Artikel

Lilin Muhasabah dan Gerakan Ilmiah

Selama beberapa minggu ini muncul pembahasan menarik tentang mandeknya fungsi bidang RPK IMM dalam ranah ilmu ilmiah atau secara teknis disebut riset/penelitian. Dari kedua tulisan yang saling menanggapi pada akhirnya belum mampu menyentuh akar rumput permasalahan dari pembahasan mandeknya riset di lingkungan IMM. Dalam artikel pertama yang dibuat oleh M. Afriansyah mempertanyakan fungsi Bidang RPK yang belum mampu membangun kesadaran dalam menuju pengembangan riset. Di artikel kedua oleh Yuli Fajar Arifin membalas mengenai pemaknaan literasi yang dianggap instan serta kembali mempertanyakan faktor kondisi komisariat dan permasalahan di bidang RPK dalam mengawal culture research dalam menguraikan sebuah teori ataupun mengungkap fenomena sosial.

Dari kedua tulisan yang diterbitkan justru saya menanyakan terkait pemahaman literasi yang ada di lingkungan IMM. Di mana dalam agenda masta atau doktrinasi yang diberikan sering kali terdengar bahwa mahasiswa bukan lagi menerima 1+1 = 2 tapi mempertanyakan kenapa 1+1=2. Hal itu yang kemudian hanya menjadi sebuah kicauan motivasi di awal yang membuat semangat mahasiswa baru membuka pemikirannya. Tapi pada akhirnya hal tersebut juga gagal terealisasi bukan hanya di IMM tapi di civitas akademika, permasalahan ini akan terus meruncing jika pemahaman akan fungsi literasi tidak dipahami dengan semestinya. Pada artikel kedua mempersoalkan pemaknaan literasi yang bukan hanya berbicara mengenai membaca dan menulis tetapi berkomunikasi pun sudah masuk dalam lingkaran literasi, itulah yang menjadi permasalahan bahwa pemahaman akan literasi hanya sebatas sampai pada pengertian literasi. Anak-anak IMM khususnya yang memang menggeluti ranah intelektual mengalami permasalahan yang sama, masih terjebak dalam ruang literasi tapi belum mampu memanfaatkan literasi. Pentingnya keaksaraan sebagai membaca dan menulis untuk tujuan pengujian standar dan kinerja akademik. Penyederhanaan ini menghilangkan pluralitas dan kompleksitas literasi yang terus berkembang, yang terkait dengan keterlibatan sipil dan bidang sosial budaya, sejarah dan politik (Cumming-Potvin 2013). Harusnya literasi mampu mengambil peran penting dalam membangun pemikiran kritis dari mahasiswa khusunya IMM dalam mencerahkan kehidupan dan membangun peradaban. Akademisi percaya bahwa litersi berkembang secara bertahap, Mereka memandang literasi sebagai pemecahan masalah bukan pembelajaran seumur hidup (Derakhshan and Singh 2011).

Pemahaman akan literasi inilah yang kemudian menghalangi IMM dalam mencari desain penelitian yang sesuai. Sehingga semuanya bingung bagaimana penerapan hasil diskusi, hasil kajian ataupun realisasi hasil membaca buku. Wacana intelektual yang tertanam hanya sampai pada taraf pengetahuan belum mampu mereka implementasikan dalam realitas kehidupan sehingga dengan kata lain literasi telah dipisahkan dari dunia realitas. Literasi menjadi seperangkat keterampilan yang terpisah, seperti anak-anak yang mengeluarkan kata-kata dan mengisi kekosongan (Cumming-Potvin 2013). Dalam kesehariannya, harusnya banyak isu yang bisa diangkat untuk menjadi sebuah riset seperti isu kampus, isu sosial budaya bangsa bahkan pemahaman akan literasi ini juga bisa diangkat menjadi sebuah riset. Yang kemudian bermasalah adalah bahwa ketidakpahaman literasi yang kemudian melepaskan literasi dari konstruk peradaban menjadikan riset hanya sebuah bentuk syarat legalitas akademik di kalangan mahasiswa. Kita membahas masalah riset tapi di sisi lain kita tidak paham peran dan fungsi dari riset itu sendiri bagi kehidupan realitas, akhirnya kritik dari dua artikel sebelumnya hanya akan menjadi pertanyaan yang akan terus ditanyakan dalam periode-periode ke depan. Bahkan dalam hal ini muncul pertanyaan baru dalam pemikiran saya dalam menjalankan gerakan humanitas, apakah kemudian IMM tidak melakukan pengkajian akademis?

Saya coba menganalogikan pemahaman akan literasi di lingkungan IMM saat ini seperti halnya menyalakan sebuah lilin, mereka mengetahui cara menghidupkan lilin tapi tidak mengetahui untuk apa lilin tersebut dihidupkan. Dalam keseharian anak-anak IMM melakukan banyak diskusi dan juga menggencarkan gerakan membaca buku, hal tersebut bagus dan merupakan perjuangan yang luar biasa, tapi sudah saatnya anak-anak IMM beranajak dan mulai membaca realitas sosial. Menurut (Ortlieb et al. 2018) saat ini mengalihkan perhatian dari makna yang tetap dan menuju tindakan dan “menjadi” yang baru yang merupakan bagian penting dari kinerja literasi. IMM sudah mempunyai sebuah metode penelitian yang dibuat dalam blueprint, kita hanya tinggal menyempurnakan dan menjalankan konsep tersebut.

 

Referensi :

Cumming-Potvin, Wendy. 2013. New Basics and Literacies: Deepening Reflexivity in Qualitative Research. Qualitative Research Journal 13(2):21430.

Derakhshan, Maryam and Diljit Singh. 2011. Integration of Information Literacy into the Curriculum: A Meta-Synthesis. Library Review 60(3):21829.

Ortlieb, Evan, Annalisa Susca, Jean Votypka, and Earl H. Cheek. 2018. Disruptive Innovations for Teacher Education. Literacy Research, Practice and Evaluation 9:111.

 

Oleh:

IMMawan Dicky Suryoko

Anggota Divisi Riset Satgas Keilmuan PC IMM Kota Surakarta periode 2019/2020

Ketua Umum LEPMA FEB UMS periode 2019