adalah kapasitas yang membedakan manusia (baik itu laki-laki maupun perempuan) dari binatang, maka sudah semestinya masyarakat wajib memberikan pendidikan kepada perempuan, seperti halnya dengan apa yang diterima laki-laki. Manusia berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moral, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang utuh.

Tidak berbeda dari argumen Wollstonecraff, John Stuart Mill memandang bahwa pendidikan merupakan tonggak awal lahirnya keadilan gender. Bahkan lebih jauh pemikiran Mill mengatakan melalui pendidikan, perempuan juga mampu memaksimalkan potensi dan eksistensi dari seorang perempuan itu sendiri, dan membantah segala asumsi masyarakat yang mengatakan bahwa perempuan hanya berkutat pada persoalan kawin dan ibu rumah tangga. Eksistensi (keberadaan) perempuan di dalam pendidikan perlu untuk dimunculkan guna meraih legitimasi sosial seperti hak untuk berkarir, hak untuk berpendapat, bahkan hak untuk berpolitik sekalipun.

Konteks Pendidikan

Tentu kita perlu memahami bahwa konsep yang terpenting dalam mewacanakan keadilan gender ialah memisahkan dua relasi utama antara jenis kelamin dengan gender. Mansour Fakih pun jelas mengatakan bahwa jenis kelamin ialah qodrat yang memiliki sifat absolut dan tidak dapat diganggu gugat, namun berbeda dengan gender yang merupakan konstruksi sosial dan membuka potensi dialektika publik dalam berbagai perspektif. Dengan memisahkan dua relasi tersebut tentu diharapkan pengetahuan publik dan meminimalisir kesalahapahaman mengenai subtansi keadilan gender, khususnya dalam hal pendidikan.

Bagi feminisme, pendidikan merupakan salah satu aspek penting kehidupan yang turut mempergunakan paradigma gender sebagai pisau analisis dalam mengkaji eksistensi kaum perempuan, dan terkait dengan nilai-nilai kesetaraan serta persamaan perlakuan. Penggunaan paradigma gender dalam dunia pendidikan lebih diarahkan pada upaya pemberian kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki. Upaya ini diawali dengan proses pembongkaran atas sebab-sebab bagi telah terjadinya pembedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan, yang dimana kekuatan dan kelemahan secara fisik digunakan sebagai standarisasi gender.

Jika dikontekskan pada era sekarang, memang tidak terlalu terlihat ketidakadilan gender di dalam muatan sistem pendidikan kita. Bahkan secara yuridis di dalam Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan jelas menyatakan, bahwa kesempatan pendidikan pada setiap satuan pendidikan tidak membedakan agama, suku, ras, kedudukan sosial, tingkat kemampuan ekonomi, hingga jenis kelamin tertentu. Tetapi tidak menutup kemungkinan adanya potensi dan upaya-upaya hegemoni patiarkal yang menimbulkan kesenjangan gender. Contoh konkret yang dapat kita lihat ialah pola perilaku dalam kehidupan sekolah interaksi antara guru-guru, guru-murid, murid-murid, struktur organisasi sekolah dan kelas, hingga pada taraf metode pengajaran, yang akan menempatkan titik konstruksi gender selama ini.

Prinsip dari pendidikan dalam perspektif feminisme ialah mengedepankan persamaan pemaknaan perhatian, apresiasi dan penghargaan, serta perlakuan dalam kehidupan lingkungan pendidikan antara laki-laki dan perempuan dengan tanpa melihat kecenderungan jenis kelamin tertentu. Yang paling penting dalam prinsip ini ialah mengurangi unsur deskriminasi atas perberdaan jenis kelamin terhadap lingkungan sosial terutama dalam kehidupan pendidikan, sehingga terjadi keseragaman hak dan kewajiban yang dimiliki oleh kaum laki-laki dan perempuan. Tentu tidak ada salahnya merefleksikan ide feminisme secara aktualitatif yang terakumulasi ke dalam sistem pendidikan kita sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Oleh: Albi Arangga (Ketua Bidang Hikmah IMM Cabang Kota Surakarta Periode 2018-2019)

Albi Arangga